Artikel jurnal berjudul "Pengaruh algoritma filter bubble dan echo chamber terhadap perilaku penggunaan internet" membuka perspektif yang lebih mendalam terkait dampak psikologis, perilaku, dan bahkan pergeseran budaya yang mungkin terjadi.
Berikut beberapa dampak negatif dari adanya filter bubble dan echo chamber:
1. Lebih malas mencari informasi di luar topik kesukaan
Algoritma filter bubble menciptakan lingkungan di mana pengguna lebih pasif dalam mencari informasi di luar topik kesukaan mereka.Â
Dengan analisis mesin terhadap perilaku online, algoritma ini secara otomatis menyajikan konten yang sejalan dengan preferensi pengguna.Â
Konsekuensinya, minat untuk mencari informasi baru, terutama yang mungkin berbeda pandangan yang sudah ada, semakin menurun.Â
Hal ini tentunya menciptakan sebuah paradoks, di mana seiring dengan meningkatnya akses informasi, pengguna malah cenderung terjebak dalam keterbatasan perspektif.
2. Filter bubble memanjakan pengguna dengan otomatisasi konten
Pemahaman algoritma sebagai alat yang memanjakan pengguna menciptakan dinamika psikologis. Dalam dunia digital yang penuh dengan opsi dan informasi, pengguna merasa dihadapkan pada kemudahan dan kenyamanan.Â
Kita tidak perlu bersusah payah mencari konten, karena algoritma menyajikan apa yang menurut "mereka" konten yang kita inginkan.Â
Namun, ini membawa risiko, karena kita mungkin kehilangan rasa inisiatif untuk mengeksplorasi sudut pandang baru atau mengejar pemahaman yang lebih mendalam.
3. Kenyamanan dapat menghambat kreativitas
Selanjutnya, munculnya rasa nyaman dari efek filter bubble bisa membawa dampak yang jauh lebih mendalam lagi, yaitu meredam kreativitas dan rasa ingin tahu.Â
Saat informasi yang disajikan secara otomatis sudah sesuai dengan apa yang dikenal dan disukai, kecenderungan untuk menjauh dari hal-hal baru dapat meningkat.Â
Dalam hal ini, filter bubble dapat dianggap sebagai suatu bentuk "penjara kreativitas," di mana pengguna terperangkap dalam rutinitas informasi yang itu-itu saja.
4. Bisa menjadi fanatik dan kurang terbuka pada pandangan baruÂ
Sementara itu, terpaparnya terus-menerus pada sudut pandang yang seragam oleh efek echo chamber menciptakan risiko bahwa opini kita menjadi lebih fanatik dan kurang terbuka terhadap ide-ide baru.Â
Algoritma ini, yang secara efektif mempertahankan dan memperkuat keyakinan yang sudah ada, menciptakan suatu ekosistem di mana pluralitas ide dan pandangan baru sulit ditemukan.Â
Kita dapat kehilangan kemampuan untuk memahami sudut pandang lain atau bahkan untuk berdialog secara produktif dengan mereka yang memiliki pandangan berbeda.
5. Memicu penyebaran informasi yang menyesatkanÂ
Tak kalah berbahaya adalah potensi adanya misleading information yang muncul akibat penyajian konten yang tidak sesuai oleh algoritma.Â
Dalam upayanya untuk menyajikan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna, algoritma memiliki kemungkinan menyebarkan informasi palsu atau tidak akurat.Â
Hal ini bisa berdampak besar terutama dalam konteks politik atau sosial, di mana persepsi yang keliru dapat memicu respons yang mungkin tidak diinginkan.
Oleh karena itu, kesadaran akan kompleksitas dan dampak dari filter bubble dan echo chamber perlu menjadi bagian dari literasi digital masyarakat.Â
Diperlukan kebijaksanaan individu untuk secara aktif mencari perspektif yang beragam, melibatkan diri dalam dialog kritis, dan tidak hanya mengandalkan apa yang disajikan.Â
Dengan cara ini, kita dapat mengurangi dampak negatif dari filter bubble dan echo chamber, serta memastikan bahwa internet tetap menjadi ruang yang dinamis.
***
Terakhir, dalam opini ini. Bagaimanapun keseragaman informasi dapat mempersempit sudut pandang kita yang pada akhirnya membatasi pengetahuan kita.
Pengetahuan yang terbatas akan memberikan efek buruk pada pengambilan keputusan, yang pada akhirnya mungkin keputusan itu akan kita sesali.
Jadi, untuk meminimalisir efek dari filter bubble dan echo chamber, kita sebagai pengguna internet dan media sosial harus lebih proaktif dalam mencari informasi.
(*B/A)
Ref:
- Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia. (n.d.). Diakses pada 5 Februari 2024, dari https://apjii.or.id/berita/d/survei-apjii-pengguna-internet-di-indonesia-tembus-215-juta-orang
- Badan Pusat Statistik Indonesia. (31 Agustus 2023). Statistik Telekomunikasi Indonesia 2022. Diakses pada 5 Februari 2024, dari https://www.bps.go.id/id/publication/2023/08/31/131385d0253c6aae7c7a59fa/statistik-telekomunikasi-indonesia-2022.html
- Pariser, E. (2011). The filter bubble: How the New Personalized Web Is Changing What We Read and How We Think. Penguin.
- Sofiamaddalena. (2024, January 30). Digital 2023 - We are Social Indonesia. We Are Social Indonesia. Diakses pada 5 Februari 2024, dari https://wearesocial.com/id/blog/2023/01/digital-2023/
- Sunstein, C. R. (2018). #Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media. Princeton University Press.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H