Selain itu, tingkat penetrasi internet di Indonesia juga terus meningkat, khususnya di klasifikasi perkotaan yang mencapai 77,36% dari total populasi (APJII, 2023).Â
Dalam konteks ini, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sekitar 66,48% penduduk Indonesia telah mengakses internet pada tahun 2022 (BPS, 2022).Â
Fenomena peningkatan ini bukan sekadar angka statistik, melainkan juga menciptakan landasan untuk mengetahui lebih dalam tentang dampak sosialnya, khususnya dalam domain politik.Â
Dengan begitu banyaknya orang yang terhubung ke internet, pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana cara algoritma dan platform digital memengaruhi cara masyarakat memahami dan berinteraksi dengan informasi, terutama dalam konteks pemilu?
Pertumbuhan jumlah pengguna internet menghadirkan tantangan dan peluang yang unik, terutama terkait dengan penyebaran informasi politik.Â
Bagaimana algoritma menyesuaikan dan menyajikan informasi politik kepada pengguna dapat membentuk pola pikir, opini, dan bahkan pengambilan keputusan bagi setiap individunya.
Kita perlu melihat lebih dalam, bukan hanya pada angka yang menunjukkan pertumbuhan pengguna internet, tetapi juga pada konsekuensi cara kerja algoritma dalam membentuk pola pikir dan keputusan masyarakat.Â
Bagaimana masyarakat merespons informasi politik yang disajikan oleh algoritma di dunia maya?Â
Sejauh mana kita dapat memahami cara kerja algoritma dalam membentuk efek filter bubble dan echo chamber, serta dampaknya terhadap keberagaman pandangan politik?
Penjara Digital itu Bernama Filter Bubble & Echo Chamber
Di era digital yang penuh dengan informasi, sering kali kita terlena dengan kenyamanan mendapatkan berita atau informasi yang sesuai dengan keinginan dan pandangan kita.Â
Apa yang mungkin tidak kita sadari adalah bahwa algoritma secara kompleks bekerja tanpa henti untuk menyusun dan menyajikan konten sesuai dengan perilaku online kita.