Fenomena ini lebih kuat terlihat di kalangan generasi muda, yang sering kali lebih rentan terhadap pengaruh media. Dampaknya paling kuat terjadi di wilayah geografis tempat cerita bunuh diri tersebut diterbitkan.Â
Penelitian lain dalam Journal of Affective Disorders menunjukkan bahwa hampir 4 dari setiap 10 pasien depresi yang terpapar berita media melaporkan adanya dampak pada perilaku mereka terkait bunuh diri (Cheng et al., 2007).
Selanjutnya, penelitian ini menemukan bahwa pasien depresi berat memiliki hampir 8 kali lipat risiko lebih tinggi untuk dipengaruhi oleh pemberitaan media dalam hal perilaku bunuh diri dibandingkan dengan pasien depresi yang tidak dalam keadaan berat.Â
Dampak paling besar terjadi pada pasien yang telah melakukan upaya bunuh diri dalam satu bulan sebelum pemberitaan media muncul.Â
Mereka memiliki hampir 12 kali lipat risiko lebih tinggi untuk melakukan upaya bunuh diri selanjutnya setelah terpapar berita media.Â
Dengan kata lain, media dapat menjadi agen pendorong yang memicu tindakan bunuh diri, terutama di kalangan individu yang sudah dalam keadaan rentan.
Mengubah Pendekatan Pemberitaan Media
Peran media massa dalam fenomena copycat suicide adalah sesuatu yang tidak bisa diabaikan. Mereka memiliki kekuasaan besar untuk membentuk pandangan dan perilaku masyarakat.Â
Namun, dengan kekuasaan tersebut datang juga tanggung jawab besar. Saatnya bagi media untuk mengubah pendekatan mereka dalam melaporkan kasus bunuh diri dan fenomena serupa.
Media harus mempraktikkan etika jurnalistik yang benar, yang seharusnya mengutamakan etika dan kesejahteraan masyarakat.Â
Mereka harus memahami bahwa setiap tindakan jurnalistik memiliki dampak mendalam pada masyarakat, dan oleh karena itu mereka harus bertanggung jawab atas informasi yang mereka sampaikan.Â
Dalam berita-berita tentang bunuh diri, media harus menghindari headline berita yang sensasional, yang hanya menciptakan atmosfer yang salah.Â