Kita tidak bisa mengubah sejarah atau menghapus jejak budaya patriarki dengan sekali sentuhan ajaib. Hal ini dapat menyebabkan perdebatan yang memicu pertentangan, dengan sebagian orang merasa terancam atau meresahkan.
Sebenarnya, jika tujuan awalnya adalah tentang kesetaraan, mungkin kita harus mempertimbangkan untuk menggunakan bahasa yang lebih bijak dan mendekati masalah ini dari sudut pandang yang berbeda.Â
Alih-alih mencoba "menghilangkan" budaya patriarki, kita dapat mencoba untuk "menyeimbangkannya". Konsep menyeimbangkan budaya patriarki tidak hanya lebih realistis, tetapi juga lebih inklusif.
Dalam konteks ini, menyeimbangkan budaya patriarki berarti menciptakan ruang untuk berbagai jenis identitas gender dan memungkinkan individu, tanpa memandang jenis kelamin mereka, untuk berkontribusi secara positif dalam masyarakat.Â
Ini bukan hanya tentang mengganti satu sistem dominasi dengan yang lain, tetapi tentang menciptakan sistem yang mengakui dan memanfaatkan keunikan serta kekuatan yang dimiliki oleh semua individu, terlepas dari gender mereka.
Dengan mempertimbangkan pendekatan ini, kita mungkin dapat merangkul perubahan yang lebih harmonis, menghindari konflik yang tidak perlu, dan mencapai masyarakat yang lebih inklusif dan setara untuk semua.
Budaya Patriarki Menghambat Sosok Perempuan dalam Politik?
Budaya patriarki yang masih berlaku dalam politik Indonesia telah menjadi hambatan nyata bagi perempuan yang bermimpi untuk menjadi wakil presiden.Â
Menurut Profesor Asrinaldi, seorang pakar politik dari Universitas Andalas, budaya ini terus memengaruhi peran dan posisi tawar perempuan dalam penentuan calon wakil presiden pada Pemilihan Presiden tahun 2024.
Dalam pandangan Prof. Asrinaldi, budaya patriarki ini tercermin dalam pola pikir masyarakat yang cenderung memprioritaskan calon laki-laki daripada perempuan dalam politik.Â
Sebagai contoh, jika terdapat pasangan calon di mana seorang laki-laki (seperti Prabowo Subianto) berpasangan dengan seorang perempuan (seperti Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa), pemilih seringkali lebih cenderung memilih calon laki-laki dalam pemilihan elektoral.