Sebagai seorang anak, kita seringkali diidentifikasi oleh profesi orang tua kita. Kedua orang tua saya adalah guru. Ayah saya adalah guru Biologi di sebuah SMP, sementara ibu saya mengajar Matematika di SMP yang berbeda.Bukan PNS, hanya guru swasta biasa di sekolah yang juga tidak terlalu istimewa.
Saya ingin menekankan bahwa tulisan ini bukanlah untuk mengeluh atau merasa tidak bersyukur atas hidup yang telah saya jalani. Sebaliknya, saya merasa beruntung dan bersyukur memiliki orang tua yang peduli dan berdedikasi untuk membantu membentuk sebuah generasi melalui pendidikan.Â
Melalui pengalaman ini, saya hanya ingin membagikan cerita tentang suka dan duka yang mungkin bisa dirasakan oleh banyak anak guru di luar sana, dan mungkin ada yang bisa relate dengan cerita saya.
Melalui artikel ini juga, saya berharap dapat mengungkapkan penghargaan dan rasa hormat saya kepada seluruh guru yang telah berjuang untuk keluraganya. Saya juga ingin mendukung dan menghargai semua anak guru di luar sana yang mungkin merasakan hal serupa.Â
Terkadang (namun sering juga), menjadi anak guru tidak mudah, tetapi saya percaya bahwa pengalaman ini membentuk saya menjadi individu yang sekarang, lebih dewasa dan disiplin.
Semoga cerita saya bisa memberikan wawasan tentang apa yang artinya menjadi anak guru. Saya berharap artikel ini juga dapat memberikan inspirasi dan dukungan bagi mereka yang memiliki orang tua guru atau yang menjalani perjalanan serupa.
1. Stigma Anak Guru itu Harus Pintar
Stigma yang mengharapkan anak-anak guru untuk selalu pintar dalam hal akademis merupakan salah satu stereotip yang kerap kali disalahpahami dalam masyarakat.Â
Entah dari mana datangnya stigma ini, namun kita semua tahu bahwa bakat dan talenta yang dimiliki setiap orang itu berbeda-beda. Menilai anak-anak guru berdasarkan kemampuan akademis saja adalah pendekatan yang terlalu sempit dan tidak adil.Â
Saya adalah salah satu contoh yang dapat menggambarkan bahwa stigma ini tidak selalu berlaku. Saya mungkin tidak terlalu pintar dalam dunia akademis, namun jika digali lagi, ada bakat dan talenta lain yang saya bisa kembangkan, misalnya dalam hal seni.
Seringkali, anak-anak guru ditempatkan pada ekspektasi yang sangat tinggi, ini membuat beban tersendiri dalam kehidupan saya.Â
Masyarakat mungkin berpikir bahwa karena orang tua mereka adalah guru, mereka juga harus menjadi siswa yang berprestasi di semua mata pelajaran.Â
Namun, ini adalah pandangan yang sangat sempit dan tidak menghargai keragaman bakat dan minat yang dimiliki setiap individu. Bahkan anak-anak guru yang mungkin tidak begitu hebat dalam hal akademis, mungkin memiliki kemampuan luar biasa dalam olahraga, seni, musik, atau bidang lain yang tidak selalu diukur oleh nilai-nilai di sekolah.
Selain itu, perlu diingat bahwa menjadi anak guru juga tidak berarti mereka selalu mendapatkan bantuan dan dukungan khusus dalam hal akademis.Â
Orang tua guru mungkin memiliki pengetahuan yang lebih dalam tentang pendidikan, tetapi anak-anak mereka masih harus melalui perjalanan belajar mereka sendiri dengan tantangan dan upaya yang sama seperti siswa lainnya.Â
Mengasumsikan bahwa mereka akan selalu unggul dalam pelajaran hanya karena orang tua mereka adalah guru adalah anggapan yang tidak benar dan dapat menciptakan tekanan yang tidak perlu.
2. Stigma Anak Guru Juga Pasti Akan Jadi Guru
Memiliki orang tua yang berprofesi sebagai guru adalah sebuah keberuntungan dan menjadi sumber inspirasi dalam hidup saya. Meskipun demikian, saya percaya bahwa setiap individu memiliki hak dan kebebasan untuk memilih jalur karir yang sesuai dengan minat dan bakat mereka.Â
Saya mengakui bahwa pendidikan yang saya pilih saat ini tidak sejalan dengan menjadi seorang guru. Namun, jika suatu saat nanti panggilan hati membawa saya ke jalan pendidikan, saya akan menerimanya dengan senang hati.
Saya juga merasa memiliki bakat alami dalam hal mengajar, yang mungkin turun-temurun dari kedua orang tua saya. Contohnya, saya pernah menjadi pelatih paskibra selama beberapa tahun di sekolah saya dahulu.Â
Pengalaman ini memberikan saya kesempatan untuk berbagi pengetahuan dan keterampilan dengan adik-adik saya dulu, dan itu adalah momen yang sangat ingin saya kenang kembali.
Meskipun pilihan pendidikan saya saat ini mungkin berbeda, saya selalu terbuka untuk kemungkinan menjadi guru di masa depan. Keputusan ini akan didasarkan pada panggilan hati dan minat pribadi, bukan hanya karena keturunan dari orang tua saya.Â
Saya percaya bahwa menjalani profesi guru adalah sebuah panggilan mulia, jadi mengambil keputusan untuk menjadi seorang guru itu harus didasari dengan konsep pelayanan.
3. Anak Guru Harus Selalu Benar
Stigma yang menganggap anak guru harus selalu benar adalah pandangan yang sering kali saya temui, dan perlu diungkapkan bahwa ini adalah pandangan yang salah.Â
Pandangan ini mungkin muncul karena ekspektasi yang tinggi terhadap anak-anak guru, terutama dalam hal moralitas dan etika. Namun, kita tidak boleh lupa bahwa anak-anak guru adalah individu dengan segala kesalahan dan kelemahannya.
Mengharapkan anak-anak guru untuk selalu benar adalah hal yang tidak realistis. Kami adalah manusia, dan seperti semua manusia biasa, kami bisa membuat kesalahan.Â
Persepsi bahwa kami harus selalu tampil sempurna dalam segala hal bisa menciptakan tekanan yang tidak perlu dan berpotensi merusak perkembangan kami sebagai individu.Â
Semua orang belajar dari kesalahan, dan anak-anak guru juga harus diberi kesempatan untuk tumbuh dan berkembang melalui proses tersebut.
Selain itu, pandangan ini dapat menciptakan stigma yang merugikan bagi anak-anak guru. Kami mungkin merasa terbebani oleh ekspektasi yang sangat tinggi dan merasa tidak bisa berbicara tentang kesalahan atau ketidaksempurnaan kami.Â
Ini dapat menghambat komunikasi yang sehat dan terbuka dalam keluarga dan antar teman-teman. Anak-anak guru seharusnya dapat merasa nyaman untuk berbicara tentang masalah atau kesalahan mereka tanpa takut akan hukuman atau penghakiman.
Penting untuk mengubah pandangan ini dan mengingatkan bahwa anak-anak guru, seperti semua anak, memiliki hak untuk tumbuh dan belajar melalui pengalaman mereka sendiri. Mereka tidak boleh dibebani dengan harapan yang tidak realistis untuk selalu benar.
4. Bantuan Potongan Biaya Pendidikan
Bantuan biaya pendidikan merupakan salah satu manfaat yang saya rasakan sebagai seorang anak guru. Salah satunya adalah adanya potongan biaya sekolah dan kuliah untuk anak-anak guru.Â
Meskipun bantuan ini mungkin tidak sebanding dengan gaji yang orang tua saya terima, namun dampaknya terasa signifikan dalam perjalanan pendidikan saya.
Bantuan biaya sekolah menjadi sebuah beban finansial yang lebih ringan bagi keluarga kami. Bantuan potongan biaya ini juga memberikan saya kesempatan untuk mengejar impian pendidikan saya.
Namun, penting untuk dicatat bahwa meskipun saya dan anak-anak guru lain mendapatkan bantuan potongan biaya, saya tetap diingatkan oleh orang tua saya tentang pentingnya menghargai kesempatan ini dan menjalani pendidikan selagi masih bisa. Mereka selalu menekankan bahwa pendidikan adalah kunci untuk mencapai impian.
5. Didikan yang Keras
Pendidikan yang keras adalah bagian tak terpisahkan dari pengalaman saya sebagai anak guru. Tidak hanya di kelas, tetapi juga di rumah, saya mendapatkan pengajaran tentang kedisiplinan dan tanggung jawab dari orang tua saya.Â
Mereka memiliki keyakinan yang kuat bahwa pendidikan bukan hanya tentang akademis, tetapi juga tentang membentuk karakter dan perilaku yang baik.
Salah satu contoh konkret dari pendidikan yang keras ini adalah aturan jam malam yang ketat. Sementara teman-teman seusia saya mungkin dapat dengan bebas bermain atau berkumpul di luar rumah hingga larut malam, saya memiliki batasan waktu yang ketat.Â
Orang tua saya menetapkan bahwa saya harus berada di rumah sebelum jam 9 malam, dan setelah itu, pintu rumah akan dikunci (itu dulu ketika rentang waktu 17 sampai 20 tahun), jika sekarang boleh keluar malam namun harus dengan alasan yang jelas.Â
Awalnya, saya mungkin merasa sedikit terbatas oleh aturan ini, namun seiring berjalannya waktu, saya menyadari nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang tua saya.
Selain dari aturan jam malam, pendidikan yang keras juga melibatkan nilai-nilai seperti kerja keras, tanggung jawab, dan kemandirian. Orang tua saya selalu menekankan pentingnya menyelesaikan tugas-tugas sekolah tepat waktu, dan menjadi individu yang bertanggung jawab.Â
Meskipun pendidikan yang keras ini mungkin terasa sulit pada saat itu, saya sangat bersyukur atas nilai-nilai dan disiplin yang ditanamkan oleh orang tua saya.Â
Mereka telah membantu membentuk karakter saya dan memberikan dasar yang kuat untuk meraih impian dan tujuan saya. Pendidikan yang keras ini adalah bukti nyata dari cinta dan perhatian mereka terhadap masa depan saya, dan saya akan selalu menghargainya dalam perjalanan hidup saya (walaupun agak menyebalkan).
6. Sulit Menyamakan Identitas Sosial dengan Teman Kala SMA
Sulit menyamakan identitas sosial adalah salah satu tantangan yang saya hadapi saat bersekolah di lingkungan yang cukup berbeda dari latar belakang keluarga saya.Â
SMA kala itu adalah periode yang penuh dengan pergaulan dan dinamika sosial. Teman-teman sebaya saya memiliki gaya hidup yang cukup berbeda dari apa yang biasa saya alami di rumah.
Kondisi ekonomi keluarga saya tidak memungkinkan untuk mengikuti gaya hidup yang sama dengan teman-teman saya. Hal ini membuat saya merasa kesulitan untuk terus-terusan bersosialisasi dengan mereka, terutama jika aktivitas yang mereka lakukan melibatkan biaya yang cukup tinggi.Â
Saya akhirnya menjadi selektif dalam memilih teman, lebih memilih untuk bergaul dengan mereka yang memiliki minat dan latar belakang yang seirama dengan saya.
Namun, ada juga teman-teman dari latar belakang yang lebih 'elit' yang ingin mendekatkan diri kepada saya. Ini merupakan pengalaman yang menarik, karena mereka ingin mengenal lebih jauh tentang kehidupan saya. Mereka yang bersedia berbicara dan mendengarkan membuat saya merasa dihargai dan diterima apa adanya.
Untungnya, saya tidak pernah merasa perlu mengorbankan identitas atau integritas saya untuk mendapatkan persahabatan. Meskipun ada tekanan untuk mengikuti pola gaya hidup yang berbeda, saya tetap setia pada nilai-nilai dan prinsip yang diajarkan oleh orang tua saya.Â
Saya tumbuh dengan pemahaman bahwa identitas sosial saya adalah bagian dari siapa saya, dan saya tidak perlu mengubahnya untuk diterima oleh orang lain.
Meskipun perjalanan itu tidak selalu mudah, pengalaman ini telah membantu saya tumbuh dan menghargai nilai-nilai sejati dalam persahabatan dan hubungan sosial. Saya belajar untuk memilih teman-teman yang menerima saya apa adanya, dan tidak hanya berdasarkan aspek materi atau gaya hidup semata.
Penutup
Dari cerita saya di atas, kita dapat menarik pelajaran berharga tentang keberagaman pengalaman dan tantangan yang dapat dihadapi dalam kehidupan, terutama sebagai seorang anak guru.Â
Di balik semua itu, kita harus selalu ingat bahwa setiap pengalaman, baik suka maupun duka, adalah bagian dari perjalanan kita untuk menjadi individu yang lebih baik.Â
Jadi, mari kita terus menghargai pengalaman kita, belajar dari kesalahan, dan berusaha untuk menjadi individu yang lebih baik setiap hari. Semua perjuangan dan pencapaian kita adalah langkah-langkah menuju masa depan yang cerah.Â
Saya juga ingin menekankan bahwa, meskipun ada tantangan dan pengalaman unik yang datang dengan menjadi anak guru, saya bersyukur atas pengalaman hidup ini.Â
Memiliki orang tua yang berprofesi sebagai guru telah memberi saya banyak pelajaran berharga tentang kehidupan. Saya juga telah melihat betapa pentingnya peran seorang guru baik di dalam kelas maupun di rumah sebagai orangtua.
***
Terima kasih untuk seluruh guru yang sudah mendedikasikan dirinya dalam dunia pendidikan, terima kasih sudah menjadi orang tua di sekolah dan di rumah. Semoga ke depan nasib-nasib guru di Indonesia akan jauh lebih baik lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H