Mohon tunggu...
Benedictus Adithia
Benedictus Adithia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kompasiana Youth Creator Batch 1 | Journalism Enthusiast

Ben mendefinisikan dirinya sebagai multiplatform storyteller, mencoba mengemas sebuah isu menjadi laporan mendalam berbasis jurnalistik menggunakan pendekatan informasi data sumber terbuka. Follow me on Instagram: @benedictus._

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kasus Nyata Bahwa Hoaks di Indonesia Bisa Membuat Seseorang Hampir Tewas

1 Oktober 2023   10:57 Diperbarui: 1 Oktober 2023   11:25 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi berita palsu. (Envato/@Rawpixel)

Kisah tragis seorang calon anggota legislatif (caleg) dari Sekotong, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, yang dituduh melecehkan anak kandungnya sendiri, adalah salah satu peristiwa yang mengguncang hati banyak orang. 

Ketika pertama kali mendengar kabar ini, emosi yang timbul pada banyak orang adalah kegeraman dan kebencian terhadap sang ayah yang tega melakukan perbuatan keji seperti itu. 

Namun, dalam situasi seperti ini, seringkali bijak untuk tidak terburu-buru menyimpulkan dan merespons secara emosional. Kita perlu menggali lebih dalam, menyelidiki, dan memahami sepenuhnya apa yang sebenarnya terjadi. 

Terkadang, kabar yang kita terima bisa jadi berita palsu (hoaks) atau setidaknya belum sepenuhnya akurat. Dalam kasus ini, ketika kita menggali lebih dalam, kita akan menemukan fakta-fakta yang mungkin mengubah sudut pandang kita.

Mengutip Tribun News, kasus ini berawal dari sebuah video yang menjadi viral di media sosial, menampilkan seorang pria berinisial S (50) yang mengalami penganiayaan oleh sejumlah warga di Desa Sekotong Tengah, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, pada tanggal 16 Juli 2023 lalu. 

Pria tersebut ternyata adalah seorang caleg dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang menjadi sasaran kemarahan warga karena dituduh melakukan pelecehan terhadap puterinya sendiri hingga hamil.

Berita ini awalnya muncul dari laporan anak pertama korban, yang melaporkan dugaan pemerkosaan ini kepada salah satu tokoh masyarakat setempat. Anak tersebut mengakui bahwa adiknya pernah dilecehkan oleh sang ayah dan bahkan mengalami kehamilan akibat perbuatan tersebut. 

Akibat dari cerita ini, seorang warga yang sangat marah dengan pemerkosaan yang diduga dilakukan oleh ayah terhadap anaknya, mengumumkan peristiwa ini melalui pengeras suara masjid (TOA), yang kemudian memicu warga untuk keluar dari rumah mereka dan melakukan peristiwa persekusi terhadap S. Video penganiayaan tersebut dengan cepat menyebar dan menjadi viral di media sosial.

S mengalami keadaan kritis dan dirawat intensif di RSUD Tripat Gerung, Lombok Barat, sebagai akibat dari penganiayaan yang dia alami. Namun, setelah penyelidikan lebih lanjut, terungkap bahwa anak korban membantah bahwa ayahnya melakukan pemerkosaan terhadapnya. 

Korban bersama pengacaranya mengklarifikasi bahwa ada miskomunikasi dalam komunikasi antara korban dan kakaknya. Dia mengakui bahwa sebenarnya dia pernah berhubungan intim dengan pacarnya, bukan dengan ayahnya. Hasil pemeriksaan medis juga tidak menunjukkan adanya kehamilan pada korban.

Kasus ini mengundang perhatian dan keprihatinan luas, termasuk dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Nusa Tenggara Barat, yang awalnya memutuskan untuk mengeluarkan korban dari partai karena dianggap akan merugikan nama baik partai. 

Namun, setelah mengetahui kebenaran berdasarkan hasil visum dan penyelidikan lebih lanjut, pihak partai kemudian meminta lembaga seperti Kompolnas dan Komnas HAM untuk turun tangan jika polisi tidak bertindak tegas terhadap para pelaku persekusi dan penganiayaan.

Kisah ini menggambarkan kompleksitas dalam menilai situasi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita. Meskipun kita mungkin merasa sangat empati dan marah pada awalnya, penting bagi kita untuk selalu mencari kebenaran dan menyelidiki lebih lanjut sebelum membuat kesimpulan akhir. 

Kasus ini juga menyoroti pentingnya tanggung jawab media sosial dalam menyebarkan informasi yang akurat dan tidak mengedepankan sensasionalisme. 

Apa Pelajaran Berharga dari Kasus Ini?

Ilustrasi fake dan fact. (Envato/@Digitalshape)
Ilustrasi fake dan fact. (Envato/@Digitalshape)

Kasus di atas adalah contoh yang sangat menunjukkan betapa pentingnya menjaga kedewasaan dan kebijaksanaan dalam menanggapi situasi yang mungkin terlihat memicu emosi.

Pertama-tama, kita harus selalu ingat bahwa main hakim sendiri adalah tindakan yang salah dan tidak dibenarkan. Meskipun kita mungkin merasa yakin bahwa seseorang bersalah, tidak ada alasan untuk mengambil hukum ke tangan sendiri. 

Lebih baik menyerahkan kasus tersebut kepada lembaga yang berwenang untuk melakukan penyelidikan dan mengambil langkah-langkah hukum yang tepat. Kasus seperti ini membutuhkan penyelidikan yang obyektif dan bukti yang kuat sebelum ada penentuan kesalahan.

Penting untuk menyadari bahwa tindakan main hakim sendiri, seperti yang terjadi pada kasus ini, dapat memiliki dampak yang sangat merusak. Pria yang dituduh melakukan pelecehan anaknya sendiri telah difitnah, diusir dari partai politiknya, dan bahkan mengalami penganiayaan fisik oleh warga. 

Jika berita tersebut ternyata tidak benar, maka tindakan-tindakan ini telah merusak reputasinya secara permanen. Ini adalah contoh nyata bagaimana penyebaran hoaks dapat menghancurkan kehidupan seseorang.

Kasus ini juga mengingatkan kita tentang bahayanya penyebaran hoaks di masyarakat. Hoaks dapat merusak reputasi seseorang, menciptakan kekacauan, dan bahkan berdampak fatal pada kehidupan seseorang. Begitu berita palsu menyebar, sulit untuk mengendalikan emosi dan reaksi masyarakat yang marah atau takut. 

Lebih lanjut, hoaks juga dapat memecah belah masyarakat dan menciptakan perpecahan di antara mereka. Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan kesadaran tentang bahaya hoaks dan berita palsu di era digital ini.

Pentingnya "habit check" atau kebiasaan untuk memeriksa dan mengecek informasi sebelum menyebarkannya juga tidak boleh diabaikan. Sebagai individu yang aktif di media sosial, kita memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa informasi yang kita terima dan sebarkan adalah benar dan dapat dipercaya. 

Beberapa langkah yang dapat kita lakukan untuk memverifikasi informasi adalah:

  • Verifikasi Sumber Informasi: Pastikan berita berasal dari sumber yang terpercaya dan memiliki reputasi yang baik. Hindari menyebarkan berita dari akun atau situs web yang tidak jelas asal-usulnya.
  • Cross-Check Berita: Cari sumber lain yang mengkonfirmasi informasi yang sama sebelum menyebarkannya. Jika berita hanya ada di satu sumber, pertimbangkan kemungkinan bahwa itu bisa menjadi hoaks.
  • Gunakan Fakta dan Data: Selalu mengutip data dan fakta yang dapat diverifikasi ketika menyampaikan informasi. Hindari menyebarkan klaim tanpa bukti yang kuat.
  • Jangan Terpancing Emosi: Hindari menyebarkan berita secara emosional tanpa verifikasi yang tepat. Jika berita terlalu sensasional atau kontroversial, lebih baik berhati-hati dan periksa kembali kebenarannya.

Dengan mengikuti prinsip-prinsip ini, kita dapat membantu memerangi penyebaran hoaks dan berita palsu di masyarakat. Sebagai individu yang bertanggung jawab, kita memiliki peran penting dalam menjaga integritas informasi yang beredar di dunia digital saat ini.

Referensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun