Indeks kualitas udara di Jakarta mencapai angka 157, yang masuk dalam kategori kualitas udara yang tidak sehat.
Polutan utama udara di Jakarta saat itu adalah Particulate Matter 2,5 (PM 2,5) dengan nilai konsentrasi mencapai 67,1 g/m (mikrogram per kubik).
Angka tersebut melampaui panduan kualitas udara tahunan yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebanyak 13,4 kali lipat. Sementara standar kualitas udara ideal menurut WHO adalah konsentrasi PM 2,5 antara 0 hingga 5 mikrogram per meter kubik.
PLTU Tenaga Batu Bara Bukan Penyebab Utama Polusi?
Mengutip CNBC Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya, dalam paparannya tentang peningkatan kualitas udara di Jabodetabek, yang dibawakan saat Rapat Terbatas Kabinet di Istana Negara, Jakarta pada hari Senin (14/8/2023).
Siti Nurbaya menyampaikan bahwa sektor transportasi merupakan kontributor terbesar dalam penggunaan bahan bakar di Jakarta.
Data tersebut mengungkapkan bahwa sektor transportasi berperan sebesar 44% dari total penggunaan bahan bakar di Jakarta. Sementara itu, industri energi menyumbang 31%, manufaktur industri 10%, sektor perumahan 14%, dan sektor komersial 1%.
Dalam hal emisi gas karbon monoksida (CO), sektor transportasi menjadi penyumbang terbesar dengan proporsi 96,36%, setara dengan 28.317 ton per tahun.Â
Diikuti oleh pembangkit listrik dengan kontribusi 1,76% atau 5.252 ton per tahun, dan industri dengan 1,25% yang mencapai 3.738 ton per tahun.
Menariknya, sepeda motor menjadi penyumbang beban pencemaran per penumpang tertinggi dibandingkan dengan mobil pribadi berbahan bakar bensin, mobil pribadi berbahan bakar solar, mobil penumpang, dan bus.Â
Populasi sepeda motor mencapai 78% dari total kendaraan bermotor di DKI Jakarta, dengan jumlah mencapai 24,5 juta kendaraan. Bahkan, terdapat pertumbuhan sepeda motor sebanyak 1.046.837 unit per tahun.
Namun, jika melihat emisi gas sulfur dioksida (SO2), sektor industri manufaktur menjadi penyumbang utama dengan kontribusi 2.631 ton per tahun atau sekitar 61,9%.Â