Mohon tunggu...
Benedictus Adithia
Benedictus Adithia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kompasiana Youth Creator Batch 1 | Journalism Enthusiast

Ben mendefinisikan dirinya sebagai multiplatform storyteller, mencoba mengemas sebuah isu menjadi laporan mendalam berbasis jurnalistik menggunakan pendekatan informasi data sumber terbuka. Follow me on Instagram: @benedictus._

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Kerinduanku: Paskibra, Senioritas, dan Keluarga Baru

17 Agustus 2023   17:09 Diperbarui: 22 Agustus 2023   00:49 938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tak semua bisa jadi kakak pembina. (Dokumentasi pribadi)

"Kak, kapan mau melatih paskibra lagi di sekolah?", tanya seorang adik yang belum lama ini menghubungi saya lewat DM Instagram.

Sejenak memori-memori lalu yang sempat terukir kembali menghampiri diri saya. Dalam situasi penuh kenangan, saya menjawab, "Iya dek, kakak coba usahakan untuk ke sana ya".

Menjadi Seorang Adik

Kisah ini diawali dengan masuknya saya pada ekstrakulikuler paskibra di masa saya SMA. Entah atas dasar apa saya memilih ekskul tersebut, satu hal yang pasti saya memang senang dengan hal-hal yang berbau nasionalisme.

Pada awal-awal menjalani ekskul paskibra rasanya seperti hendak pergi ke sebuah kandang yang dipenuhi dengan binatang buas. Tak terpikirkan sebelumnya kalau pendidikan yang diajarkan akan sekeras itu.

Ya, ketika itu saya masih di kelas X dan menjadi adik di ekskul paskibra. Ya, perlu diakui ketika itu pendidikan yang saya dapatkan berbasis senioritas.

Saya tidak berkata bahwa senioritas itu tidak baik sepenuhnya, tapi dalam praktiknya memang beberapa ilmu dan pemahaman bisa dicapai dengan senioritas.

Di lain sisi, saya juga tidak mendukung senioritas sepenuhnya. Apalagi jika senior sudah meminta melakukan hal-hal yang tidak masuk akal dan tanpa alasan.

Itu sebabnya mengapa di kemudian hari saya coba menghilangkan beberapa praktik senioritas yang tidak berdasar dan tanpa alasan.

Kembali lagi ke cerita saya, selama menjadi adik di ekskul paskibra kami tidak hanya mempelajari apa itu baris-berbaris dan pengibaran bendera.

Di ekskul tersebut saya juga diajarkan tentang fisik dan mental. Fisik kami digembleng dengan banyaknya aktivitas fisik di luar baris-berbaris.

Ditambah, mental kami ditempa ketika sudah ada di dalam barisan. Ketika melihat kakak-kakak di dalam barisan, rasanya seperti dilihat oleh malaikat pencabut nyawa.

Setiap gerak-gerik dan kesalahan yang dilakukan pasti akan diketahui oleh kakak.

Perjalanan menjadi seorang adik pun usai ketika hendak naik ke kelas XI. Di sekolah saya, ada tradisi di mana seorang adik dinyatakan layak menjadi seorang kakak.

Lantip Abilawa saat latihan bersama paskibra. (Dokumentasi pribadi)
Lantip Abilawa saat latihan bersama paskibra. (Dokumentasi pribadi)

Tradisi itu kami sebut "pengtop" atau pengambilan topi. Ya kurang lebihnya acaranya seperti acara rekoleksi atau retreat. Di mana kami menerima pembekalan dari "sesepuh-sesepuh", hingga puncak acaranya adalah pengambilan topi.

Menjadi Seorang Kakak Pelatih

Naik ke kelas XI saya berpikir tugas saya sebagai kakak pelatih akan lebih ringan daripada menjadi seorang adik. Ternyata semua persepsi itu tidak benar adanya.

Adanya tekanan dari senior, membuat saya dan teman-teman seangkatan harus mengejar target untuk pencapaian yang harus dikejar.

Kalau tadi, menjadi seorang adik hanya berfokus pada capaian diri sendiri, beda halnya dengan seorang kakak. Kakak bertugas untuk melatih adik-adiknya. Itu artinya, sebagai seorang kakak juga harus memiliki kompetensi yang cukup.

Belum lagi tekanan yang datang dari para senior. Bukan tanpa hukuman, ketika ada capaian yang tidak sesuai target, saya sebagai kakak pun akan kena imbasnya. Itu yang perlu kalian ketahui wahai adik-adik.

Ketika kelas XI ini, saya pun masih bergabung dan belajar bersama dengan adik-adik kelas X. Namun, memang tugas dan tanggung jawab kami lebih terfokus pada pencapaian dan penyelarasan materi ajar.

Menjadi Kakak Pendamping

Dedikasi seorang kakak. (Dokumentasi pribadi)
Dedikasi seorang kakak. (Dokumentasi pribadi)

Tahap menjadi kakak pelatih usai ketika naik ke kelas XII. Tahap selanjutnya adalah menjadi kakak pendamping. Tugas utamanya memang tidak seberat adik-adik dan kakak pelatih.

Karena memang kita tahu bahwa di kelas XII itu pada masanya disibukkan dengan urusan akademis. Antara lain ketika itu banyak sekali dilakukan try out, ujian sekolah, dan ujian nasional (walaupun ketika itu UN sudah tidak lagi menjadi penentu kelulusan).

Kakak pendamping tidak memiliki kewajiban lebih untuk memantau adik dan kakak pelatih. Secara sukarela kami bergantian untuk memantau adik-adik kami.

Namun, tanpa kewajiban bukan berarti menghilangkan tanggung jawab kami sebagai seorang kakak. Saya dan teman seangkatan saya masih perlu memantau berjalannya ekskul paskibra, supaya pengajarannya tidak keluar dari jalur-jalur yang disepakati.

Memang perlu diakui bahwa metode senioritas merupakan metode pengajaran yang rawan. Di situlah tugas kakak pendamping memastikan bahwa pengajaran masih sesuai dengan etika dan norma-norma yang dipegang.

Tak Semua Bisa Menjadi Kakak Pembina

Tak semua bisa jadi kakak pembina. (Dokumentasi pribadi)
Tak semua bisa jadi kakak pembina. (Dokumentasi pribadi)

Sebenarnya tahapan dalam ekskul paskibra di sekolah saya sudah berakhir sampai tahapan kakak pendamping. Namun, situasi membutuhkan beberapa di antara kami untuk tetap berkontribusi pada ekskul paskibra meskipun kami sudah menjadi alumni.

Tidak semua mau dan bisa menjadi kakak pembina. Hanya beberapa saja yang mau mengabdikan diri dan membagikan ilmunya kepada adik-adik yang masih bersekolah, salah satunya saya.

Saya menjadi kakak pembina bersama teman-teman yang lain, bahkan ada juga dari senior yang masih membina.

Ketika itu, kami tidak hanya membina sekolah almamater kami. Kami juga diminta untuk membina ke beberapa sekolah dari jenjang SMP hingga SMA.

Secara profesional kami berusaha untuk memahami bagaimana menjadi seorang guru ekstrakulikuler, secara spesifik untuk ekskul paskibra ini.

Kami merancang silabus dan pencapaian pembelajaran secara profesional, sehingga ekskul paskibra di sekolah- sekolah yang kami bina bisa berkembang dengan baik.

Cukup sulit rasanya untuk menjadi seorang kakak pembina. Di samping harus memikirkan materi pembelajaran, kami juga harus memastikan materi ajar sampai di pemahaman adik-adik.

Belum lagi harus disiplin dan tegas sebagai cerminan seorang kakak yang bisa membina adik-adiknya.

Namun, saya senang bisa mengabdikan diri lewat hal-hal kecil ini. Sedari awal saya memang suka dengan kegiatan-kegiatan pengabdian dan nasionalisme seperti ini.

Tak terpikirkan sedikit pun bahwa saya bisa melangkah sejauh ini. Tidak ada rencana sebelumnya untuk mengabdi menjadi kakak pembina paskibra.

Ya, saya hanya mengikuti jalan yang sudah tersedia saja, juga menjalaninya semaksimal mungkin. Terkait hasilnya, saya pun bisa apa. Semua sudah ada jalannya masing-masing.

Puncak Kerinduan

Kebanggaan seoran kakak melihat Bendera Merah Putih dikibarkan adiknya. (Dokumentasi pribadi)
Kebanggaan seoran kakak melihat Bendera Merah Putih dikibarkan adiknya. (Dokumentasi pribadi)

Tulisan di atas tadi merupakan memori-memori saya yang teringat ketika muncul pertanyaan di DM Instagram saya sebelumnya.

Ya, semenjak pandemi melanda dan kegiatan sekolah berganti menjadi WFH, sejak saat itu pula saya sudah tidak lagi aktif menjadi kakak pembina.

Hampir semua kegiatan tatap muka dialihkan menjadi WFH, itu berdampak langsung bagi saya dan rekan-rekan lain. Sehingga mau tidak mau kami harus vakum dari kegiatan ini.

Selama bertahun-tahun pula semenjak pandemi setiap tanggal 17 Agustus saya hanya bisa melihat kenangan foto-foto lawas yang masih tersimpan di Google Photos.

Rasanya rindu sekali ketika melihat foto-foto itu . Rindu bisa melatih adik-adik, rindu bisa tertawa dan sedih bersama, rindu juga bisa belajar dari adik-adik.

Kini, yang tersisa hanya kenangan dan rasa bangga bisa berkontribusi bela negara lewat hal-hal kecil tersebut. Apalagi ketika melihat Bendera Merah Putih bisa dikibarkan oleh adik-adik yang saya latih.

Setiap kali melihat adik yang saya latih berhasil mengibarkan Bendera Merah Putih, setiap kali itu juga rasanya ingin meneteskan air mata.

Lucunya, setiap kali selesai pengibaran saya selalu pergi ke toilet untuk membasuh wajah. Ya, kalo ditanya saya jawab "Saya ngantuk habis cuci muka".

Saya selalu mengajarkan mereka semua untuk menjadi sebuah keluarga, walaupun tidak ada ikatan darah sama sekali. Tapi, dari situlah mereka punya rasa memiliki satu sama lain.

Mereka tidak berjalan sendiri, mereka tidak berjuang sendiri, mereka tidak sedih atau senang sendiri. Mereka ada untuk satu sama lain.

Menghibur yang jiwanya bersedih, mengobati yang hatinya terluka, menopang satu sama lain. Itulah keluarga baruku.

SELESAI.

Shoutout to:

Alumni Paskibra SMA Katolik Sang Timur angkatan 2016. (Dokumentasi pribadi)
Alumni Paskibra SMA Katolik Sang Timur angkatan 2016. (Dokumentasi pribadi)
  • Lantip Abilawa
  • Musa Carlos
  • Matthias Nursalim, dan
  • Paskibra SMA Katolik Sang Timur

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun