Berarti jumlah surat suara nantinya akan melebihi 1 juta lembar. Belum lagi jika ada surat suara yang cacat atau tidak layak. Dari hal itu timbul lagi pertanyaan dalam benak saya,
"Apa kertas suara itu diproduksi dari pohon-pohon di Indonesia? Atau kertasnya turun begitu saja dari langit?"
Hal yang sebenarnya bagi sebagian orang adalah hal yang sepele. Ya, mungkin bagi saya juga sepele sih, bedanya saya tidak menganggap hal tersebut secara ringan.
Saya memang bukan seseorang yang ahli di bidang lingkungan atau aktivis lingkungan. Tapi toh tidak ada salahnya juga saya bertanya atas pertanggungjawaban tersebut kan?
Belum lagi saya habis membaca data bahwa polusi udara di Jakarta itu nomor 1 terkotor di Dunia, berdasarkan Air Quality Index (AQI).
Kemudian, selanjutnya adalah masalah limbah kampanye. Coba teman-teman bayangkan, biasanya setiap partai memasang bendera, baliho, atau selebaran yang banyak kita temui di pinggiran jalan.
Pertanyaannya adalah,
"Kemana limbah-limbah tersebut nantinya akan bermuara? Apakah bendera partai yang dikibarkan itu adalah bekas produksi atau kampanye sebelumnya?"
Hmm, saya tidak yakin sih. Entah kenapa saya lebih yakin bahwa bendera-bendera yang digunakan itu adalah produksi baru. Belum lagi baliho dan spanduk, kalau itu pasti tidak mungkin pakai yang bekas dong.
Bagus jika limbah pasca-kampanye tersebut bisa digunakan kembali atau bahkan didaur ulang. Ya, paling tidak jadi bungkus gorengan atau kacang rebus?
Satu hal yang dapat saya simpulkan, bahwa belum adanya fokus pada penanganan pasca-pemilu ini, apalagi kaitannya dengan masalah lingkungan seperti di atas.