Mengawali tulisan ini, sebelumnya saya sempat menonton konten pemilu, lalu dilalahnya setelah itu muncul konten lingkungan di YouTube Shorts saya. Kemudian, muncul pertanyaan dalam benak saya,
"Kemana sih kertas suara yang kita coblos pada pemilihan presiden, kepala daerah, dan legislatif? Apa setelahnya di daur ulang atau hanya menjadi limbah saja?"
Spontan saya langsung mengunggah Threads dan menanyakan itu, saya juga langsung mencarinya di Mbah Google, tapi sayangnya saya belum menemukan jawabannya.
Entah karena memang isu ini yang tidak  menjadi pemberitaan penting, atau saya saja yang kurang telaten dalam mencarinya. Tapi intinya sulit sekali menemukan jawaban atas pertanyaan saya di atas.
Mungkin dari teman-teman semua ada yang mengetahui kemana larinya kertas-kertas suara yang kita coblos, kalian bisa coba berikan tanggapan di kolom komentar ya!
Oke, balik lagi ke topik. Setelah saya googling saya menemukan fakta bahwa jumlah DPT (Daftar Pemilih Tetap) pada tahun 2024 adalah 204.807.222. Wow angka yang sangat fantastis tentunya.
Kemudian, saya coba googling lagi jumlah surat suara yang nantinya masing-masing dari kita memiliki hak untuk mencoblosnya. Ternyata jumlah surat suara pada pemilu nanti adalah 5 surat suara.
Nah, dari data di atas coba kita ilustrasikan bahwa setiap orang memiliki 5 surat suara. Itu artinya, 204,8 juta orang dikalikan dengan 5 surat suara tersebut.
Yup, lebih dari 1 juta surat suara yang dibutuhkan pada pemilu di 2024 nanti. Perhitungan itu saja masih perhitungan minimal, maksudnya jumlah surat suara tidak mungkin diproduksi secara pas-pasan dengan jumlah pemilih.
Berarti jumlah surat suara nantinya akan melebihi 1 juta lembar. Belum lagi jika ada surat suara yang cacat atau tidak layak. Dari hal itu timbul lagi pertanyaan dalam benak saya,
"Apa kertas suara itu diproduksi dari pohon-pohon di Indonesia? Atau kertasnya turun begitu saja dari langit?"
Hal yang sebenarnya bagi sebagian orang adalah hal yang sepele. Ya, mungkin bagi saya juga sepele sih, bedanya saya tidak menganggap hal tersebut secara ringan.
Saya memang bukan seseorang yang ahli di bidang lingkungan atau aktivis lingkungan. Tapi toh tidak ada salahnya juga saya bertanya atas pertanggungjawaban tersebut kan?
Belum lagi saya habis membaca data bahwa polusi udara di Jakarta itu nomor 1 terkotor di Dunia, berdasarkan Air Quality Index (AQI).
Kemudian, selanjutnya adalah masalah limbah kampanye. Coba teman-teman bayangkan, biasanya setiap partai memasang bendera, baliho, atau selebaran yang banyak kita temui di pinggiran jalan.
Pertanyaannya adalah,
"Kemana limbah-limbah tersebut nantinya akan bermuara? Apakah bendera partai yang dikibarkan itu adalah bekas produksi atau kampanye sebelumnya?"
Hmm, saya tidak yakin sih. Entah kenapa saya lebih yakin bahwa bendera-bendera yang digunakan itu adalah produksi baru. Belum lagi baliho dan spanduk, kalau itu pasti tidak mungkin pakai yang bekas dong.
Bagus jika limbah pasca-kampanye tersebut bisa digunakan kembali atau bahkan didaur ulang. Ya, paling tidak jadi bungkus gorengan atau kacang rebus?
Satu hal yang dapat saya simpulkan, bahwa belum adanya fokus pada penanganan pasca-pemilu ini, apalagi kaitannya dengan masalah lingkungan seperti di atas.
Masukan dari saya, seharusnya tim sukses dan relawan bisa mencoba memperhatikan dampak apa yang telah mereka (atau mungkin kita) lakukan terhadap lingkungan.
Saya tahu kita ini sedang berpesta, namun bukannya seharusnya kita juga beres-beres setelah pesta itu dilakukan. Terlebih pesta ini dilakukan di rumah kita sendiri.
Saya yakin Bapak/Ibu, Mas/Mba, serta rekan-rekan semuanya diajarkan bersih-bersih setelah melakukan kegiatan atau acara di rumah kalian masing-masing. Ya sesimpel membersihkan meja dan piring setelah makan malam.
Terakhir, yang saya ingin menutupnya dengan pertanyaan,
"Apakah ternyata selama ini yang menjadi limbah, sampah, penyakit, virus, pandemi atau kiamat itu sebenarnya adalah kita sendiri?"
Saya tidak menyalahkan pemerintah, calon kepala daerah, calon legislatif dan yang lain. Tapi, saya menyalahkan pada diri saya sendiri. TIDAK, maksudnya mari kita coba refleksikan pada diri kita sendiri. Hal kecil apa yang sudah kita lakukan dalam menjaga lingkungan.
Salam lestari!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI