Mohon tunggu...
Benedictus Adithia
Benedictus Adithia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kompasiana Youth Creator Batch 1 | Journalism Enthusiast

Ben mendefinisikan dirinya sebagai multiplatform storyteller, mencoba mengemas sebuah isu menjadi laporan mendalam berbasis jurnalistik menggunakan pendekatan informasi data sumber terbuka. Follow me on Instagram: @benedictus._

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Apakah FOMO Meningkatkan Kesadaran Gen Z di Pemilu 2024?

9 Agustus 2023   18:30 Diperbarui: 10 Agustus 2023   07:41 1265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilu merupakan salah satu tonggak penting dalam demokrasi suatu negara, di mana setiap warga negara memiliki hak untuk berpartisipasi dalam menentukan arah perjalanan negara melalui pemilihan para pemimpinnya. 

Di era yang terus berkembang ini, generasi muda atau yang dikenal sebagai Generasi Z (Gen Z), memegang peran yang semakin signifikan dalam proses demokrasi. 

Namun, dalam menghadapi Pemilu 2024, muncul pertanyaan kritis mengenai efektivitas strategi yang digunakan dalam meningkatkan kesadaran dan keterlibatan Gen Z dalam proses pemilu tersebut.

Salah satu konsep yang telah menjadi perbincangan di era digital ini adalah "FOMO" atau "Fear of Missing Out," yang merujuk pada kecenderungan seseorang untuk merasa khawatir dan cemas jika merasa tertinggal dari informasi atau pengalaman yang sedang tren. 

Seolah-olah, FOMO telah dianggap sebagai alat yang potensial untuk memotivasi Gen Z agar lebih aktif dalam hal-hal yang terjadi di sekitar mereka, termasuk proses politik seperti Pemilu. 

Namun, dalam konteks meningkatkan kesadaran dan partisipasi politik, pertanyaan mendasar muncul: Apakah FOMO benar-benar mampu memacu minat dan keterlibatan Gen Z dalam Pemilu 2024?

Sebagai salah satu pemilih muda, saya akan coba tuangkan keresahan saya pada sistem politik dan pesta demokrasi yang akan berlangsung pada Februari 2024.

Pemilih Muda (Gen Z) dalam Pemilu 2024

Gen Z dan Pemilu 2024 Indonesia. (Unsplash.com/@Element5 Digital)
Gen Z dan Pemilu 2024 Indonesia. (Unsplash.com/@Element5 Digital)

Melansir KPU, jumlah pemilih muda Indonesia pada tahun 2024 diperkirakan mencapai 106.358.447 jiwa. Jumlah ini merupakan 52% dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 yang mencapai 204.807.222 jiwa.

Gen Z dan milenial mendominasi pemilih muda Indonesia. Gen Z adalah kelompok yang lahir pada tahun 1995-2010, sedangkan milenial adalah kelompok yang lahir pada tahun 1980-1994. 

Jumlah pemilih Gen Z pada tahun 2024 diperkirakan mencapai 46.800.161 jiwa, sedangkan jumlah pemilih milenial diperkirakan mencapai 66.822.389 jiwa.

Pemilu 2024 akan menjadi pemilu yang sangat penting bagi generasi muda Indonesia. Generasi muda Indonesia memiliki potensi untuk menjadi kekuatan politik yang besar di Indonesia. 

Gen Z memiliki jumlah yang besar, mereka memiliki akses yang besar ke teknologi, dan mereka memiliki ketertarikan yang besar terhadap isu-isu lingkungan, sosial, dan politik.

Pemilu 2024 adalah kesempatan bagi generasi muda Indonesia untuk menyuarakan suara yang kami perjuangkan dan untuk memilih pemimpin yang akan mewakili kepentingan kami. 

Generasi muda Indonesia harus berpartisipasi dalam pemilu 2024 dan menggunakan hak pilih kami untuk memilih pemimpin yang akan memajukan Indonesia.

Namun, tidak semudah itu menarik hati pemilih muda Indonesia.

Politik Tak Menarik bagi Gen Z dan Milenial?

Ada beberapa alasan mengapa pesta demokrasi tidak lagi menarik bagi generasi seangkatan saya.

1. Kami tidak percaya bahwa suara kami akan didengar. 

Dari pengalaman sebelumnya, Gen Z tumbuh di dunia yang semakin terpolarisasi yang menciptakan segala persaingan dan perdebatan. Namun, setelah semua ketegangan tercipta, yang di atas dengan mudahnya mengubah haluan dari konsistensi politknya. 

Hal ini juga yang memberi pelajaran kepada Gen Z bahwa politik itu dinamis. Jadi, daripada kami terlalu serius dan bersemangat membuang-buang tenaga, lebih baik nikmati saja alurnya. Toh, bukannya ujung-ujungnya juga bersatu di kabinet yang sama? 

2. Kami tidak yakin apa yang kami perjuangkan.

Gen Z adalah generasi yang sangat beragam, dengan berbagai macam minat dan aspirasi. Hal ini membuat sulit bagi kami untuk menemukan sesuatu yang kami semua perjuangkan, dan yang membuat kami ingin berpartisipasi dalam politik.

3. Pesta demokrasi dianggap tidak relevan dengan kehidupan kami.

Gen Z tumbuh di era teknologi yang cepat berubah dan kami memiliki harapan yang tinggi untuk masa depan. Kami ingin melihat perubahan yang nyata dalam dunia, dan kami tidak percaya bahwa pesta demokrasi dapat memberikan perubahan tersebut.

4. Pesta demokrasi dianggap korup dan tidak efektif. 

Gen Z telah melihat banyak skandal politik dalam beberapa tahun terakhir dan kami kehilangan kepercayaan pada sistem politik. Kami terkadang percaya bahwa pesta demokrasi dikendalikan oleh kepentingan khusus dan bahwa kami tidak memiliki suara yang berarti.

5. Pesta demokrasi dianggap membosankan dan tidak menarik. 

Gen Z adalah generasi yang terbiasa dengan informasi yang cepat dan mudah diakses. Kami tidak tertarik dengan pidato politik yang panjang dan membosankan. Kami ingin melihat cara yang lebih menarik untuk terlibat dalam politik.

Masih Ada Harapan

Hasil survei Litbang Kompas pada awal tahun ini menunjukkan bahwa tingkat golput di kalangan Gen Z dengan rentang usia 17 hingga 26 tahun cukup rendah. 

Ini menunjukkan bahwa mayoritas pemilih muda Gen Z cenderung akan menggunakan hak pilih mereka pada pemilu mendatang.

Namun, perlu diingat bahwa tingkat golput yang tinggi masih menjadi perhatian pada pemilu 2024. Sebagai contoh, pada pemilu sebelumnya di tahun 2019, kendala teknis seperti pemilih yang tidak dapat mencoblos karena berada di luar daerah DPT (Daftar Pemilih Tetap) masih menjadi alasan utama golput.

Tetapi, ada faktor lain yang juga dapat mendorong tingkat golput yang tinggi di kalangan pemilih muda. Beberapa di antaranya adalah ketidakpercayaan bahwa pemilihan dapat membawa perubahan signifikan dan solusi bagi masalah negara. 

Selain itu, adanya perbedaan antara visi dan misi calon presiden dengan pandangan politik pemilih muda juga bisa menjadi alasan kami untuk golput.

Dalam pandangan ini, calon presiden Indonesia pada pemilu 2024 haruslah memiliki pemahaman mendalam mengenai pandangan politik pemilih muda. 

Strategi kampanye juga harus berfokus pada nilai-nilai dan ideologi yang relevan bagi Gen Z dan Milenial, mengingat mayoritas suara akan berasal dari mereka. 

Langkah ini tentu harus mengakomodasi perubahan tren, termasuk penggunaan media sosial sebagai sarana kampanye yang efektif. Dengan begitu, upaya untuk menarik partisipasi pemilih muda dan merespons aspirasi mereka dapat dilakukan dengan lebih efektif.

Referensi:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun