Apa yang terlintas di benak kalian setiap kali mendengar tentang hidup minimalis?
Banyak orang yang salah mengira, bahwa gaya hidup minimalis merupakan gaya hidup yang diharuskan untuk berhemat, pelit, dan hidup seadanya. Stereotype tersebut sangat melekat dengan pandangan terkait hidup minimalis. Ada pula anggapan di mana gaya hidup minimalis tidak mengikuti perkembangan zaman atau trend masa kini. Hal-hal tersebut tidak sepenuhnya benar.Â
Dilansir dari finoo.id, minimalisme merupakan suatu gaya hidup yang sederhana dan mengutamakan kualitas dibandingkan kuantitas. Gaya hidup minimalis mengurangi jumlah dan rasa kepemilikan terhadap suatu barang. Seorang yang minimalis merupakan orang yang memahami apa yang penting bagi dirinya. Dalam kata lain, seorang minimalis mampu membedakan antara kebutuhan, kegunaan, dan keinginan semata.Â
Gaya hidup ini menjadi salah satu sorotan dan perhatian publik, karena menjadi bagian dari subkultur masyarakat. Artinya, gaya hidup minimalis cenderung berbeda dari gaya hidup masyarakat luas.Â
Di era globalisasi dewasa ini, masyarakat lebih mudah untuk dipengaruhi oleh budaya-budaya asing. Budaya Barat merupakan salah satu budaya yang dominan dalam era globalisasi ini. Masuknya globalisasi di Indonesia membuat sebagian masyarakat berkiblat pada Barat.Â
Kemudian, muncullah budaya dan kebiasaan baru yang disebut sebagai konsumerisme. Gaya hidup minimalis begitu bertolak belakang dengan budaya konsumerisme tersebut.Â
Konsumerisme merupakan budaya atau kebiasaan yang kurang bijak dalam mengontrol pengeluaran. Kebiasaan ini terjadi ketika individu maupun kelompok mengonsumsi atau memakai suatu produk secara berlebihan dan berulang-ulang. Perilaku dan kebiasaan ini juga membawa manusia pada pola hidup yang konsumtif.Â
Dengan budaya konsumerisme yang dibiarkan secara terus menerus, akan membawa berbagai dampak bagi kehidupan kita. Dampak yang diberikan mempengaruhi berbagai aspek, seperti ekonomi hingga psikologis. Karena segala sesuatu yang berlebihan tidak baik.Â
Konsumerisme sendiri dapat berubah menjadi suatu sugesti di mana kita sebagai individu memaknai kehidupan dari apa yang dikonsumsi. (Octaviana, 2020, h.126). Ketika individu mengonsumsi dan melakukan pembelian secara terus menerus, saat ruang penyimpanan yang dimiliki dianggap tidak cukup, hal ini dapat menimbulkan stress.Â
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Fitria (2018), ruangan yang sempit akan mempengaruhi personal space, di mana personal space sebagai batasan ruang pribadi dengan nilai privasi tinggi. Nilai privasi akan menentukan psikologi individu. Oleh karena itu, ketika personal space berkurang maka peluang timbulnya stress akan semakin besar.Â
Gaya hidup minimalis merupakan salah satu cara untuk mengatasi permasalahan terkait konsumerisme dan perilaku konsumtif dan impusif tersebut. Nah, salah satu komunitas hidup minimalis di Indonesia adalah Lyfe With Less.Â
Dilansir dari website resminya, lyfewithless.com (2019), mengungkapkan bahwa "..we want to invite people to start living "enough" and reduce their consumptive and excessive impulsivity."Â Di mana, mereka sebagai suatu komunitas ingin mengajak masyarakat untuk hidup cukup dan mengurangi konsumsi berlebihan dan perilaku impulsif.Â
Selain itu, Lyfe With Less juga mengungkap bahwa, "..minimalist lifestyle not only provides fresh air for space, but also for the soul. We believe that minimalism is attached to letting go, so close to gratitude and happiness."Â Artinya, hidup minimalis tidak hanya memberikan ruang segar untuk ruangan, namun juga untuk jiwa manusia. Mereka percaya bahwa hidup minimalis ini lekat dengan mengikhlaskan sesuatu, bersyukur, dan kebahagiaan.
Menariknya, sebagai suatu subkultur gaya hidup minimalis mulai banyak diterapkan dan dipelajari oleh masyarakat terutama pada masa pandemi COVID-19 ini. Terlihat adanya perubahan sosial dalam gaya hidup masyarakat. Berbagai stereotype yang semula begitu kuat pun mulai memudar dan kini gaya hidup minimalis mulai menjadi trend.Â
Menurut saya, penyebab dari gaya hidup minimalis mulai menjadi suatu trend dalam masyarakat, karena masyarakat mulai memahami dan melihat manfaat dari hidup minimalis. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya media yang mengangkat isu hidup minimalis.Â
Salah satu contohnya yakni artikel dari kompas.com yang berjudul "Coba Gaya Hidup Minimalis demi Kesehatan Mental" dirilis pada Juni 2020. Ada pula dari lifestyle.bisnis.com yang mewawancarai founder Lyfe With Less dengan menulis artikel berjudul "Gaya Hidup Minimalis Kian Tren Pada Masa Pandemi" yang dirilis pada November 2020.
Dari berbagai fenomena tersebut, dapat dilihat adanya perubahan sosial dalam masyarakat, mulai dari mindset hingga gaya hidup. Menurut Selo Soemarjan dalam Goa (2017: 56), perubahan sosial adalah perubahan pada suatu lembaga masyarakat yang mempengaruhi sistem sosial, yakni nilai, sikap, dan perilaku kelompok maupun masyarakat. Ada beberapa teori perubahan sosial, yakni Teori Konflik, Teori Siklis, Teori Fungsionalis, dan Teori Evolusi. Dalam konteks gaya hidup minimalis ini, kita akan menilik dari sisi Teori Fungsionalis.Â
Teori fungsionalis memandang bahwa perubahan sosial terjadi diakibatkan karena adanya ketidakpuasan dari masyarakat terkait kondisi sosial yang terjadi. Perubahan yang ada tentunya tidak terlepas dari unsur-unsur kebudayaan dalam masyarakat, namun tidak langsung mempengaruhi semua unsur sosial. (Kompas.com).Â
Apabila perubahan yang terjadi dinilai bermanfaat, maka perubahan tersebut bersifat fungsional dan akhirnya mampu diterima oleh masyarakat. Sebaliknya, apabila perubahan dinilai disfungsional maka perubahan akan ditolak.Â
Pada konteks gaya hidup minimalis, berbagai perubahan yang terjadi tentunya dinilai bermanfaat atau fungsional. Terlebih ketika masa pandemi COVID-19 yang membantu masyarakat untuk mengontrol pengeluaran serta mengontrol stress. Sehingga, perubahan yang ada diterima dan diterapkan oleh masyarakat.
Selain itu, penerapan gaya hidup minimalis masa kini juga mengikuti perkembangan zaman. Contohnya ada pada aspek fashion atau pakaian yang sering kali dianggap kekinian. Individu yang menerapkan gaya hidup minimalis tentunya masih mampu mengikuti trend fashion masa kini.Â
Hal ini dapat dilihat dari munculnya trend thrifting dan preloved. Trend ini merupakan suatu kegiatan untuk menggunakan barang-barang bekas. Selain itu, adapula trend DIY  (Do It Yourself), yakni membuat sendiri barang dan kebutuhan dengan memanfaatkan berbagai bahan yang ada, terutama bahan bekas.Â
Dengan hal tersebut, walaupun menerapkan gaya hidup minimalis, individu tetap mampu bergaya trendy dan mengikuti perkembangan zaman. Namun perlu diingat bahwa, konsep hidup minimalis yakni menyimpan barang-barang yang dinilai penting dan berguna. Jangan sampai dengan adanya thrifting, preloved, hingga DIY, tindakan impulsif semakin menjadi-jadi.Â
Wah, begitu banyak manfaat dan hal positif dari gaya hidup minimalis ya! Semoga dalam mengadopsi gaya hidup minimalis ini tidak hanya mengikuti trend atau hanya bertahan pada era pandemi saja. Bagaimana dengan kalian? Apakah tertarik atau sudah menerapkan gaya hidup minimalis?
DAFTAR PUSTAKA
Finoo.id. (2020). Mengenal gaya hidup minimalis yang bikin bahagia dan hemat. finoo.id. diakses dari finoo.id
Fitria, T, A. (2018). Pengaruh seting ruang terhadap perilaku pengguna dengan pendekatan behavioral mapping. Jurnal Arsitektur dan Perencanaan. 1(2). diakses dari ejournal.unisayogya.ac.id
Goa, L. (2017). Perubahan sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Jurnal Kateketik dan Pastoral. 2(2). diakses dari e-journal.stp-ipi.ac.id
Lyfe With Less. (2019). Aboud us. diakses dari lyfewithless.com
Octaviana, R. (2020). Konsumerisme masyarakat modern dalam kajian herbert marcuse. Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam. 5(1). diakses dari journal.uinsgd.ac.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H