Setelah era reformasi, masyarakat kita dilanda euforia baru yang bernama Demokrasi. Perubahan sistem pemilihan kepala daerah, calon legislatif dan Presiden secara langsung , menandakan terbukanya gerbang demokrasi, di mana seluruh warga negara yang sudah berusia 17 tahun ke atas memiliki hak menyalurkan aspirasinya secara bebas dalam sistem pemilihan langsung.
Tidak ada lagi istilah beli kucing dalam karung. Partai politik sekarang ini menjadi wadah untuk menjual figur yang laku dijual. Hubungan dua arah yang saling menguntungkan antara parpol dan caleg adalah take and give yang logis.
Calon presiden dan wakilnya yang akan bertarung pada pilpres Juli mendatang, sudah harus dengan jelas diusung oleh partai tertentu, dan rakyatlah yang menentukan lewat pemilihan langsung, mana yang disukai untuk dipilih sebagai pemimpin. Ini sudah merupakan kemajuan dibandingkan jaman Orde Baru di mana Presidennya dipilih oleh partai, dan wakil Presidennya nanti dipilih sendiri oleh Presiden terpilih sebagai paket terpisah.
Ke depannya akan jauh lebih ideal lagi jika sudah dihilangkan Presidential treshold yang memang secara logika membuka gerbang "saling menjual suara dan dukungan" kepada parpol lain yang dianggap lebih memiliki kesempatan menang.
Terpilihnya dua anak Atut maju ke Senayan dan mantan Bupati Aceng Fikri yang memperoleh satu kursi duduk di DPD, menunjukkan dengan jelas wajah demokrasi kita yang sebenarnya.
Secara garis besar dalam bahasa yang mudah dipahami, Demokrasi artinya suatu sistem pemerintahan di mana setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam proses menentukan pemimpin melalui pemilu yang sah.
Ketika figur-figur yang tidak kita sukai kemudian muncul sebagai pemenang, maka kita tidak boleh mengatakan ini demo-crazy. Kecuali memang ditemukan bukti kecurangan dan diproses secara hukum.
Demokrasi bukan berarti yang lebih pintar dan dewasa berpolitik memiliki bobot yang lebih besar menentukan pemimpin. Dalam demokrasi masing-masing suara bernilai sama. Kaya, miskin, pintar dan bodoh, bobot satu suara adalah setara dengan satu suara lainnya.
Yang belum kita sadari sepenuhnya adalah kenyataan bahwa logika dan realita golongan miskin berbeda dengan yang sudah mapan dan cerdas.
Bagi yang masih miskin, realita saat ini jauh lebih penting daripada mimpi masa depan. Perut lapar, biaya sekolah tidak ada, pekerjaan tidak tersedia; ketika datang sosok yang menawarkan sedikit bantuan berupa uang tunai atau sembako, dan dibarter dengan suara si penerima untuk memilihnya, maka itulah realita dan logika sederhana yang terjadi dan paling masuk akal untuk si miskin untuk ditukar dengan hak pilihnya.
Dalam demokrasi, suara si miskin dan bodoh sama bobotnya dengan professor atau si kaya yang bermobil mewah. Kalau kemudian dalam proses berdemokrasi uang memang selalu lebih mempan bicara, di sinilah titik lemahnya yang seharusnya kita lawan dengan cara-cara beradab.
Pendidikan dan kesejahteraan rakyat adalah kunci utama mencapai demokrasi sejati, di mana setiap warga negara sudah hidup secara layak, dan dengan akal sehat sendiri menentukan pilihan siapa pemimpinnya dengan perut kenyang dan tidak lagi buta aksara.
Tidak perlu protes dengan terpilihnya dua anak Atut dan Aceng Fikri yang melaju ke Senayan. Mereka terpilih secara sah melalui sistem demokrasi yang dilindungi oleh hukum. Justru dengan kejadian ini kita harus semakin menyadari bahwa kemajuan berdemokrasi sebaiknya dilandasi dengan kesejahteraan dan kecerdasan masyarakat.
Lagi pula tidak ada atau belum ada undang-undang negara kita yang menyatakan bahwa anak atau kerabat para pejabat tidak boleh maju sebagai caleg atau calon pemimpin eksekutif. Kalau kita tidak menginginkan dua anak Atut untuk melaju ke Senayan, ubah dulu undang-undang yang ada. Pertanyaannya sekarang ketika kita mengubah undang-undang melarang anak atau kerabat pejabat untuk maju, kita malahan bisa menjadi manusia munafik prodemokrasi tapi menginjak hak asasi.
Kesalahan orang tua tidak boleh ditimpakan kepada anak-anaknya. Begitu juga kalau ada seseorang yang sudah cukup umur bersalah dan dipidanakan, orang tuanya tidak harus ikut dihukum.
Hukuman seseorang itu tidak selalu harus melalui penjara. Hukuman masyarakat dan secara sosial diasingkan, dicibir dan dibenci, malah jauh lebih pahit daripada hukuman fisik yang ketika sudah selesai dijalankan, dianggap lunas dibayar.
Makanya lewat artikel ini saya hanya ingin meluruskan kembali logika kita mengenai demokrasi. Marilah kita berdemokrasi dengan cerdas. Hanya dengan mencerdaskan generasi penerus dan menyejahterahkan rakyat, kita bisa berharap Indonesia ke depan akan menjadi negara yang kuat dan makmur, yang berdemokrasi dengan sehat, memakai hati nurani dan memilih dengan kecerdasan.
Kalau masih begini tingkat kesejahteraan dan kecerdasan bangsa kita, maka kita harus menerima dengan lapang dada bahwa salah satu calon Presiden yang bakal bertarung, disinyalir kuat sebagai mantan penculik dan pangkat jenderalnya dicopot secara resmi.
Kenyataan ini harus kita hormati, karena beliau telah melalui proses administrasi dan politik yang memungkinkan untuk dipilih sebagai presiden. Artinya beliau memiliki hak asasi untuk berpolitik dan terlibat dalam sistem pemerintahan lewat proses yang sah.
Kecerdasan dan arah demokrasi bangsa kita saat ini akan ditentukan oleh logika kita pada pilpres Juli mendatang. Apakah memilih capres yang track record-nya baik dan bekerja sungguh-sungguh untuk rakyat, atau memilih capres yang memiliki masa lalu abu-abu namun gagah dengan menunggangi kuda miliaran rupiah?
Hak asasi para capres tidak boleh kita halangi atas nama demokrasi. Yang bisa kita lakukan adalah menyalurkan hak berdemokrasi dengan cerdas dilandasi logika dan hati nurani tanpa perut yang kelaparan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H