Mohon tunggu...
Ellen Maringka
Ellen Maringka Mohon Tunggu... wiraswasta -

Akun Ini Tidak Aktif Lagi dan Tidak Akan Aktif Lagi di Kompasiana. Tidak menerima atau membalas pesan di Inbox.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Terpilihnya 2 Anak Atut dan Aceng Fikri; Refleksi Demokrasi dan Hak Asasi

29 April 2014   14:48 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:04 2711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pendidikan dan kesejahteraan rakyat adalah kunci utama mencapai demokrasi sejati, di mana setiap warga negara sudah hidup secara layak, dan dengan akal sehat sendiri menentukan pilihan siapa pemimpinnya dengan perut kenyang dan tidak lagi buta aksara.

Tidak perlu protes dengan terpilihnya dua anak Atut dan Aceng Fikri yang melaju ke Senayan.  Mereka terpilih secara sah melalui sistem demokrasi yang dilindungi oleh hukum. Justru dengan kejadian ini kita harus semakin menyadari bahwa kemajuan berdemokrasi sebaiknya dilandasi dengan kesejahteraan dan kecerdasan masyarakat.

Lagi pula tidak ada atau belum ada undang-undang negara kita yang menyatakan bahwa anak atau kerabat  para pejabat tidak boleh maju sebagai caleg atau calon pemimpin eksekutif. Kalau kita tidak menginginkan dua anak Atut untuk melaju ke Senayan, ubah dulu undang-undang yang ada. Pertanyaannya sekarang ketika kita mengubah undang-undang melarang anak atau kerabat pejabat untuk maju, kita malahan bisa menjadi manusia munafik prodemokrasi tapi menginjak hak asasi.

Kesalahan orang tua tidak boleh ditimpakan kepada anak-anaknya. Begitu juga kalau ada seseorang yang sudah cukup umur bersalah dan dipidanakan, orang tuanya tidak harus ikut dihukum.

Hukuman seseorang itu tidak selalu harus melalui penjara. Hukuman masyarakat dan secara sosial diasingkan, dicibir dan dibenci, malah jauh lebih pahit daripada hukuman fisik yang ketika sudah selesai dijalankan, dianggap lunas dibayar.

Makanya lewat artikel ini saya hanya ingin meluruskan kembali logika kita mengenai demokrasi. Marilah kita berdemokrasi dengan cerdas. Hanya dengan mencerdaskan generasi penerus dan menyejahterahkan rakyat, kita bisa berharap Indonesia ke depan akan menjadi negara yang kuat dan makmur, yang berdemokrasi dengan sehat, memakai hati nurani dan memilih dengan kecerdasan.

Kalau masih begini tingkat kesejahteraan dan kecerdasan bangsa kita, maka kita harus menerima dengan lapang dada bahwa salah satu calon Presiden yang bakal bertarung, disinyalir kuat sebagai mantan penculik dan pangkat jenderalnya dicopot secara resmi.

Kenyataan ini  harus kita hormati, karena beliau telah melalui proses administrasi dan politik yang memungkinkan untuk dipilih sebagai presiden. Artinya beliau memiliki hak asasi untuk berpolitik dan terlibat dalam sistem pemerintahan lewat proses yang sah.

Kecerdasan dan arah demokrasi bangsa kita saat ini akan ditentukan oleh logika kita pada pilpres Juli mendatang. Apakah memilih capres yang track record-nya baik dan bekerja sungguh-sungguh untuk rakyat,  atau memilih capres yang memiliki masa lalu abu-abu namun gagah dengan menunggangi kuda miliaran rupiah?

Hak asasi para capres tidak boleh kita halangi atas nama demokrasi. Yang bisa kita lakukan adalah menyalurkan hak berdemokrasi dengan cerdas dilandasi logika dan hati nurani tanpa perut yang kelaparan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun