Pendidikan dan kesejahteraan rakyat adalah kunci utama mencapai demokrasi sejati, di mana setiap warga negara sudah hidup secara layak, dan dengan akal sehat sendiri menentukan pilihan siapa pemimpinnya dengan perut kenyang dan tidak lagi buta aksara.
Tidak perlu protes dengan terpilihnya dua anak Atut dan Aceng Fikri yang melaju ke Senayan. Mereka terpilih secara sah melalui sistem demokrasi yang dilindungi oleh hukum. Justru dengan kejadian ini kita harus semakin menyadari bahwa kemajuan berdemokrasi sebaiknya dilandasi dengan kesejahteraan dan kecerdasan masyarakat.
Lagi pula tidak ada atau belum ada undang-undang negara kita yang menyatakan bahwa anak atau kerabat para pejabat tidak boleh maju sebagai caleg atau calon pemimpin eksekutif. Kalau kita tidak menginginkan dua anak Atut untuk melaju ke Senayan, ubah dulu undang-undang yang ada. Pertanyaannya sekarang ketika kita mengubah undang-undang melarang anak atau kerabat pejabat untuk maju, kita malahan bisa menjadi manusia munafik prodemokrasi tapi menginjak hak asasi.
Kesalahan orang tua tidak boleh ditimpakan kepada anak-anaknya. Begitu juga kalau ada seseorang yang sudah cukup umur bersalah dan dipidanakan, orang tuanya tidak harus ikut dihukum.
Hukuman seseorang itu tidak selalu harus melalui penjara. Hukuman masyarakat dan secara sosial diasingkan, dicibir dan dibenci, malah jauh lebih pahit daripada hukuman fisik yang ketika sudah selesai dijalankan, dianggap lunas dibayar.
Makanya lewat artikel ini saya hanya ingin meluruskan kembali logika kita mengenai demokrasi. Marilah kita berdemokrasi dengan cerdas. Hanya dengan mencerdaskan generasi penerus dan menyejahterahkan rakyat, kita bisa berharap Indonesia ke depan akan menjadi negara yang kuat dan makmur, yang berdemokrasi dengan sehat, memakai hati nurani dan memilih dengan kecerdasan.
Kalau masih begini tingkat kesejahteraan dan kecerdasan bangsa kita, maka kita harus menerima dengan lapang dada bahwa salah satu calon Presiden yang bakal bertarung, disinyalir kuat sebagai mantan penculik dan pangkat jenderalnya dicopot secara resmi.
Kenyataan ini harus kita hormati, karena beliau telah melalui proses administrasi dan politik yang memungkinkan untuk dipilih sebagai presiden. Artinya beliau memiliki hak asasi untuk berpolitik dan terlibat dalam sistem pemerintahan lewat proses yang sah.
Kecerdasan dan arah demokrasi bangsa kita saat ini akan ditentukan oleh logika kita pada pilpres Juli mendatang. Apakah memilih capres yang track record-nya baik dan bekerja sungguh-sungguh untuk rakyat, atau memilih capres yang memiliki masa lalu abu-abu namun gagah dengan menunggangi kuda miliaran rupiah?
Hak asasi para capres tidak boleh kita halangi atas nama demokrasi. Yang bisa kita lakukan adalah menyalurkan hak berdemokrasi dengan cerdas dilandasi logika dan hati nurani tanpa perut yang kelaparan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H