Mohon tunggu...
Ellen Maringka
Ellen Maringka Mohon Tunggu... wiraswasta -

Akun Ini Tidak Aktif Lagi dan Tidak Akan Aktif Lagi di Kompasiana. Tidak menerima atau membalas pesan di Inbox.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Konvensi Partai Demokrat dan Pelacur Si "Pretty Woman"

19 Mei 2014   01:37 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:23 2645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tawaran Edward yang begitu menggiurkan untuk wanita sekelas PSK seperti Vivian, ditolaknya. Ini membuat sang konglomerat heran.  Vivian sadar bahwa tidak ada jalan pintas menuju kemapanan dan kenyamanan yang membawa kebahagiaan sejati. Vivian bisa melihat bahwa sukses yang dicapai Edward adalah hasil bersekolah dan kerja keras secara konsisten dan berkesinambungan.

Edward juga menyadari betapa hipokrit dan munafiknya mereka yang memiliki uang dan kekuasaan, karena sering memandang rendah para pelacur yang menjual diri. Vivian menjual diri secara fisik, tapi tidak menaruh harga atas   hati dan cintanya.

Tadi pagi ketika menonoton lagi film ini di Fox Premium HBO, kemudian membaca gonjang ganjing keputusan Partai Demokrat yang sepertinya mengacuhkan hasil Konvensi, dengan memajukan sang ipar Pramono Edhie, bukannya pemenang konvensi Dahlan Iskan,  jelas terlihat  benang merah pelacuran dalam arti yang sesungguhnya.

Menjual diri adalah tindakan yang tidak terpuji. Tapi paling tidak dalam transaksi pelacuran, tidak ada yang ditutupi dan dibohongi. Berkaca dari film Pretty Woman, Vivian sang pelacur memberikan apa yang menjadi hak Edward , sesuai dengan kesepakatan mereka.

Rasa rasanya kok konvensi Partai Demokrat malah tidak lebih baik dari "kisah pelacuran" kelas teri, yang menjual mimpi berbalut demokrasi, padahal tidak ada isinya sama sekali. Bahkan secara gentleman, pemenang konvensi tidak cukup dihargai untuk dimajukan sebagai Cawapres, jika PD berkoalisi dengan Golkar.

Dalam dunia pelacuran yang ada hanyalah pertukaran uang dan jasa. Yang ditawarkan juga jelas: materi bertukar kenikmatan seks.  Tanpa penipuan. Tidak ada beli kucing dalam karung. Semuanya jelas dibicarakan meskipun tidak legal.

Dunia pelacuran malah memiliki kode etiknya yang "jujur" dan apa adanya. Pelayanan ekstra berarti tambahan bayaran. Tidak ada surga telinga, yang ada hanya kenikmatan sesuai bayaran yang diberikan berdasarkan kesepakatan bersama.

Lalu apakah politik yang ditunjukkan oleh para petinggi dan politikus negara ini yang katanya sadar hukum, perpendidikan, beragama , sudah lebih baik dari yang diperbuat oleh para PSK ?.

Kebohongan demi kebohongan terjadi dengan gamblangnya di depan mata kita. Salah satu contohnya adalah konvensi yang resmi digelar oleh Partai Demokrat.  Perhelatan yang kemudian  dimainkan dengan licik sehingga menghasilkan pemenang yang tidak memiliki nilai dan tidak terpakai bak' primadona yang dipasung dengan kejam.

Ketika kemudian Golkar bertransaksi dengan Demokrat, yang terlihat adalah  aktivitas dua pihak yang kalau boleh saya katakan  seperti menukar kemolekan palsu dengan uang lumpur.

Kata siapa melacur itu hanya terbatas pada menjual diri demi uang dan kenikmatan?  Pelacuran yang paling memiriskan hati adalalah menipu diatas tipuan berjubahkan demokrasi, "menjual"  orang lain demi ambisi dan keserakahan pribadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun