Mohon tunggu...
Ellen Maringka
Ellen Maringka Mohon Tunggu... wiraswasta -

Akun Ini Tidak Aktif Lagi dan Tidak Akan Aktif Lagi di Kompasiana. Tidak menerima atau membalas pesan di Inbox.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Apa Yang Membuat Hebat Seorang Ayah? ( A tribute to my Dad)

14 Juni 2014   13:48 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:47 1891
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14027030151572612625

Politik dan sepak bola selalu mengingatkan aku pada sosok ayah. Tadinya mau nulis tentang kekalahan telak tim Spanyol yang dibabat habis skuad Oranje dengan skor memalukan 5-1, tapi sudah terlalu banyak artikel yang dipublished membahas itu.

Ketika melihat raut wajah frustrasi  Iker Casillas, saya jadinya kepingin nyolek doski sambil berbisik," ini matador apa mata sapi?."

Lha trus apa hubungannya ayah dan sepak bola? Ya gak ada sih secara langsung, kecuali bahwa ayah saya hobby menonton sepak bola dan selalu mengajak saya ikut ikutan jadi cheerleader tim favoritnya. Ketika saya tanya kenapa hobbynya hanya nonton dan bukan main bola, beliau menjawab dengan ringan..."lebih enak melihat mereka saling menghajar kaki lawan daripada merasakannya sendiri..."

Ngekekkkk ahhh.... Ayah.. ayah... ayah... Rasanya setiap kali merindukanmu, aku harus tertawa sambil menangis mengingat kelucuan alami di dalam  dirimu. Bagaimanapun sosok seperti Cak Lontong mengingatkanku pada ayah.

Beliau memiliki selera humor yang sangat baik, dan kemampuan menertawakan diri sendiri dengan sempurna. Hidup adalah perjuangan dan kerja keras yang dijalaninya dengan banyak senyum.  Selalu ada kelucuan dalam keseriusan, dan sebaliknya juga tertawa bukan berarti tidak serius (begitu kata ayah...).

Ini penggalan memory masa kecil yang membuat saya tertawa sambil meringis menahan rindu tiap kali mengingatnya...

"Aku benci anting anting. Perhiasan wanita yang satu ini selalu membawaku kedalam masalah. Mulai dari melukai telinga sendiri karena selau terkait handuk ketika mandi, sampai resiko dicubit ibu karena sering hilang.

Selalu, ketika sadar sebelah anting anting sudah lenyap, ayah adalah tempatku mengadu sekaligus meminta pertolongan untuk membantu mencari si anting hilang.

Usiaku sekitar 7 tahun ketika itu, dan sebagai hadiah ulang tahun, ibu memberiku sepasang anting anting emas berbentuk bulan sabit (dalam upayanya yang tak kenal putus asa menjadikan putri sulungnya lebih feminin.... ), dan seperti yang bisa diramalkan, dua hari setalah dipasang, anting sebelah kanan lenyap entah kemana.

I'm in trouble... Sudah keburu ketakutan karena ibu sudah wanti wanti kali ini jangan sampai hilang, antingnya mahal (padahal siapa juga yang minta ...). Dengan kegalauan maksimum, aku mengadu ke ayah sambil menangis, berharap semoga kali ini si anting hilang bisa berhasil ditemukan.

Boro boro menghibur... beliau rupanya juga menyadari bahwa kali ini putri sulungnya dalam "masalah" karena tahu persis bahwa itu anting anting khusus edisi ulang tahun.

Sambil menatapku setengah bingung, ayah malah mengatakan..."yuk gosok minyak tawon aja dulu biar kalau dicubit gak' terlalu berasa..." hahahahahahaha..... ampuuun deh!

Mendengar perkataannya aku malah tambah menangis, dan semakin membuat ayah bingung.

"Sudah.. sudah.. jangan nangis. Berhenti dulu.. Dengerin ayah mau mendongeng...". Namanya juga anak anak,  kata dongeng cukup ampuh meredam isak tangis.

Tapi ayah bukan pendongeng yang baik. Dia seorang juru cerita yang hebat, tapi bukan mengarang bebas atau mendongeng. Dongeng mengenai kodok yang baru beberapa kalimat dimulainya, malah seperti kehilangan plot cerita dan beliau bingung sendiri kehabisan kata kata...

" trus.. lha trus kodoknya gimana ?." desakku penasaran setengah kesal. Kok jelek amat dongengnya. Gak seru khan dengerin dongeng yang terbata bata dan hilang arah.

Dengan raut wajah kebingungan, ayah kemudian berkata jujur..." wah, papi juga gak' tau lagi nih kodoknya gimana. Papi lupa dia ketemu musang atau kelinci ..."

Dengan polosnya  ayah kemudian berbisik, "ya sudah lanjut aja dulu nangisnya..Papi mau inget inget dulu sebentar jalan ceritanya..."

Haduh?! ini dongeng yang paling lucu, realistis sekaligus menjengkelkan yang pernah kutahu seumur hidupku. And it can only came from my father...

Sekarang aku sadar... itu bukan sekedar tentang dongeng dan upaya seorang ayah menghibur putrinya... Tapi lebih mengenai  kejujuran dan kesepakatan bersama yang mengajariku soal  keadilan dan menepati janji. Ketika ayah menyuruhku berhenti menangis karena beliau mau mendongeng, dan ternyata dia tidak dapat melakukannya, maka ayah cukup fair dan jantan mengakui dia gagal dan mempersilahkan aku untuk melanjutkan tangisan.

Tapi mungkin juga sejak dini ayah sedang mengajariku bersiap menghadapi kehilangan sebagai siklus hidup yang lumrah dan harus dijalani. Dengan cara uniknya, ayah ingin aku tahu bahwa hidup tetap dapat terus berlanjut setelah kehilangan. Kita diberi kemampuan untuk menghadapi dan belajar dari situ....Dan selalu ada ruang untuk tertawa bersama orang orang tercinta.

Hidup ini penuh warna dan rasa, bagaikan pelangi dan permen nano nano.... manis, asem, asin, pedes... tapi perpaduan segala rasa  dan warna itulah yang membuat hidup renyah, gurih, nikmat dan menggairahkan.

Dan kukatakan padamu kawan, .... cara terbaik menikmati keindahan pelangi dan kesegaran nano nano adalah bersama dengan para sahabat dan orang orang tersayang.

In loving memory of my father.

Ayah memang  nomor satu...Presiden  ya nomor DUA !

Have a great week end everyone. Stay loving....!

*gambar dari http://www.imgquotes.com/wp-content/uploads/2013/09/my-father-didn-t-tell-me-how-to-live-father-quote.jpg

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun