Saat sore menjelang, mereka duduk berkumpul, mandang tiang-tiang rumah
"Rumah ini akan tetap jadi rumah kita. Duduk rebahan, masak," kata Abu
"Ya, kita tetap bersahabat, sampai kapanpun, dan disini kita berkumpul," sahut Diham
Mereka hanyut dalam lamunan mereka, lalu bergegas pulang di temaram cakrawala jingga
Jufi terhenyak, sebuah tepukan menghentak lamunannya.
"Utuh!" Jerit Jupi
Mereka berpelukan, melepaskan kerinduan
"Kenapa tak kabari aku?" tanya Utuh
"Aku mendadak pulang. Emakku sakit." jawab Jupi, " Abu dan yang lain ke mana?"
"Abu tinggal di kota, kerja di pabrik. Diham berlayar, ikut pamannya kirim kayu ke Jawa. Amad pun kerja ikut sepupunya di kota. Sopi sudah lama pindah entah ke mana, tak ada berita. Hanya aku yang tersisa," Utuh menunduk.
"Ini bukan desa kita lagi, entah apa. Sejak orangtua kita menjualnya untuk dijadikan tambang batu bara, semua hancur, menjadi seperti ini, kolam besar tak bertuan. Dan rumah kitapun lenyap, seperti yang lain tak ada berita," Jupi tertunduk dalam, tak terasa air matanya menetes.
Dia pulang dari Jawa menyandang gelar Sarjana Ekonomi, dengan riang dia mengayun langkahnya menaiki kapal, dan tak sabar cepat sampai rumah, bercerita bercengkerama juga berharap sahabat-sabahatnya akan mendukung rencananya membuat usaha.
Jupi menjerit, berteriak pada langit, mengepalkan tinjunya pada matahari.
Utuh duduk terdiam, hanyut kepiluan bersama, memandang tanah gersang penuh lubang kolam raksasa menganga, digali dengan kerakusan tauke batubara, yang ditinggal begitu saja setelah habis batubaranya.
Senja menggelayut, menyisakan rona matahari mengantarkan rembulan, seperti impian mereka yang menjadi temaram.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H