Jufi berdiam sejenak, surut langkahnya menjejak lumpur di hadapannya.
Terlintas ingatannya, 7 tahun lampau, tanah yang penuh ilalang dan tetap subur meski kemarau panjang, desa terpencil disudut Kalimantan Selatan.
Abu, Diham, Amad, Utuh dan Sopi, sahabat karibnya kerap bermain memetik bunga rumput liar, dikumpulkan dijadikan hiasan rumah-rumahan.
Abu sesekali memanjat pohon mangga, yang ranum lebat buahnya, berlomba bersama Amad, sementara Utuh asyik mengumpulkan ranting-ranting kering membuat sebuah rumah-rumahan yang kokoh.
"Aihh... Cantiknya bunga-bunga ini, nanti kuhias di di dinding rumah kita," kata Sopi berseri.
"Nanti kucari papan yang kokoh, jadi tak lekas lapuk rumah ini," Diham menimpali.
Jupi tersenyum sembari memukul-mukul paku bengkok karatan, yang dia kumpulkan di setiap rumah warga.
Mereka terkenal akrab dari kecil, sebangku di sekolah dasar. Sopi meski perempuan sendiri, tak canggung bersama mereka.
Matahari sepenggalah, mereka terus sibuk membangun rumah-rumahan itu. Terdengar suara yang tak asing, menganggetkan mereka.
"Woii Utuh.... Ajaklah makan dahulu, sudah siang," emak Utuh berteriak sambil berlalu membawa ranting kering.
"Iya Mak.. " jawab Utuh, bergegas pulang, diikutin yang lain
Bau sedap masakan menggoda perut mereka. Sayur bayam, ikan asin, tempe goreng.
Lahap mereka menikmati masakan Emak Utuh, yang dikenal enak.
"Makanlah yang enak, tambah nasinya, habiskan saja nanti Emak masak lagi," katanya
"Ya Mak, aku hendak nambah," jawab Diham
"Aku juga," sahut Abu
"Woi ingat aku lah, jangan dihabiskan," protes Supi.
Benar, ludes nasi di periuk, mereka berebut sayur bayam dan ikan asin.