Mohon tunggu...
Ben Baharuddin Nur
Ben Baharuddin Nur Mohon Tunggu... Profesional -

Menulis untuk berbagi, membaca untuk memahami dan bekerja untuk ibadah, Insya Allah. | email: ben.bnur@gmail.com | twitter :@bens_369

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Debenhams Tutup, "So What"?

30 Oktober 2017   11:46 Diperbarui: 30 Oktober 2017   16:13 3551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Matahari Mall yang kini telah perlahan-lahan seperti kupu-kupu muda yang belajar terbang di dunia online (Sumber: www.solopos.com)

Saya punya tetangga pemilik toko kelontong kecil bernama Angko. Saya tidak tahu persis namanya, tapi begitulah orang-orang memanggilnya. Sebenarnya bukan hanya Angko, beberapa tetangga saya juga membuka usaha yang sama. Ada di samping rumah saya, di depan dan ada yang agak jauh ke belakang.

Toko Angko hanya berjarak beberapa rumah dari rumah saya. Ini cerita tahun 90-an saat belum ada toko ritel kebutuhan sehari-hari di dekat rumah saya seperti Alfamart, Indomaret dan sebagainya. Mal juga rasanya belum ada. Seingat saya hanya ada satu tempat belanja yang agak besar yang berada agak jauh dari rumah saya, namanya Super Market Gelael.

Saya berangkat sekolah ke Inggris tahun 1994. Saat itu di negeri terbesar di Eropa ini juga masih ramai diperdebatkan soal munculnya ritel-ritel besar seperti Carrefour, Tesco dan lain-lain yang dianggap mematikan usaha kecil. Sempat terjadi beberapa kali demo penolakan. Saat balik ke Indonesia saya lihat fenomena yang sama juga sudah terjadi dan diperdebatkan. Tapi seperti di Eropa, semuanya kemudian berlalu dan kemajuan ekonomi khususnya bisnis ritel semakin melaju tak terbendung.

Singkat cerita, menjelang tahun 2000-an, sejumlah ritel besar mulai bermunculan. Ada Hero, Super Market Hari-Hari, ritel busana Ramayana, Matahari dan Gelael juga tetap beroperasi. Sebagai sesuatu yang baru, tentu saja saya dan mungkin tetangga saya lebih suka berbelanja ke supermarket untuk kebutuhan bulanan. Sistem penjualan dimana pembeli memilih sendiri barang yang akan dibeli, rasanya juga seperti hal baru. Swalayan sebutannya.

Toko atau lebih tepat saya sebut warung kelontong dekat rumah saya mulai mengeluhkan sepinya pembeli. Hanya anak-anak yang membawa receh untuk permen yang masih rajin mampir. Juga para perokok masih suka berbelanja di warung. Berselang beberapa tahun, warung-warung itu mulai berguguran. Apalagi setelah toko waralaba (franchise) Alfamart dan Indomaret sudah masuk ke polosok kampung.

Mengeluh atau Berinovasi?

Pemilik warung yang tutup memang mengeluh, tetapi anak-anak mereka menjadi pekerja di berbagai swalayan. Memang pertumbuhan ekonomi di satu sisi menutup peluang bagi yang lain tapi pada sisi lain membuka peluang bagi yang lainnya, antara lain penciptaan lapangan kerja baru. Proses seperti ini terus berlangsung. Proses penciptaan menuju keseimbangan atau ekuilibrium.

Tetapi tetangga saya, Angko, seperti tak pernah mengeluh. Toko kelontongnya juga masih buka. Dia bahkan buka lebih pagi dan tutup lebih larut. Dan yang lebih mencengangkan lagi, sampai hari ini, saat dua toko waralaba jor-joran promo di seberang jalan, Alfamart dan Indomaret, Angko masih bertahan. Bagaimana mungkin masih ada yang mau singgah?

Harga rokok di tempat Angko memang lebih murah, meski hanya beberapa ratus perak,  dibanding harga Alfmart dan Indomaret. Angko mengambil barang dari distributor sama dengan Alfamart dan Indomaret. Bedanya, Angko mengambil untung lebih kecil dari kedua peritel tersebut karena tidak harus menggaji karyawan yang banyak. Bahkan, sepanjang yang saya amati, saat kebetulan lagi nongkrong di penjual bubur depan tokonya, lebih banyak tetangga kompleks saya yang mampir ke toko Angko daripada ke Alfamart atau Indomaret di seberang jalan.

Belum lagi anak buah Angko yang seperti tak pernah berhenti mondarmandir membawa beras, botol galon dan gas ke berbagai penjuru kompleks. Ini inovasi kecil yang membawa perbedaan besar. Berbelanja bisa via telepon dan SMS. Pemesanan dapat dilakukan berapapun nilainya, meski hanya sebungkus rokok pasti diantar ke rumah pemesan. Itulah pembelajaran yang selalu saya ingat. Untuk bisa tetap eksis, jawabannya adalah inovasi tiada henti, sekecil apapun atau sesederhana apapun inovasi itu.

Raksasa Itu Masih Hidup

Masa berganti. Ketika kekuatan kapital diambil alih oleh teknologi digital, kini saatnya sejumlah peritel besar yang meringis. Beberapa hari lalu peritel sandang terbesar asal Inggris, Debenhams menutup outlet atau tempat jualannya di berbagai negara termasuk di New York dan Indonesia. Peritel yang mempekerjakan puluhan ribu bahkan ratusan ribu karyawan ini beralasan pembeli sudah sangat sepi.

Matahari dan Ramayana, dua peritel domestik yang pernah berjaya juga mengeluhkan hal yang sama beberapa waktu lalu sebelum resmi menutup beberapa outlet-nya yang sudah sepi pengunjung. Asumsi penyebabnya hampir sama, mereka tidak mampu membendung kekuatan pola berbelanja baru masyarakat melalui sistem aplikasi digital yang sekarang kita kenal dengan istilah belanja online.

Hadirnya pasar-pasar dan tempat transaksi online seperti Tokopedia, Lazada, Blibli, berniaga,com, Bhinneka.com, Amazon.com, alibaba.com dan sebagainya memang sangat menjamur dengan berbagai tawaran kemudahan yang bisa diterima logika, antara lain tak perlu bermacet-macet dan membuang waktu untuk membeli kebutuhan tertentu. Tidak semua juga bisa dibeli online, tetapi setidaknya menggerogoti potongan kue besar yang selama ini dinikmati keuntungannya oleh peritel offline.

Banyak perdebatan di media massa cetak, elektronik dan media sosial seputar ancaman bisnis online ini. Saya jadi teringat bagaimana warung-warung kecil yang dulunya menangis, kini dialami kartel bisnis ritel offline. Kebanyakan suara pengamat bernada pesimis dan khawatir. Belum tentu juga pemilik kartel bisnis yang berguguran tersebut benar-benar menangis, mungkin mereka hanya meringis.

Saya tertarik membaca dari komunitas pakar penganut aluran Blue Ocean Strategy. Sebuah aliran pemikiran yang sejak awal mengusung pemikiran anti mainstream persaingan seperti yang selama ini berlangsung yang disebutnya Red Ocean. Persaingan yang berdarah-darah dan saling mematikan. Mereka percaya akan selalu ada jalan di mana persaingan bisa dihindari secara frontal dengan inovasi menemukan pasar-pasar baru yang lebih unik dan longgar.

Jadi saya percaya kalau Nokia, Fuji, Matahari, Ramayana, Lotus, MAP, Debenham dan sebagainya, sosok yang pernah disebut raksasa di jalurnya masing-masing masih akan tetap hidup.

Nokia misalnya, meski tak lagi hadir di pasar telepon genggam, kini Nokia diam-diam hidup dan bertumpuh pesat sebagai penyedia teknologi jaringan dengan merangkul Motorolla, Alcatel dan Siemens. Laut merah tempat mereka berdarah-darah mulai ditinggalkan menuju pasar laut biru yang masih terbuka luas.

Matahari Mall yang kini telah perlahan-lahan seperti kupu-kupu muda yang belajar terbang di dunia online (Sumber: www.solopos.com)
Matahari Mall yang kini telah perlahan-lahan seperti kupu-kupu muda yang belajar terbang di dunia online (Sumber: www.solopos.com)
Demikian pula dengan Fuji Film, industri penyedia roll film selluloid dan perangkatnya, termasuk sejumlah laboratorium cuci film di banyak negara, kini hidup tenang sebagai pemasok kosmetika untuk perawatan dan pengawetan kulit agar tetap kencang dan kinclong.

Fuji melanjutkan inovasi pengawetan photo yang pernah populer untuk memenuhi kebutuhan dokumentasi gambar jangka panjang, kini menggunakan teknologi itu untuk pengawet kulit yang kini banyak dibutuhkan dalam industri perwatan tubuh dan kecantikan.

Demikian pula dengan Matahari, kini bisa menarik nafas lega setelah berhasil membawa pelanggannya ke jagad online dengan membuka outlet Matahari Mall, sebuah aplikasi dimana semua jualan dari Matahari dari para pemasoknya masih bisa dibeli dan diantarkan langsung ke rumah.

Ramayana juga sedang mempersiapkan kerjasama dengan Tokopedia.com untuk memberikan ruang bagi semua pemasoknya tetap bisa berjualan, meski barang tak lagi harus dipajang langsung secara fisik. Ini hanya persoalan perubahan sistem pembayaran dan gaya berbelanja saja.

Lalau bagaimana dengan Taksi Blue Bird yang tak kalah hebohnya menghadapi serbuan mengejutkan dari angkutan online? Kini sopir Blue Bird bisa lebih tenang bermanuver di dua sistem. Bisa memilih gaya konvensional pada jam tertentu dan masuk melayani pemesan online pada jam lainnya, tergantung kesukaan mereka. Itu karena mereka telah berdamai dengan Go-Car. Penumpang bisa memesan taksi dengan memilih fitur Go-Taxi dan terhubung dengan pengemudi Blue Bird yang stand by melayani mereka.

Jadi kalau Debenhams tutup, so what? Pasti mereka bukan pebisnis kacangan yang akan menangis berhari-hari meratapi nasib. Saya yakin dengan kemampuan inovasi mereka selama ini, Debenhams akan tetap eksis meski dalam format atau bentuk yang lain.

Jadi, mari menikmati arus perubahan ini dengan rileks sambil terus memikirkan inovasi-inovasi yang mungkin ditawarkan kepada pelanggan. Teknologi terus berkembang, bukan untuk ditolak atau disesali melainkan untuk dimanfaatkan dan disiasati (@Benz369)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun