Kini dunia dihadapkan pada realitas bahwa ternyata memiliki sumber daya alam saja tidaklah cukup untuk membuat suatu negara berjaya. Kita lihat saja contoh di depan mata bahwa meskipun Belanda, Swiss, Amerika dan sejumlah negara lainnya tidak memiliki sebatangpun pohon kakao, tapi mereka mendapatkan kesejahteraan yang luar biasa dari memproduksi beragam permen dan makanan berbasis coklat. Kita memiliki sumber daya berupa bahan baku coklat, tapi tak ada nilai tambahnya.
Mereka tidak memiliki bahan baku, tapi mereka memiliki knowledge untuk hasilkan nilai tambah besar dari memproduksi barang jadi dan memasarkannya ke seluruh dunia. Hal yang sama juga terjadi di sektor perminyakan. Kita mungkin tahu kalau Singapura tidak memiliki sumur minyak, tapi mereka bisa mengekspor BBM hingga 1,3 juta barrel per hari (sumber: https://finance.detik.com/energi/3329916). Yang mereka miliki hanyalah kilang minyak (refinery) dengan kapasitas 1,5 juta barrel per hari. Dengan kebutuhan BBM yang hanya 150 ribu barrel per hari, otomatis mereka bisa mengalahkan volume ekspor BBM Indonesia.Â
Kebutuhan BBM Indonesia per hari berkisar 1,4 hingga 1,6 juta barrel, sementara kapasitas produksi kilang kita hanya berkisar 800 ribu hingga 900 ribu barrel per hari. Ini berarti kita tidak bisa mengekspor BBM siap pakai, bahkan harus mengimpor dari sejumlah negara termasuk dari Singapura. Kembali lagi bahwa masalah kita lebih kepada penguasaan teknologi dan infrastruktur penunjang sehingga biaya konsumsi BBM kita menjadi semakin mahal.Â
Jadi tantangan Indonesia saat ini di mana Pertamina ada di dalamnya, salah satunya adalah meningkatkan penguasaan teknologi dan ilmu pengetahuan perminyakan agar setidaknya kita bisa menambah jumlah kilang yang bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri.Â
Tantangan kedua di era ilmu pengetahuan dewasa ini adalah mendorong usaha-usaha penghematan BBM dan gas bumi yang cadangannya makin menurun. Kalau tidak ada upaya-upaya yang signifikan, maka tidak menutup kemungkinan Indonesia akan mengalami krisis energi 12 tahun dari sekarang.Â
Kalau prediksi ini benar bahwa cadangan minyak dunia akan habis 70 tahun ke depan, dan Indonesia diperkirakan hanya bisa bertahan 12 tahun ke depan termasuk gas yang diasumsikan hanya mungkin bertahan 30 tahun ke depan, tentu saja krisis energi yang implikasinya bisa ke mana-mana, terutama sektor perekonomian yang tergantung pada BBM sebentar lagi terjadi kalau tidak diantisipasi lebih dini.Â
Mengacu kepada prediksi-prediksi kasar tersebut di atas, tentunya Indonesia harus lebih siap lagi berpacu mengembangkan sumber energi alternatif yang biasa didengung-dengungkan sebagai sumber energi baru dan terbarukan. Pertamina memang sudah mengambil langkah-langkah konkret dan strategis beberapa puluh tahun terakhir, tetapi melihat bahwa banyak negara lain saat ini sudah jauh mengembangkan sumber energi surya, angin, nabati, gelombang dan sebagainya, rasanya kita belum melihat langkah besar (giant step) menghadapi kriris yang pasti terjadi itu.
Kembali lagi kepada pertanyaan, seberapa baik penguasaan teknologi dan pengetahuan kita dalam memproduksi dan mengolah sumber energi yang baru dan terbarukan?. Jangan-jangan kita belum melakukan pendataan kebutuhan apalagi melakukan rekrutmen sumber daya manusia besar-besaran untuk mengembangkan industri pembuatan kincir angin, turbin air dan sebagainya.Â
Mau tidak mau, suka tidak suka Pertamina harus sedikit bergeser (shifting) tidak harus berhenti sekedar mengurus minyak dan gas bumi tetapi harus aktif mendorong ditemukannya sumber-sumber energi baru dan terbarukan (new and renewable). Maka kata kunci yang sudah mendarah daging seperti eksplorasi dan eksploitasi harus juga digeser ke arah inovasi dan pengembangan.Â
Inovasi Energi Baru dan Terbarukan
Memang urusan masa depan energi bagi kepentingan bangsa ini adalah urusan pemerintah yang diperankan oleh Kementerian Energi dan Sumbederdaya Mineral, tapi sepertinya harapan masyarakat selalu ditumpukan kepada Pertamina. Meskipun institusi bisnis tetapi sepertinya Pertamina tidak bisa menolak untuk terseret ke dalam arus deras tuntutan penyediaan energy baru dan terbarukan ini.Â