Setelah menunggu beberapa saat di ruang kredensial, tempat biasanya para tamu yang datang berombongan menunggu orang nomor satu negeri ini. Ruangan yang sepertinya masih peninggalan kolonial itu dipenuhi sekitar 20 meja bundar yang dikelilingi antara 5-6 kursi berbalut kain berwarna krem.
Di dinding berpilar besar dengan langit-langit yang tinggi itu terpajang foto berukuran besar berbingkai emas para mantan penghuni gedung itu. Mulai dari Ir. Soekarno, Soeharto, Habibie, K.H. Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur, Megawati Soekarno Putri dan Soesilo Bambang Yoedhoyono. Tak terasa dalam usia 70 tahun negeri ini sudah dipimpin tujuh orang Presiden. Ruangan ini telah menjadi saksi bukan saja selama pemerintahan Republik Indonesia, bahkan sejak jaman kolonial. Gedung yang dulu disebut Istana Gambir ini selesai dibangun tahun 1879, hampir tigaratus tahun lalu.
Inilah kesempatan pertama saya berada kembali di ruangan itu dalam suasana yang benar-benar santai. Tak banyak orang istana yang berkeliaran. Hanya seorang perempuan muda berpakaian santai di pintu masuk dan beberapa lelaki berpostur militer dalam balutan pakain sipil yang sederhana, mungkin mereka sebagian dari pasukan pengawal Presiden yang bertugas hari itu.
Beberapa saat muncul Sukardi Rinakit, dikenal sebagai pengamat politik yang suka berbicara apa adanya di berbagai acara Talk Show televisi. Saat ini ia menjadi Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara. Sejurus kemudian Menteri Sekretaris Negara Prof. Dr. Pratikno yang tak lain adalah mantan Rektor di perguruan tinggi dimana Presiden Ketujuh Republik ini, Joko Widodo, memperoleh gelar akademiknya sebagai Insinyur Kehutanan. Keramahan terpancar dari wajah dan sikapnya. Ia segera saja berbaur dengan tamu lain meski di depan sudah ada meja khusus yang dipersiapkan untuk pejabat setingkat Menteri yang akan mendampingi Presiden siang itu.
Selang beberapa saat, Presiden muncul dari arah dalam Istana Negara disusul Teten Masduki, Kepala Staf Rumah Tangga Kepresidenan yang menggantikan Luhut Binsar Panjaitan yang kini menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam). Saat undangan diminta berdiri sebagaimana aturan protokoler, Jokowi sudah sampai di meja undangan paling belakang dan langsung menyalami tamunya. Karuan saja tamu dari meja lain merapat ke posisi Presiden dan membentuk barisan seperti among tamu untuk dapat berjabatan tangan dengan tuan rumah.
Di ujung antrian sebuah mikrofon model kuno seperti yang biasa digunakan di kelurahan. Hampir bersamaan ketika undangan disuruh duduk, Presiden sudah meraih mikrofon itu dan tanpa basa-basi langsung mengajak tamunya menikmati santap siang yang disediakan. Sangat santai, bahkan rasanya jauh lebih santai dibanding acara serupa yang dilakukan di kantor Gubernur atau Bupati.
Acara utama hari itu memang cuma santap siang sekitar 100 Kompasianer, sebutan para blogger yang berhimpun di dalam blog komunitas Kompasiana dengan Presiden RI, Joko Widodo. Kesederhanaan acara penerimaan dan kerendahan hati tuan rumah membuat suasana sabtu siang itu terasa makin mengesankan. Dengan balutan kemeja putih yang lengannya tergulung hingga sikutnya, Jokowi mendahului mengambil piring sambil mengajak tamunya ke meja prasmanan yang ada di sayap kanan ruangan itu. Padahal saya sempat menduga Presiden hanya mempersilahkan tamunya makan karena sudah makan duluan di ruang dalam istana.
Undangan tentu saja terperangah sejenak mendapati orang nomor satu negeri ini melayani tamunya layaknya kepala rumah tangga biasa. Tapi sejurus kemudian semuanya larut dalam antrian mengambil makanan yang disukainya dari meja prasmanan, termasuk sang Presiden yang tidak berhenti nyeletuk dan bercanda dengan para tamunya.
“Saya juga sudah baca koq tulisan-tulisan yang di Kompasiana,” celetuk mantan Walikota Solo ini yang disambut gumaman tak percaya dari sejumlah tamu. Selain membesarkan hati, tentu saja celetukan itu mengagetkan sejumlah blogger yang mendengar celetukan itu. Seorang Presiden masih menyempatkan diri membaca tulisan-tulisan warganya, itu sangat luar biasa.
Sebenarnya rencana awal, Presiden yang akan menyambangi para kompasianer ke Gandaria City, tempat dimana blogger Kompasiana menggelar kopi darat tahunan bertajuk Kompasianival 2015. Namun dikarenakan sejumlah kendala, akhirnya pihak Istana memutuskan mengundang 100 blogger ke Istana untuk bersantap siang sebagai pengganti kunjungan itu.
Tapi ternyata bukan hanya sekedar santap siang. Usai santap siang Presiden ternyata masih menyediakan waktunya memberikan pencerahan, berdialog, berfoto bersama dengan semua kompasianer dari tiap meja dan yang tak kalah mengejutkan, Presiden juga bersedia menandatanganii 100 undangan sebagai kenang-kenangan secara spontan. Bayangkan betapa pegalnya menandatangani 100 kartu undangan, apalagi bagi seorang Presiden yang kesibukannya tak kepalang tanggung. Penulis sempat memperhatikan perubahan raut wajah Paspanpres yang sedikit menegang menyaksikan kelakuan kompasianer yang agak diluar keprotokelaran istana. Tapi mantan Gubernur DKI itu kelihatan tetap santai membuat Paspanpres urung melarang.
Mengingat keterbatasan waktu, dengan santun menyetop kegiatan tanda tangan undangan itu di tengah jalan dan meminta agar yang sisanya dikumpulkan saja. Presiden hanya tersenyum simpul melihat ulah tamunya. Penulis termasuk diantara sekian puluh blogger yang undangannya tidak sempat ditandatangani. Tentu saja saya tidak berharap lagi tanda tangan Presiden di atas kartu undangan saya itu bisa saya jadikan kenang-kenangan. Sambutan santap siang ini saja sudah lebih dari cukup.
Siapa yang nyana bila kemudian pimpinan rombongan dari Kompasiana, Iskandar Zulkarnaen yang akrab kami sapa Isjet mengumumkan di grup whatsup kalau pihak Istana telah mengirimkan semua undangan yang tersisa ke kantor Kompas Gramedia dan sudah ditandatangani Presiden.
“Oh my God, terbuat dari apa hati Presidenku ini sampai hal sepele seperti itu masih juga menjadi perhatiannya,” celetuk saya sendiri sambil membayangkan seorang Presiden dari negara besar berpenduduk 240 juta jiwa ini malam-malam terbangun menyelesaikan sisa kartu undangan yang belum ditandatanganinya.
“Ya Tuhan panjangkan umur Presidenku ini, beri dia perlindungan dan kesehatan prima karena saya yakin masih sangat banyak kebaikan yang menyentuh hati yang ingin dinikmati rakyat negeri ini darinya,” batin penulis.
Masih banyak hal yang penulis berniat tuangkan di dalam tulisan ini, tapi rasanya cukup ini saja untuk menggambarkan suasana santap siang yang pasti tak akan penulis lupakan. Pada tulisan lain akan penulis ceritakan bagaimana sudut pandang sang Presiden berkaitan berbagai perkembangan terakhir di dunia maya. (@bens369)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H