[caption id="attachment_357082" align="aligncenter" width="620" caption="Buku Revolusi dari Desa - Saatnya dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya kepada Rakyat | Ilustrasi Ben B. Nur |"][/caption]
Judul: Revolusi dari Desa: Saatnya dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya kepada Rakyat
Penulis: Dr.Yansen TP., M.Si
Editor: Dodi Mawardi
ISBN: 978-602-02-5099-1
Tebal: xxviii + 178 halaman
Penerbit: Elex Media Komputindo (Kompas Gramedia)
Cetakan I : 2014
[caption id="attachment_357095" align="aligncenter" width="620" caption="DR. Yansen TP., M.Si, Bupati Kabupaten Malinau Periode 2011 - 2016 | Ilustrasi: Ben |"]
Membaca buku besutan seorang birokrat senior seperti sebenarnya saya tidak berharap banyak kecuali mendapatkan informasi keberhasilan yang biasanya telah dilakukan seorang birokrat lalu dituliskan kembali oleh anak buahnya, istilah kata business as usual, apalagi kalau bukan sekedar pencitraan.
Hanya karena judulnya cukup menghentak, “Revolusi dari Desa”, lagipula penerbitnya bukan sembarang penerbit, “Elex Media Komputindo,” group Kompas-Gramedia, saya akhirnya terprovokasi membaca tuntas buku bersampul biru dengan ilustrasi gambar metamorfosa ulat menjadi kupu-kupu itu.
Di sisi lain, tanpa bermaksud mencampur-baurkan antara kesan pribadi dan buku yang saya resensi ini, saya mendapat kesan positif dari sosok penulis buku ini yang menyempatkan diri menyajikan bukunya kepada publik, setidaknya di hadapan ratusan anggota Kompasiana yang memadati ruang pertemuan Hotel Santika, Slipi beberapa waktu lalu.
Berpenampilan rapih, postur tinggi dan berkulit putih dengan senyum yang selalu mengambang di bibirnya, mengesankan kalau sosok yang bernama lengkap DR. Yansen TP., M.Si ini adalah figur yang rendah hati. Terkesan sangat menguasai konsep yang dipaparkannya. Mungkin karena konsep ini sudah diterapkan di Kabupaten Malinau atau karena konsepsi pembangunan desa ini adalah saripati dari disertasi saat penulis merampungkan program pendidikan doktoralnya di Universitas Brawijaya Malang.
Terlepas dari semua itu, saya menangkap pemahaman umum bahwa Yansen menghadirkan konsep pembangunan desa sebagai jawaban atas keresahan dan kegundahannya melihat berbagai upaya pembangunan yang telah dilakukan selama ini tak kunjung memberikan hasil optimal bagi peningkatakan kesejahteraan rakyat.
Cermatilah pernyataan kegalauan Yansen di halaman 12 berikut ini: “Mengapa elit-elit lokal dan birokrasi pemerintahan daerah yang selama ini telah bekerja keras belum membuahkan hasil yang signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, khususnya masyarakat desa di Kabupaten Malinau?”
Yansen mengaku telah melakukan pencermatan dan perenungan yang panjang untuk sampai pada keyakinan bahwa Gerakan Desa Membangun (GERDEMA) adalah jawaban dari kegalauan itu. Ia pun mencanangkan GERDEMA sebagai bagian dari program pemerintahan Kabupaten Malinau saat Yansen terpilih sebagai Bupati.
[caption id="attachment_357086" align="aligncenter" width="620" caption="Bayangkan berapa luas tiap desa di kabupaten Malinau kalau luas keseluruhan Kabupaten ini mencapai 40.000 km2 atau hampir 80 kali luas DKI Jakarta yang hanya 661 km2 | Ilustrasi foto: Revokusi Dari Desa |"]
Apa itu GERDEMA?
Di halaman 13 Yansen menulis: “GERDEMA adalah sebuah paradigma baru dalam pembangunan. Konsepsi GERDEMA memiliki cara pandang yang spesifik dan fokus terhadap desa. Suatu cara pandang yang berbeda jauh dengan perilaku kebijakan pembangunan oleh banyak pemerintah daerah selama ini.”
Awalnya saya berpikir Yansen cukup berani memberikan pernyataan bahwa GERDEMA adalah sebuah paradigma baru dalam pembangunan. Bukankah selama ini sudah banyak konsep pembangunan desa atau pembangunan yang dilaksanakan di pedesaan? Dimana letak perbedaan yang signifikan antara pendekatan pembangunan yang selama ini telah ada dengan GERDEMA yang dibesut oleh Yansen? Mengapa pula GERDEMA ini disebut sebagai pendekatan pembangunan yang revolusioner dari desa?
Rupanya Prof. DR. Sadu Wasistiono, M.Si yang menuliskan kata pengantar untuk buku ini juga menyadari kemungkinan ekspektasi pembaca, apalagi sedang hangat-hangatnya intelektual, profesional dan berbagai kalangan di negeri ini berdiskusi tentang Revolusi Mental yang dipopulerkan oleh Joko Widodo di masa-masa kampanye Presiden beberapa waktu lalu.
Makanya Prof. Sadu memberikan bantalan untuk menghindarkan guncangan untuk buku ini seperti bantalan karet di rel kereta api. Prof. Sadu berujar dengan kesan kerendahan hati, ia berujar di halaman xiii paragraf kedua: “Gagasan yang dikemukakan Dr. Yansen bukanlah sesuatu yang baru, tetapi merupakan upaya reaktualisasi konsep.”
Tetapi sebelum mengemukakan itu, Prof. Sidu mengutip satu kata bijak Yunani yang kebetulan juga salah satu kata ilhami yang saya sukai: “Nil Novi Subsole” yang artinya, di bawah matahari sebenarnya tidak ada sesuatu yang baru. Konsep pembangunan komunitas (community development) sudah dikembangkan sejak lama oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Bahkan Di Korea Selatan, masih tulis Prof. Sadu, sudah lama dikenal konsep “Saemaul Undong” atau The New Community Movement yang dimotori oleh mantan Presiden Korea Selatan di era 1970-an, Park Chung He.
Lalu apa yang sebenarnya menarik dari konsep Yansen yang dituangkan dalam buku setebal hampir 180 halaman ini? Saya yakin ini pertanyaan umum yang menghadang kesadaran setiap orang yang akan menginvestasikan waktu membaca buku ini.
Setelah membaca keseluruhan isi buku Revolusi dari Desa ini, meskipun tergolong serius, tetapi dari segi bahasa dan gaya penuturan yang masih tergolong ringan, saya sampai pada kesimpulan kalau Yansen sebenarnya ingin menegaskan bahwa janganlah kita berharap banyak bisa memetik buah pembangunan kalau tidak sungguh-sungguh melakukannya di desa, oleh orang desa dan dirasakan hasilnya oleh orang-orang di desa.
Saya akhirnya tersadar kalau pendekatan GERDEMA layak disebut sebagai paradigma baru dikarenakan sungguh-sungguh memandang perangkat pemerintahan desa sebagai aktor utama pelayanan pemerintahan yang sanggup menjalankan tugas-tugas pemerintahan sehingga pelayanan kepada masyarakat yang selama ini dominan dikeluhkan oleh masyarakat dapat diatasi dengan cepat dan efisien.
Karena cara pandang GERDEMA seperti itu, maka dalam prakteknya hamoir semua potensi pemerintah didistribusikan ke desa-desa sehingga tersedia dana untuk meningkatkan kapasitas aparat desa, membangun sarana dan prasarana yang diperlukan untuk terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat serta dana untuk menjamin imbalan yang layak bagi perangkat desa dapat dipenuhi.
“Yang tidak biasa berkantor, didampingi, diberdayakan dan dibimbing untuk bisa berkantor layaknya aparat pemerintah,” jelas Yansen saat memberikan presentasi tentang GERDEMA kepada sejumlah Kompasianer beberapa waktu lalu.
Dengan berseloroh Yansen menggambarkan suasana penerapan GERDEMA awalnya seperti lakon sinetron yang ditonton oleh khalayak. Tentu saja ada yang suka dan memberikan dukungan sejak awal namun tidak sedikit yang skeptis terhadap kemungkinan kelanggengan pendekatan itu.
Namun Yansen sangat optimis mengenai kelangsungan pendekatan ini karena baik aparat desa maupun masyarakat terlihat mulai menikmati manfaat dari pelayanan yang memungkinkan segala urusan mereka yang berhubungan dengan pemerintah menjadi sangat lancar.
“Saya berkeyakinan bahwa apabila masyarakat desa diberikan kepercayaan dan tanggungjawab yang jelas, pasti mereka akan mengemban kepercayaan itu dengan baik,” tulis Yansen.
Yansen seakan ingin menegaskan bahwa roh dari GERDEMA ini adalah “kepercayaan” atau “trust” yang tidak setengah-setengah. Ini juga ditegaskan pada sub judul yang menyebutkan: “Saatnya Dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya Kepada Rakyat.”
Saatnya percaya sepenuhnya, tersirat maksud bahwa sebelumnya kita atau mungkin yang dimaksud elit pemerintahan pada tingkat yang lebih tinggi kurang memberikan kepercayaan kepada masyarakat desa meskipun program pembangunan yang dilaksanakan mengatasnamakan masyarakat desa.
Dan kita semua tahu, memberikan kepercayaan itu bukan perkara mudah karena di dalam kepercayaan yang diberikan terkandung unsur resiko yang harus kita pikul bila kepercayaan itu tidak dilaksanakan. Namun, dengan bermodalkan kemampuan komunikasi dan pengalaman menjadi Camat di berbagai tempat sebelum akhirnya menjadi Bupati, Yansen memiliki percaya diri untuk menggerakkan revolusi itu dan berada di tengah-tengahnya.
Yansen berani keluar dari mainstream pemerintahan daerah yang selama ini kebanyakan lebih cenderung mencari aman dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab pemerintahan. Karena dengan mengikuti pakem pemerintahan daerah yang sudah berjalan selama ini, toh Yansen bisa terpilih untuk periode berikutnya atau dipromosi atau dipilih ke jenjang yang lebih tinggi.
Mempercayakann 146 urusan kepada pemerintahan desa membutuhkan keberanian yang luar biasa. Ini memang patut disebut revolusioner karena selama ini pemerintahan desa hanya mengurusi hal-hal yang remeh sehingga untuk menjalankannya bahkan mereka tak memerlukan kantor yang permanen.
Yansen datang dan mengajak masyarakat desa berubah dengan kekuatan mereka sendiri, mulai dari apa yang mereka miliki dan ketahui seakan menegaskan bahwa suatu kaum tidak akan berubah nasibnya kecuali mereka sendiri yang mau merubahnya. Yansen menghabiskan Bab I untuk menggambarkan betapa selama ini paradigma pembangunan lebih banyak bertumpu pada aturan dan teknik pembangunan yang canggih tetapi lupa pada ruh dari suatu perubahan besar dalam masyarakat yakni kepercayaan.
GERDEMA dan Speed of Trust
Yansen menulis secara lengkap teknik merancang pembangunan dan menjelaskan GERDEMA dengan rinci sampai pada operasional, dan catatan keberhasilan yang dicapai. Keseluruhannya 7 Bab yang dapat dijadikan rujukan dan sumber informasi bahkan inspirasi kepada siapa saja yang berniat membangun daerah dengan benar.
Namun kata kunci pertama yang harus siap diejawantahkan adalah memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada masyarakat desa untuk menjalankan pemerintahannya yang difasilitasi serta disupport oleh pemerintahan yang ada di atasnya.
Sebuah buku yang ditulis oleh Stephen M.R. Covey dan Rebecca R. Merrill berjudul Speed of Trust, yang kalau diterjemahkan bebas berarti kekuatan dari kepercayaan, memberikan inspirasi betapa kepercayaan telah menjadi rahasia terpendam di balik sukses dan kebesaran perusahaan-perusahaan raksasa di banyak negara.
Buku yang diterbitkan beberapa tahun lalu dan kini telah terjual jutaan eksamplar itu memang hanya bicara tentang kehebatan dari kata trust, seperti yang juga saya dapati dalam buku Revolusi dari Desa, tetapi implikasi dari kata itu telah membangun kesadaran baru agar dunia bisnis jangan sampai kehilangan landasan moral dan ruh-nya, kepercayaan. Dengan kata lain di dalam buku Revolusi dari Desa menegaskan agar pemerintahan kembali kepada hakikat keberadaannya yakni kepercayaan dari rakyat. Oleh karenanya pemerintahan akan sukses bila berani mengembalikan kepercayaan kepada masyarakat, khususnya masyarakat desa untuk menyelenggarakan berbagai urusannya.
Sebuah penelitian yang pernah dilakukan oleh seorang penjual hotdog di Amerika Serikat menemukan kenyataan bahwa dengan memberikan kepercayaan kepada pembeli hotdog untuk menyimpan sendiri pembayarannya dan mengambil sendiri kembaliannya di dalam suatu kotak yang disediakan ternyata tidak membuat si penjual hotdog merugi.
Bahkan, dari perhitungan si penjual hotdog, dia selalu mendapat kelebihan pembayaran sekitar 5 persen dari jumlah pembayaran yang seharusnya ia terima. Darimana datangnya? Kemungkinan dari orang yang tidak menganggap penting mengambil recehan kembaliannya.
Fakta lain yang menarik setelah si penjual memasang CCTV sebagai rangkaian dari penelitiannya, ia juga melihat ada sejumlah pembeli yang tidak membayar yang hanya berpura-pura menyimpan sesuatu ke dalam kotak lalu pergi. Tetapi perilaku negatif itu tidak membuat si penjual hotdog merugi karena ternyata dengan kepercayaan yang diberikan lebih banyak orang yang mengapresiasinya daripada yang melanggarnya.
Pembelajarannya adalah bahwa dengan kepercayaan yang diberikan kepada perangkat pemerintahan desa untuk menjalankan pelayanan mungkin tidak semuanya menjalankan dengan baik, tetapi dapat diyakini bahwa diantara yang tidak bertanggungjawab akan lebih banyak yang menjalankan tanggungjawabnya dengan benar, dan merekalah yang akan menjaga kelangsungan dari GERDEMA tersebut ke depan.
Dengan Trust yang tinggi seperti ditulis di dalam buku Speed of Trust, akan sekaligus berarti low cost atau biaya menjadi rendah alias efisien. Bagaimana membuktikannya? Sederhana saja. Lihatlah lingkungan yang kesalingpercayaan diantara masyarakatnya tinggi dan mereka juga percaya penuh kepada satuan pengamanan yang bertugas, maka mereka tidak perlu membangun pagar yang tinggi, memasang CCTV, membiayai anjing penjaga rumah dan sebagainya. Bukankah itu berarti biaya hidup lebih murah?
Makanya dengan kepercayaan yang besar yang diberikan kepada aparat desa, banyak hal yang bisa dihemat sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat lebih efisien.
[caption id="attachment_357087" align="aligncenter" width="620" caption="Lihatlah latar belakang dimana DR. Yansen TP., M.Si, Bupati Malinau menyalami aparat desa. Itulah salah satu kantor desa di Malinau buah dari GERDEMA | Ilustrasi : Buku Revolusi dari Desa | "]
Garuda di Dada dan di Perutku
Dari buku ini terkonfirmasi bahwa GERDEMA telah membawa perubahan yang signifikan bagi kemajuan desa-desa di Malinau, bukan hanya fisik desanya tetapi yang terpenting perubahan perilaku masyarakat dan aparat desanya.
Yansen antara lain menemukan bahwa dengan dijalankannya GERDEMA tersebut, tumbuh partisipasi aktif masyarakat dalam menjalankan pemerintahan secara bersih dan tulus. Selain itu, demokrasi yang merupakan ciri khas desa sebagai daerah otonom tumbuh lebih baik dan terhindar dari sekedar adu kekuatan dan saling mendukung yang tidak proporsional.
Kepemimpinan di tingkat desa tentu saja semakin dinamis karena mereka melihat dan merasakan arti penting pemimpin untuk menggerakkan perubahan secara bersama-sama. Yansen juga mencatat peningkatan efisiensi dalam pemanfaatan anggaran dan efektivitas dalam pencapaian tugas dan fungsi pelayanan pemerintahan desa.
Sedikitnya Yansen mencatat 13 capaian penting dari GERDEMA tersebut yang tentu saja siap untuk dikonfirmasi setiap saat di Kabupaten Malinau. Namun di atas semua itu, tentu saja tumbuh kebanggaan sebagai bangsa Indonesia yang kebetulan berbatasan dengan negeri jiran Malaysia yang kata orang selama ini lebih menggiurkan daripada negeri sendiri.
“Jadi dengan kemajuan yang dicapai oleh desa-desa di Malinau setidaknya kita bisa menciptakan kemandirian ekonomi sehingga masyarakat kita selain dapat memenuhi kebutuhannya sendiri dan penduduk Kabupaten tetangga, kita juga bisa menciptakan lapangan kerja yang lebih banyak dan lebih baik tingkat pendapatannya,” jelas Yansen dengan mata berbinar menyiratkan kebanggaan.
Karena urusan perut rakyatnya telah bisa diurus dengan baik, Yansen dengan berseloroh mengatakan bahwa sekarang dia berani mengatakan bahwa Garuda ada di dada dan juga di perut rakyat Malinau. [@bens_369]
Sumber Ilustrasi: www.Kompasiana.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H