Wacana reshuffle pertama kali tersiar oleh kicauan wakil presiden, Jusuf Kalla, yang kemudian ditegaskan kembali oleh Presiden Joko Widodo dalam rapat paripurna pada 13 Mei 2015 lalu. Melakukan reshuffle sendiri merupakan sebuah kewajaran dalam negara yang menganut sistem pemerintahan presidensil. Hal ini diatur pula dalam UUD 1945 pasal 17 ayat 2 yang berbunyi “menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”. Namun yang perlu kita kritisi dalam kasus ini apakah reshuffle kabinet merupakan pilihan yang tepat untuk dilakukan saat ini? dan jika iya, lalu bagaimana susunan kabinet yang paling tepat? Siapa gerangan yang diuntungkan? Untuk itu Diskusi “Sersan Lagi Ngegosip” pada tanggal 20/05/2014, mengangkat tema ”Reshuffle Kabinet: Siapa yang Untung?”
29 Mei 2015
Wacana reshuffle kabinet menjadi kontroversial disebabkan pemerintahan Jokowi-JK masih berumur tujuh bulan sehingga kebijakan tersebut dianggap terlalu gegabah. Banyak pihak yang menilai reshuffle kabinet tidak perlu dilakukan dan cukup dengan evaluasi pada kabinet yang bermasalah. Tindakan evaluasi pun dirasa sudah cukup efektif. Sehingga reshuffle kabinet dinilai tidak mempunyai urgensi untuk dilakukan saat ini. Terutama dalam masa awal pergantian kepemimpinan pasti memerlukan waktu untuk beradaptasi. Sehingga program kerja belum dapat dijalankan secara efektif.
Terkuaknya wacana ini mendorong media untuk gencar melakukan pemberitaan. Baik asumsi-asumsi seputar latar belakang reshuffle maupun prediksi nama-nama menteri yang akan diganti dan yang akan menggantikan. Dalam daftar nama-nama menteri yang akan menggantikan banyak di antaranya merupakan kader dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Hal ini memunculkan pertanyaan bahwa apakah reshuffle kabinet ini benar-benar dilakukan demi kepentingan rakyat atau malah sebaliknya.
Reshuffle kabinet meskipun merupakan hak prerogratif Presiden namun dalam melakukannya Presiden perlu memerhatikan pertimbangan dari DPR, parpol pengusungnya, maupun kekuatan oligarki. Diadakannya reshuffle kabinet menuai berbagai pro dan kontra. Masyarakat yang pro-reshuffle, sebagian besar beralasan bahwa dalam tujuh bulan kinerja Jokowi-JK, pemerintahannya banyak mendapatkan rapor merah terhadap performa kabinet terutama kementerian ekonomi dan hukum.
(Ulasan Pendukung Reshuffle Kabinet)
Hisab mengatakan bahwa reshuffle baik untuk dilakukan, malah jika reshuffle semakin diulur-ulur akan semakin banyak lagi masalah yang menumpuk. Jokowi juga dirasa minder atau dilangkahi oleh para menterinya yang dianggap memiliki kemampuan lebih daripadanya. Terutama beberapa menteri-menterinya merupakan lulusan S2 bahkan profesor sedangkan ia hanya lulusan S1 kehutanan. Sikap dilangkahi ini ditambah pengaruh nilai-nilai Jawa pada diri beliau yang notabene merupakan orang Jawa.
Menurut Gani, irrelevan jika reshuffle harus dilakukan hanya karena Jokowi dinilai lelet dan tidak efektif. Karena memang pada pemerintahan yang baru berumur jagung, tentu belum dapat melakukan kinerja yang efektif. Hal yang paling penting untuk dilakukan pada satu tahun pertama adalah mengonsolidasikan kekuatan politik. Apalagi Jokowi bukanlah seorang ketua partai dan tidak mempunyai dukungan oligarki yang kuat. Sedangkan pada era SBY, oligarki dimasukkan ke dalam kabinet untuk dikontrol dan bekerja sama dengan pemerintah. Dengan konsensi pembagian proyek di balik layar.
Fokus pertimbangan dalam mengambil tindakan reshuffle kabinet, seharusnya lebih berpijak pada poin kedua bahwa oligarki-oligarki tersebut kurang dimasukkan ke kursi kementerian. Padahal dengan memasukkan oligarki dalam kabinet, pemerintah dapat dengan mudah memonitoringnya. Jokowi juga tidak menggunakan Kalla dengan baik untuk melakukan penguatan kabinet dari unsur oligarki. Untuk itu, reshuffle dilakukan sebagai momen pengonsolidasian ulang kiblat kekuatan politik Jokowi kembali ke Mega, yang sebelumnya sempat goyah dan condong ke Paloh. Walaupun Jokowi juga butuh dukungan oligarki (pebisnis) melalui Paloh.