(Alternatif Proporsi yang Paling Tepat antara Menteri dari Unsur Partai Politik dan Kalangan Profesional)
           Menurut Piebo, tidak ada komposisi yang ideal. Tergantung konteks. Mau tidak mau Presiden harus kompromi. Terutama ada beberapa keputusan Presiden yang memerlukan persetujuan DPR. Akibat Presiden tidak kompromi pada partai, bisa dilihat akibatnya saat rapat pemerintah dan DPR sering mengalami kondisi deadlock. Berkaca pada kegagalan di Amerika Latin yang juga menerapkan sistem yang sama (Presidensial-Multipartai) dan gagal dalam institusi demokrasi. Koalisi harus dibangun untuk menjaga stabilitas pemerintahan. Ini yang dilakukan SBY dengan memberikan alokasi kursi kepada partai. Faktor politik (pembagian) kursi yang paling dapat dilakukan adalah yang paling rasional. Karena sama saja antara menteri dari partai ataupun profesional, mereka sama-sama dapat diganti jika dinilai berkinerja buruk.
           Oleh karena itu, menurut Piebo, isu reshuffle perlu dilihat mengapa wacana reshuffle ini muncul. Dari awal Jokowi sudah melanggar janjinya untuk mengisi semua kursi menteri dari unsur nonpartai. Untuk itu, jikalau reshuffle benar-benar dilakukan maka idealnya menteri yang diganti ialah yang merupakan patron dari parpol tertentu. Reshuffle atau tidak, politik berbicara mengenai dua hal yakni: kepentingan dan kekuasaan. Terlalu munafik jika dikatakan politik bertujuan mencapai goodwill. Sehingga realistis saja dengan tidak melihat isu reshuffle ini sebagai goodwill. Selain itu menurut Iye, terlepas penting atau tidak adanya reshuffle ini namun rakyat mesti peduli akan hal ini karena pengambilan keputusan politis tersebut berdampak pada rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H