Mohon tunggu...
BEM FISIP UI 2015
BEM FISIP UI 2015 Mohon Tunggu... -

Kanal media resmi BEM FISIP UI 2015 | Kolaborasi Karya Kita

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hak Warga Kota Depok: Sebuah Pengantar dan Upaya Mencari Solusi

19 Juni 2015   22:23 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:37 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FISIP UI 2015

 

Neoliberalisme di Indonesia                                      

Neoliberalisme telah menjadi sistem arus utama di dalam perekonomian dunia. Esensi neoliberalisme tidak lain adalah sebuah proyek yang bertujuan untuk merestorasi dan memperluas kekuasaan elite kelas kapitalis pada tingkat nasional dan global melalui kontrol, supereksploitasi dan represi terhadap kelas pekerja di seluruh dunia (Harvey, A Brief History of Neoliberalism, 2009). Pada tataran ide, para pengusung neoliberalisme meyakini bahwa pasar yang tidak teregulasi, yang bebas dari segala bentuk intervensi negara, terbuka dan kompetitif adalah karpet merah untuk menuju ke podium kemajuan dan kemakmuran bersama (Pontoh, 2013). Di tataran kebijakan, proyek kelas ini direalisasikan melalui serangkaian kebijakan deregulasi, privatisasi, pemotongan anggaran publik, pasar kerja fleksibel, liberalisasi perdagangan jasa dan keuangan, dst (Pontoh, 2013). Kebijakan-kebijakan dimuka dilaksanakan dan diimplementasikan oleh pemerintah Indonesia dalam pembangunan.

Kebijakan yang jelas dilaksanakan di Indonesia di antaranya privatisasi dan komersialisasi ruang-ruang kota, pembangunan mall-mall, pelebaran dan pembangunan jalan-jalan tol, pembangunan pusat-pusat perkantoran pemerintah dan bisnis berskala besar, sertifikasi tanah yang segera diikuti dengan penggusuran paksa penduduk dari tanah tersebut, kriminalisasi terhadap penduduk di area pemukiman kumuh, pemberian ijin-ijin pembangunann perumahan, superblok-superblok mewah, pembangunan pabrik-pabrik, komersialisasi barang-barang publik seperti air minum, pendidikan, dan kesehatan, dst (Pontoh, 2013). Hal ini, menurut David Harvey, merupakan konsekuensi atas gerak internal kapitalisme yang harus selalu menguasai ruang sebagai sarana untuk ekstraksi nilai lebih (Apinino, 2014). Kebijakan-kebijakan tersebut adalah hal yang niscaya dilakukan dalam pembangunan ekonomi sebuah negara penganut neoliberalisme. Hal ini membuat kebijakan-kebijakan serupa dilaksanakan di kota-kota besar di Indonesia.

Kegiatan-kegiatan pembangunan yang telah dijabarkan di atas tentunya memiliki dampak bagi kehidupan masyarakat. Kegiatan-kegiatan pembangunan tersebut bertujuan untuk menjadikan kota sebagai mesin pertumbuhan ekonomi guna melayani kepentingan kelas borjuasi nasional dan internasional (Pontoh, 2013). Dampak dari banyaknya model pembangunan yang berorientasi privat tersebut adalah kerugian bagi warga miskin di perkotaan. Kebijakan dengan alasan pembangunan ekonomi menjadi buruk apabila hanya menguntungkan sebagian masyarakat dan merugikan masyarakat lainnya. Model pembangunan di perkotaan untuk melayani kelas menengah ke atas tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan mayoritas penduduk kota yang miskin, sehingga lahir daerah-daerah kumuh, perumahan tak layak tinggal, sarana air bersih yang sangat terbatas, tingkat kriminalitas yang tinggi, pengangguran, pengemis, anak jalanan yang terus bertambah, kesehatan yang buruk, pendidikan yang tidak berkualitas dan sebagainya (Pontoh, 2013).

 

Hak Warga Kota Depok

Kota berdasarkan World Charter for the Right of The City adalah kawasan yang memiliki potensi ekonomi, lingkungan, kekayaan politik dan budaya, dan keberagaman. Namun, bertolak belakang dengan potensi yang dimilikinya, pembangunan kota terkadang bertendensi untuk mengkonsentrasikan pendapatan dan kekuasaan, penyebab dari kemiskinan, berkontribus dalam pencemaran lingkungan, segregasi sosial dan spasial, dan privatisasi infrastruktur umum dan ruang publik.

Sebagai warga seuatu kota, seharusnya warga termasuk memiliki ha katas kota yang ditempatinya. Hak atas kota mengandaikan bahwa logika urban tidak dapat lagi hanya disandarkan pada logika pertumbuhan atau maksimalisasi profit (Ridha, 2010). David Harvey memandang bahwa hak atas kota adalah, “bukan hanya sebagai kebebasan individu untuk mengakses sumber daya perkotaan, akan tetapi lebih dari itu, hak atas perkotaan adalah hak untuk mengubah diri kita melalui mengubah kota itu sendiri” (Harvey, The Right to The City). Harvey menegaskan bahwa proses ini adalah sebuah proses yang melibatkan aksi kekuasaan kolektif untuk mendorong proses perkotaan yang demokratis (Harvey, The Right to The City).

Bagi Lefebvre, hak atas kota berarti hak terhadap kota itu sebagai sesuatu yang nyata, yang hadir dengan segala kerumitannya saat ini untuk kemudian mentransformasikan dan memperbaharui kota tersebut sesuai dengan konteks ekonomi politik kekinian (Pontoh, 2013). Dengan pengertian ini, maka hak atas kota itu tidak sekadar dimaknai bahwa warga miskin berhak untuk mengakses pendidikan dan kesehatan gratis, misalnya, tapi juga warga miskin tersebut memiliki hak untuk mentransformasikan dan memperbaharui kota tersebut. Singkatnya, penduduk miskin yang menetap di kota tersebut bukan hanya pelaku pasif dari sebuah perubahan, tapi aktif terlibat dalam proses perubahan itu (Pontoh, 2013).

Di sini penulis akan mengkhususkan perhatian terhadap kota Depok dengan segala permasalahan yang secara umum disebutkan di atas. Kota Depok adalah kota yang menjadi sebuah wilayah penyangga untuk ibu kota Negara Indonesia yaitu DKI Jakarta dan diarahkan untuk menjadi kota pemukiman, kota pendidikan, pusat pelayanan perdagangan dan jasa, kota pariwisata, dan sebagai kota resapan air (depoknews.com, 2011). Maka dari itu para penghuni yang mendiami wilayah Depok sebagian besar berasal dari pindahan orang Jakarta, Tak heran kalau dulu muncul anggapan bahwa Depok adalah daerah elit pemukiman orang kota. Ternyata anggapan yang dahulu muncul berkembang sampai sekarang ini dengan tuntutan yang seakan mengharuskan kota Depok menjadikan lahan–lahan hijaunya sebagai lantai dasar gedung–gedung bertingkat. Dengan adanya diksi tersebut maka terlihat bahwa, perkembangan kota depok sampai sekarang ini berjalan seiringan dengan permasalahan yang ada dan permasalahan tersebut akan berdampak langsung kepada warga kota Depok dan seperangkat haknya. Disebut sebagai “seperangkat hak nya” karena sudah selayaknya ketika seorang manusia menempati suatu wilayah dengan kurun waktu yang lama, manusia tersebut akan mendapat hak yang berjumlah lebih dari satu dan akan melaksanakan kewajiban yang berjumlah lebih dari satu pula.

Pembangunan Apartemen Margonda Residence III merupakan gambaran nyata perenggutan halus hak lahan terhadap warga kota Depok yang tinggal di Kelurahan Kemiri Muka, Kecamatan Beji, Depok. Dikatakan halus karena pembangunan apartemen tersebut memang secara tersirat mendapat respon baik dari warga, akan tetapi pembangunan apartemen ini disinyalir menyalahi aturan terkait pembuangan limbah dan menyerap air tanah, hingga warga kesulitan air bersih, pasalnya air limbah yang dibuang menimbulkan bau yang tidak sedap dan berwarna keruh. Supomo, warga yang telah 30 tahun tinggal di wilayah itu juga telah mengalami kekurangan air pasca dibangunnya Apartemen Margonda Residence III, “Kalau biasa hanya dua jam bak sudah penuh, tapi sekarang butuh dua jam setengah buat menuhin bak mandi ,” ungkapnya (Maulana, 2014).

Apa yang sebenarnya harus kita lihat dari realita yang diungkap di atas adalah ketika warga Depok telah memberikan hak lahannya secara tidak langsung kepada pihak terkait untuk mendirikan Apartemen Margonda, di dalamnya termasuk ada turut campur pemerintah yang bertanggung jawab. Namun, pemerintah tidak jeli dalam mengawasi dan mengendalikan pembangunan yang ada sehingga justru yang terjadi adalah kerugian bagi warga Kota Depok sendiri yang lingkungannya tercemar dan kekurangan air bersih.

Peristiwa hak lahan ini juga kembali menarik memori kita pada rangkaian pembangunan Terminal Depok pada pertangahan tahun 2014 lalu. Sebanyak 150 kios dan 180 lapak PKL pedagang di Terminal Depok ditertibkan tim gabungan. Walaupun pembongkaran tersebut diklaim sudah sesuai dengan standar operasional dan prosedur (SOP) yang berlaku serta Pemkot Depok telah menyiapkan empat pasar di wilayah Depok yaitu Pasar Depok Jaya, Pasar Segar Cinere, Pasar Agung, dan Pasar Musi sebagai solusi, namun para pedang merasa solusi itu belum dapat diterima mengingat banyak pedagang yang rugi ratusan juta akibat pengambilan lahan tersebut. Salah satunya adalah penjual lapo yang enggan menyebutkan namanya, ia mengaku kecewa atas penggusuran ini. Dia mengaku rugi hampir ratusan juta, padahal dua kios yang disewanya ini masih memiliki kontrak hingga 2018 (Rieuwpassa, 2014). “Aduh banyak banget ruginya, sekarang saya punya dua kios. Satu kiosnya saja saya beli Rp 36 juta, belum untuk renovasi segala macamnya. Kontrak masih sampai 2018, masih panjang sekali” kata ibu paruh baya ini di Terminal Depok, Rabu, 8 Oktober 2014 (Rieuwpassa, 2014).

Selain penjual lapo tersebut, masih banyak lagi penjual–penjual lain yang digusur lahan jualnya meskipun sudah terlanjur membayar untuk jangka panjang. Dari fakta tersebut dapat kita lihat bahwa walaupun ke depannya lahan yang digusur tersebut digunakan untuk kepentingan warga Depok bersama, tetapi pemerintah kota Depok tidak bisa begitu saja menggusur lahan–lahan para penjual tersebut yang sudah terlanjur merugi karena membayar puluhan juta untuk jangka waktu penyewaan tertentu. Perlu adanya pengawasan serta penawaran solusi lain selain pemindahan lahan dagang para penjual karena perlu diingat bahwa para pedagang tersebut juga merupakan warga Depok yang mengais rezeki di lahan Depok dan ketika lahan tersebut ditiadakan, harus ada pertanggungjawaban pemerintah untuk memberikan lahan kepada mereka yang dirugikan.

Berbicara mengenai hak lahan, rasanya tak akan luput dalam pemanfaatan lahan tersebut baik untuk perdagangan, tempat tinggal, dan pendidikan. Salah satu yang menarik diantara ketiga pemanfaatan lahan tersebut di daerah Depok adalah pemanfaatan lahan untuk pendidikan gratis yang bernama Sekolah Master (Masjid Terminal). Sekolah Masjid Terminal adalah sebuah sekolah gratis yang lahannya berasal dari lahan wakaf yang bertempat di sekitar terminal Depok dan terus dikembangkan sampai memiliki beberapa tingkatan mulai dari TK hingga SMA. Murid–murid dari Sekolah Master ini antara lain adalah kaum dhuafa, anak jalanan, pengamen, dan warga miskin Depok. Namun sayangnya, dalam beberapa tahun terakhir sekolah tersebut terus diguncang dengan isu-isu penggusuran yang akan dilakukan oleh pihak developer terminal dan Pemkot Depok sendiri.

Melihat penjabaran di atas, ada banyak hak warga kota Depok yang tak terpenuhi. Bila menilik pada World Charter for the Right of The City, sebagian warga Depok telah kehilangan haknya untuk mendapatkan air bersih, lingkungan yang bebas dari polusi, masa kepemilikan, dan pendidikan.

Polusi lingkungan dan pencemaran air menjadi suatu keniscayaan yang terjadi disebabkan okupasi ruang yang serampangan. Pembangunan yang tidak melihat efek pada lingkungan menyebabkan dampak buruk bagi lingkungan. Bila melihat kasus yang terjadi di kota Depok, dimana pembangunan Margonda Apartmen Residence menyebabkan tercemarnya air di kecamatan Kemiri Muka, itu artinya pembangunan hanya memerhatikan aspek ekonomi tanpa mengindahkan aspek lingkungan.

Kasus penggusuran yang dilakukan kepada pedagang-pedagang Terminal Depok juga mengimplikasikan tidak dilindunginya hak kepemilikan warga kota. Pedagang yang sudah membayar uang sewa untuk jangka panjang tidak diindahkan haknya. Fenomena tersebut tentulah buruk untuk preseden kedepannya, pemerintah Kota Depok akan seenaknya saja menginjak-injak hak sewa yang dimiliki warganya dengan alasan pembangunan.

Seperti yang sudah digambarkan di atas, penggusuran pedagang di terminal Depok juga menyasar penggusuran sekolah Master. Sebenarnya, dari awal terbentuknya sekolah Master saja sudah mengimplikasikan bahwa Pemkot Kota Depok gagal memberikan sebagian warganya fasilitas pendidikan yang layak dan mempromosikan kondisi untuk mencegah tenaga kerja di bawah umur. Kenyataan tersebut merupakan pelanggaran HAM yang nyata yang dilakukan oleh Pemkot Kota Depok karena telah merenggut hak warga kota untuk mendapatkan pendidikan.

 

Solusi

Solusi dari berbagai permasalahan yang dimiliki warga Depok adalah partisipasi warga kota sendiri. Seperti David Harvey pernah nyatakan bahwa hak atas kota itu bukanlah sebuah inisiatif atau kerja individu dan kelompok, tapi lebih merupakan inisiatif dan kerja kolektif dari rakyat (Pontoh, 2013). Warga kota Depok harus memiliki ruang untuk berpartisipasi dalam penentuan corak pembangunan yang akan dilaksanakan di Depok. Ruang-ruang politik yang mesti diberikan kepada warga kota di antara lain dapat berupa perencanaan pembangunan, pengaturan pemukiman informal, budgeting partisipatoris, dll.

Kita dapat mencontoh kedaulatan yang dimiliki rakyat dalam mentransformasi pembangunan kota yang sudah terjadi di Brazil. Rakyat Brazil telah merasakan perubahan urban yang dramatis (Brown dan Kristiansen, 2009). Pada tahun 1990-an, gerakan Popular Urban Reform Amandment berhasil mendorong terlaksananya National Urban Reform Forum, dan beberapa kota memberikan warganya kesempatan untuk memuat kebijakan  kotanya sendiri (Rolnik, 2008; Ottolenghi, 2002). Setelah kedaulatan sudah berada di tangan rakyat, lalu apa yang rakyat dapat lakukan?.

Kedaulatan yang dapat direbut oleh rakyat bukanlah hal yang mustahil dan dan hanya menghasilkan sesuatu yang nihil. Di Brazil, rakyat berhasil menciptakan City Statue yang meredifinisi konsep dari kepemilikan lahan, legal paradigma yang menyatakan bahwa sebuah properti mengandung dimensi sosial (Polis, 2008; Fernandes, 2006). Tidak hanya itu, City Statue juga mengatur pemukiman informal dan memberikan ruang politik bagi warga miskin kota untuk berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan kota.(Orsorio, 2007; Fernandes, 2006; Solinis, 2006; de Grazia, 2002).

Kedaulatan tersebut tentunya tidak akan dapat diraih dengan sendirinya, namun dibutuhkan perjuangan sosial yang berkembang dari akar rumput dan pemimpin yang amanah. Pemimpin yang amanah ini akan mendorong pergerakan sosial dengan memberikan ruang politik bagi warga kota, seperti yang dilakuan Walikota Porto Alegre, Olivio Dutra, pada tahun 1989 yang mengundang warganya untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan investasi-investasi baru di kotanya.

Pada 9 Desember 2015, kota Depok  akan menyambut Pemilihan Umum Walikota (Pilwalkot) (kabarrakyat.co, 2015). Pada pilwalkot kali ini, diharapkan muncul pemimpin yang amanah dan berintegritas dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan di kota Depok. Kedepannya, banyak hal yang mesti dilakukan walikota dan warganya dalam membangun kota Depok untuk menyelesaikan masalah-masalah dan hak-hak yang tidak didapatkan warga kota. Kota harus menjamin warganya dengan air bersih, sanitasi yang layak, penyaringan limbah, layanan energi dan telekomunikasi, layanan kesehatan, pendidikan, kebutuhan pokok, rekreasi, korespondensi dengan badan publik atau privat, yang berdasarkan kerangka Hak Asasi Manusia (World Charter for the Right of The City, ARTICLE XII no.1).

Secara partikular, menilik kasus penggusuran pedagang Terminal Depok, hak sewa warga kota mesti juga diatur dan dilindungi. Setiap warga kota memiliki hak atas rumah sewa yang dijamin instrumen legal, dan hak untuk terlindung dari pengusiran, perampasan, paksaan pemindahan. Kota harus melindungi penyewa dari pemerasan dan pengusiran paksa, sesuai dengan General Comment N 7 of the United Nations Committee on Economic, Social and Cultural Rights (World Charter for the Right of The City, ARTICLE XIV no. 7). Hak pendidikan menjadi penutup solusi dari kami, menilik kasus penggusuran Sekolah Master. Kota harus membentuk prakondisi untuk mencegah lahirnya tenaga kerja di bawah umur agar anak-anak di kota tersebut dapat menikmati masa kecilnya dan terpenuhi pendidikan dasarnya (World Charter for the Right of The City, ARTICLE XV no.2). Pemerintah kota dan warga kota harus menempatkan pendidikan dalam prioritas pembangunan kota Depok. Menyediakan dan melindungi sekolah-sekolah formal dan informal adalah hal yang sudah semestinya dilakukan di Depok.

Dengan penegakkan World Charter for the Right of The City, warga kota akan mendapatkan hak-hak dasarnya yang selama ini telah menjadi korban pembangunan. Pembangunan kedepannya, dengan dipimpin Walikota yang berintegritas dan partisipasi warga kota langsung, diharapkan dapat sesuai dengan kebutuhan warga kota Depok.

 

Daftar Pustaka

Apinino, R. (2014, Agustus 20). David Harvey, Social Justice and The City (New YorPenyingkiran Kaum Miskin Kota dan Hak Atas Kota. Retrieved from IndoProgress: http://indoprogress.com/2014/08/penyingkiran-kaum-miskin-kota-d

de Grazia, G. (2002). Estatuto da Cidade: uma longa história com vitórias e derrotas, in Fabris, E. (ed) Estatuto da Cidade e Reforma Urbana: Novas Perspectivas para as Cidades Brasileiras, Brasil, Porto Alegre. Sao Paulo: Polis.

depoknews.com. (2011, April 6). Sejarah Kota Depok. Retrieved from depoknews.com: http://depoknews.com/sejarah-kota-depok/

Fernandes, E. (2006). Updating the declaration of the rights of citizens in Latin America: constructing the Right to the City in Brazil. UNESCO UN-HABITAT ISS.

Harvey, D. (2009). A Brief History of Neoliberalism. Oxford: Oxford University Press.

Harvey, D. (n.d.). The Right to The City. Retrieved from Reading Marx's Capital with David Harvey: http://davidharvey.org/media/righttothecity.pdf

kabarrakyat.co. (2015, April 28). Walikota: Depok Siap Ikuti Pilkada Serentak 2015. Retrieved from Kanar Rakyat: http://kabarrakyat.co/2015/04/14729/walikota-depok-siap-ikuti-pilkada-serentak-2015/

Maulana, H. (2014, November 13). Warga Kemiri Muka Minta Tanggung Jawab Apartemen Margonda Residence III. Retrieved from depoknews.com: http://depoknews.com/warga-kemiri-muka-minta-tanggung-jawab-apartemen-margonda-residence-iii/

Orsorio, L. M. (2007). Positive policies and legal response to enhance security of tenure, Case study for enhancing urban safety and security. Global Report on Human Settlements.

Ottolenghi, R. (2002). The Statute of the City: New tools for assuring the right to the city in Brasil. UN-HABITAT.

Pontoh, C. H. (2013, Januari 25). Hak Atas Kota. Retrieved from IndoProgress: http://indoprogress.com/2013/01/hak-atas-kota-2/

Ridha, M. (2010, Agustus). Hak Atas Kota. Retrieved from IndoProgress: http://indoprogress.blogspot.com/2010/08/hak-atas-kota.html

Rieuwpassa, F. (2014, Oktober 17). Di Balik Pembongkaran 150 Kios dan 180 Lapak PKL di Terminal Depok. Retrieved from depoklik.com: http://www.depoklik.com/metro/di-balik-pembongkaran-150-kios-dan-180-lapak-pkl-di-terminal-depok)

Rolnik, R. (2008). The Right to the City: Implementing an Urban Reform Agenda in Brazil, . UNESCO.

Solinís, G. (2006). Putting the Right to the City into context. UNESCO UN-HABITAT ISS.

World Charter for the Right to the City. (n.d.).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun