Di sini penulis akan mengkhususkan perhatian terhadap kota Depok dengan segala permasalahan yang secara umum disebutkan di atas. Kota Depok adalah kota yang menjadi sebuah wilayah penyangga untuk ibu kota Negara Indonesia yaitu DKI Jakarta dan diarahkan untuk menjadi kota pemukiman, kota pendidikan, pusat pelayanan perdagangan dan jasa, kota pariwisata, dan sebagai kota resapan air (depoknews.com, 2011). Maka dari itu para penghuni yang mendiami wilayah Depok sebagian besar berasal dari pindahan orang Jakarta, Tak heran kalau dulu muncul anggapan bahwa Depok adalah daerah elit pemukiman orang kota. Ternyata anggapan yang dahulu muncul berkembang sampai sekarang ini dengan tuntutan yang seakan mengharuskan kota Depok menjadikan lahan–lahan hijaunya sebagai lantai dasar gedung–gedung bertingkat. Dengan adanya diksi tersebut maka terlihat bahwa, perkembangan kota depok sampai sekarang ini berjalan seiringan dengan permasalahan yang ada dan permasalahan tersebut akan berdampak langsung kepada warga kota Depok dan seperangkat haknya. Disebut sebagai “seperangkat hak nya” karena sudah selayaknya ketika seorang manusia menempati suatu wilayah dengan kurun waktu yang lama, manusia tersebut akan mendapat hak yang berjumlah lebih dari satu dan akan melaksanakan kewajiban yang berjumlah lebih dari satu pula.
Pembangunan Apartemen Margonda Residence III merupakan gambaran nyata perenggutan halus hak lahan terhadap warga kota Depok yang tinggal di Kelurahan Kemiri Muka, Kecamatan Beji, Depok. Dikatakan halus karena pembangunan apartemen tersebut memang secara tersirat mendapat respon baik dari warga, akan tetapi pembangunan apartemen ini disinyalir menyalahi aturan terkait pembuangan limbah dan menyerap air tanah, hingga warga kesulitan air bersih, pasalnya air limbah yang dibuang menimbulkan bau yang tidak sedap dan berwarna keruh. Supomo, warga yang telah 30 tahun tinggal di wilayah itu juga telah mengalami kekurangan air pasca dibangunnya Apartemen Margonda Residence III, “Kalau biasa hanya dua jam bak sudah penuh, tapi sekarang butuh dua jam setengah buat menuhin bak mandi ,” ungkapnya (Maulana, 2014).
Apa yang sebenarnya harus kita lihat dari realita yang diungkap di atas adalah ketika warga Depok telah memberikan hak lahannya secara tidak langsung kepada pihak terkait untuk mendirikan Apartemen Margonda, di dalamnya termasuk ada turut campur pemerintah yang bertanggung jawab. Namun, pemerintah tidak jeli dalam mengawasi dan mengendalikan pembangunan yang ada sehingga justru yang terjadi adalah kerugian bagi warga Kota Depok sendiri yang lingkungannya tercemar dan kekurangan air bersih.
Peristiwa hak lahan ini juga kembali menarik memori kita pada rangkaian pembangunan Terminal Depok pada pertangahan tahun 2014 lalu. Sebanyak 150 kios dan 180 lapak PKL pedagang di Terminal Depok ditertibkan tim gabungan. Walaupun pembongkaran tersebut diklaim sudah sesuai dengan standar operasional dan prosedur (SOP) yang berlaku serta Pemkot Depok telah menyiapkan empat pasar di wilayah Depok yaitu Pasar Depok Jaya, Pasar Segar Cinere, Pasar Agung, dan Pasar Musi sebagai solusi, namun para pedang merasa solusi itu belum dapat diterima mengingat banyak pedagang yang rugi ratusan juta akibat pengambilan lahan tersebut. Salah satunya adalah penjual lapo yang enggan menyebutkan namanya, ia mengaku kecewa atas penggusuran ini. Dia mengaku rugi hampir ratusan juta, padahal dua kios yang disewanya ini masih memiliki kontrak hingga 2018 (Rieuwpassa, 2014). “Aduh banyak banget ruginya, sekarang saya punya dua kios. Satu kiosnya saja saya beli Rp 36 juta, belum untuk renovasi segala macamnya. Kontrak masih sampai 2018, masih panjang sekali” kata ibu paruh baya ini di Terminal Depok, Rabu, 8 Oktober 2014 (Rieuwpassa, 2014).
Selain penjual lapo tersebut, masih banyak lagi penjual–penjual lain yang digusur lahan jualnya meskipun sudah terlanjur membayar untuk jangka panjang. Dari fakta tersebut dapat kita lihat bahwa walaupun ke depannya lahan yang digusur tersebut digunakan untuk kepentingan warga Depok bersama, tetapi pemerintah kota Depok tidak bisa begitu saja menggusur lahan–lahan para penjual tersebut yang sudah terlanjur merugi karena membayar puluhan juta untuk jangka waktu penyewaan tertentu. Perlu adanya pengawasan serta penawaran solusi lain selain pemindahan lahan dagang para penjual karena perlu diingat bahwa para pedagang tersebut juga merupakan warga Depok yang mengais rezeki di lahan Depok dan ketika lahan tersebut ditiadakan, harus ada pertanggungjawaban pemerintah untuk memberikan lahan kepada mereka yang dirugikan.
Berbicara mengenai hak lahan, rasanya tak akan luput dalam pemanfaatan lahan tersebut baik untuk perdagangan, tempat tinggal, dan pendidikan. Salah satu yang menarik diantara ketiga pemanfaatan lahan tersebut di daerah Depok adalah pemanfaatan lahan untuk pendidikan gratis yang bernama Sekolah Master (Masjid Terminal). Sekolah Masjid Terminal adalah sebuah sekolah gratis yang lahannya berasal dari lahan wakaf yang bertempat di sekitar terminal Depok dan terus dikembangkan sampai memiliki beberapa tingkatan mulai dari TK hingga SMA. Murid–murid dari Sekolah Master ini antara lain adalah kaum dhuafa, anak jalanan, pengamen, dan warga miskin Depok. Namun sayangnya, dalam beberapa tahun terakhir sekolah tersebut terus diguncang dengan isu-isu penggusuran yang akan dilakukan oleh pihak developer terminal dan Pemkot Depok sendiri.
Melihat penjabaran di atas, ada banyak hak warga kota Depok yang tak terpenuhi. Bila menilik pada World Charter for the Right of The City, sebagian warga Depok telah kehilangan haknya untuk mendapatkan air bersih, lingkungan yang bebas dari polusi, masa kepemilikan, dan pendidikan.
Polusi lingkungan dan pencemaran air menjadi suatu keniscayaan yang terjadi disebabkan okupasi ruang yang serampangan. Pembangunan yang tidak melihat efek pada lingkungan menyebabkan dampak buruk bagi lingkungan. Bila melihat kasus yang terjadi di kota Depok, dimana pembangunan Margonda Apartmen Residence menyebabkan tercemarnya air di kecamatan Kemiri Muka, itu artinya pembangunan hanya memerhatikan aspek ekonomi tanpa mengindahkan aspek lingkungan.
Kasus penggusuran yang dilakukan kepada pedagang-pedagang Terminal Depok juga mengimplikasikan tidak dilindunginya hak kepemilikan warga kota. Pedagang yang sudah membayar uang sewa untuk jangka panjang tidak diindahkan haknya. Fenomena tersebut tentulah buruk untuk preseden kedepannya, pemerintah Kota Depok akan seenaknya saja menginjak-injak hak sewa yang dimiliki warganya dengan alasan pembangunan.
Seperti yang sudah digambarkan di atas, penggusuran pedagang di terminal Depok juga menyasar penggusuran sekolah Master. Sebenarnya, dari awal terbentuknya sekolah Master saja sudah mengimplikasikan bahwa Pemkot Kota Depok gagal memberikan sebagian warganya fasilitas pendidikan yang layak dan mempromosikan kondisi untuk mencegah tenaga kerja di bawah umur. Kenyataan tersebut merupakan pelanggaran HAM yang nyata yang dilakukan oleh Pemkot Kota Depok karena telah merenggut hak warga kota untuk mendapatkan pendidikan.