Baru-baru ini di kampung kelahiran saya, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara beredar spanduk berisi ajakan untuk menggunakan hak pilih dalam Pilkada 2015, tetapi disertai labeling dan stigma negative bagi mereka yang tidak memilih atau golput.
Bunyi spanduknya begini;
“AYO NYOBLOS!!! Tanggal 09 Desember 2015, PEMILIHAN BUPATI DAN WAKIL BUPATI KABUPATEN ASAHAN. GOLPUT Bukan Ciri Orang Yang Beriman.
Belum dapat dipastika siapa atau lembaga mana yang membuat dan memasang spanduk tersebut. Kemungkinan bukan KPUD Asahan, karena tidak terdapat ogo KPUD. Di sebelah kanan spanduk tertera logo Pemerintah Kabupaten Asahan, tetapi tidak ada informasi jelas yeng bisa memberikan petunjuk bahwa spanduk tersebut dibuat dan dipasang oleh pemerintah kabupaten. Namun isinya yang memberikan label dan stigma negative terhadap mereka yang golput sebagai orang tidak beriman, adalah sesuatu yang sangat bisa menjadi perdebatan.
Kadar keimanan seseorang kepada agama dan Tuhannya tidak bisa diukur dari penampilan atau sikapnya. Iman itu adalah soal keyakinan yang adanya di dalam lubuk hati. Sehingga, siapapun pembuat spanduk tersebut, tidak pada tempanya untuk mengaitkan sipak politik seseorang dalam memilih dengan keimanannya.
Menjadikan sikap politik golput sebagai cirri orang yang tidak beriman juga menunjukkan bahwa si pembuat spanduk sebenarnya tidak cukup memahami apa terminoligi keimanan. Jika yang dimaksudkan adalah cirri keimanan seseorang kepada agama dan Tuhannya, maka merujuk pada Alquran misalnya, sudah jelaslah dalilnya bahwa cirri-ciri orang yang beriman bukan dari sikap politiknya memilih atau tidak memilih, melainkan bagaimana reaksinya ketika dikumandangkan ayat-ayat Allah.
Dalam Al-Quran dijelaskan cirri-ciri orang yang beriman adalah mereka yang bila disebut nama Allah bergetar hatinya dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka [baca QS. Al-Anfal: 2].
Ayat tersebut semakin menegaskan bahwa keimanan itu adalah soal keyakinan hati, sehingga hanya orang tersebut dan Allah-lah yang mengetahuinya. Sedangkan kita hanya menduga-duga dari ciri-ciri yang tampak di luar saja sebagaimana dalam firman Allah tersebut. Lalu bagaimana bisa si pembuat spanduk itu mencirikan orang yang tidak beriman adalah mereka yang tidak memilih alias golput? Padahal ada begitu banyak alasan dan penyebab orang memutuskan tidak memilih atau golput?
Apalagi, dalam hal memilih, agama Islam misalnya, juga mengajarkan kita untuk tidak melakukan sesuatu (termasik mengambil pilihan) manakala berada dalam keadaan keragu-raguan.
“Tinggalkan yang kamu ragukan, dan ambilah yang tidak ragukan (meyakinkan).” [HR. Tirmidzi dan an-Nasa’I]
Meskipun sebagian besar tafsir memaknai hadis ini bahwa diantara keraguan yang ada, kita tetap harus memilih mana yang paling tidak meragukan. Namun dalam konteks Pilkada, misalnya, makna “pilihan” bisa juga diperluas menjadi tidak soal pasangan calon A atau pasangan calon B, melainkan waktu penyelenggaraan pilkadanya, pilkada sekarang atau pilkada berikutnya?
Dengan demikian, ketika seseorang memiliki keraguan terhadap kedua pasangan calon yang ditawarkan dalam masa pilkada tertentu, dengan menggunakan perluasan makna “pilihan” tersebut diatas, seseorang sangat mungkin bisa mengambil keputusan untuk tidak mengikuti pilkada saat ini-sehingga itu artinya ia tidak memilih alias Golput- dan baru akan ikut pada masa pilkada selanjutnya karena memperkirakan akan ada pasangan calon yang lebih meyakinkan untuk dipilih daripada pasangan yang sekarang. Dengan demikian, pada akhirnya seseorang tetap marus memilih diantara dua atau beberapa masa pilkada yang diselenggarakan.
Jadi, memilih itu hak, bukan kewajiban. Maka dari itu sebutannya “hak pilih”, bukan “kewajiban pilih”. Sifat dari “hak” adalah, ia bisa digunakan, bisa juga tidak digunakan oleh si pemiliknya. Sehingga, jika dalam masa pilkada seorang memutuskan tidak menggunakan hak pilihnya, dengan alasan apapun itu, itu tetap harus dihormati sebagai bagian dari hak politiknya, dan konstitusional. Menggunakan cara-cara labeling atau memberi stigma negatif kepada mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya, belum tentu dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam setiap momen pemilihan. Mereka hanya butuh untuk diyakikan atas pasangan calon yang ditawarkan. Percayalah, mereka tidak akan memutuskan menggunakan hak pilihnya hanya karena takut dicap tidak beriman, dsb.
Tulisan ini sama sekali tidak ditujukan untuk mengajak orang untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau golput. Memilih atau tidak memilih alias golput, harus menjadi keputusan pribadi yang independen, tidak boleh dipengaruhi, apalagi ditekan oleh siapapun. Tawarkan pasangan calon- pasangan calon terbaik dan meyakinkan, gelar proses pilkada yang fair, tegakkan aturan dan hukum bagi siapapun yang melakukan pelanggaran pilkada, Insya Allah partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya akan meningkat.
Kaki Merapi, 19 Nopember 2015
Bem Simpaka
*) Sumber Gambar: Dok. Pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H