Jadi, memilih itu hak, bukan kewajiban. Maka dari itu sebutannya “hak pilih”, bukan “kewajiban pilih”. Sifat dari “hak” adalah, ia bisa digunakan, bisa juga tidak digunakan oleh si pemiliknya. Sehingga, jika dalam masa pilkada seorang memutuskan tidak menggunakan hak pilihnya, dengan alasan apapun itu, itu tetap harus dihormati sebagai bagian dari hak politiknya, dan konstitusional. Menggunakan cara-cara labeling atau memberi stigma negatif kepada mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya, belum tentu dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam setiap momen pemilihan. Mereka hanya butuh untuk diyakikan atas pasangan calon yang ditawarkan. Percayalah, mereka tidak akan memutuskan menggunakan hak pilihnya hanya karena takut dicap tidak beriman, dsb.
Tulisan ini sama sekali tidak ditujukan untuk mengajak orang untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau golput. Memilih atau tidak memilih alias golput, harus menjadi keputusan pribadi yang independen, tidak boleh dipengaruhi, apalagi ditekan oleh siapapun. Tawarkan pasangan calon- pasangan calon terbaik dan meyakinkan, gelar proses pilkada yang fair, tegakkan aturan dan hukum bagi siapapun yang melakukan pelanggaran pilkada, Insya Allah partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya akan meningkat.
Kaki Merapi, 19 Nopember 2015
Bem Simpaka
*) Sumber Gambar: Dok. Pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H