Menurut penulisnya, buku itu justru mengambil sudut pandang resmi PBNU. Sementara, siapapun yang paham sejarah pasti mengerti bahwa NU adalah lawan tradisional PKI, sehingga buku yang disita itu mustahil membela PKI.
Selain sesat nalar, praktik penyitaan oleh aparat juga mengalami cacat prosedur hukum. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 13 Oktober 2010 tidak diindahkan. Keputusan MK itu mencabut UU Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Menganggu Ketertiban Umum.
MK menilai Undang-undang itu bertentangan dengan konstitusi. Aparat kini tidak bisa lagi sewenang-wenang memberangus buku, tetapi harus terlebih dulu melalui pembuktian di pengadilan.
Dikutip dari pengantar buku Penghancuran Buku : Dari Masa ke Masa (2013) karya Fernando Baez, untuk melarang sebuah buku setidaknya harus memenuhi tiga syarat. Pertama, buku mesti diuji dengan pertanyaan apakah buku yang dimaksud memang berisi ancaman terhadap hak asasi. Kedua, pelarangan tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang, tapi harus diputuskan di pengadilan. Ketiga, penulis harus diberi hak jawab mengenai bukunya di pengadilan.
Mengacu pada aturan tersebut, artinya aparat yang terlibat dalam berbagai razia buku jelas cacat prosedur hukum. Namun, kejadian serupa terus berulang. Tentunya ini adalah hal yang ironis dan memprihatinkan terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia.
Sebuah Refleksi untuk Bangsa Minim Literasi
Beberapa hari lalu, tepatnya tanggal 23 April kita merayakan Hari Buku Sedunia atau lebih sering disebut World Book Day. Penggagasnya adalah UNESCO karena tanggal tersebut bertepatan meninggalnya William Shakespeare dan Inca Garcilaso de la Vega, sastrawan besar dunia. Tanggal 17 Mei nanti, Indonesia akan memperingati Hari Buku Nasional yang digagas sejak tahun 2002.
Alasan dipilihnya tanggal 17 Mei karena bertepatan dengan hari berdirinya Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di tahun 1980. Pada intinya, kedua hari itu sebagai peringatan untuk merayakan budaya membaca agar kita bisa memperluas wawasan, menambah pengetahuan, serta mengasah kreativitas dan imajinasi.
Patut disadari bahwa negara ini adalah salah satu negara darurat literasi. Menurut World Most Literate Nation Study, Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara dengan minat membaca tertinggi. Artinya Indonesia adalah negara kedua paling bawah peringkatnya dalam hal literasi, menang tipis oleh Botswana.
Peringkat ini didasarkan oleh lima kategori yang merupakan indikator kesehatan terpelajar bangsa: perpustakaan, surat kabar, input dan output pendidikan, dan ketersediaan komputer. Tentunya kondisi diatas memprihatinkan dan harus mendapat perhatian oleh banyak pihak.
Sungguh ironis ketika minat baca yang begitu minim, ditambah lagi dengan sikap pemerintah yang membatasi bacaan bagi masyarakat. Imbasnya adalah masyarakat Indonesia akan menjadi buta akan literasi serta minim wawasan.
Kemudian timbul pertanyaan, apa bedanya dengan masa Orde Baru yang membatasi buku-buku beredar demi mengkerdilkan pemikiran kritis masyarakat atas nama egoisme tirani? Bagaimana negara ini bisa bermetamorfosis menjadi negara maju jika sikap pemerintah seperti itu?