PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Media massa sebagai jembatan transparansi antara pemerintah dan masyarakat perlu memberikan informasi mengenai segala aspek politik, sosial, dan ekonomi secara terbuka, yang pada gilirannya dapat memengaruhi pandangan masyarakat terhadap suatu peristiwa. Dalam praktik jurnalisme, terdapat prinsip independensi dan netralitas yang harus dijunjung tinggi. Independensi mengacu pada kebebasan dalam menjalankan prinsip-prinsip jurnalisme, sementara netralitas berarti menyajikan informasi secara objektif, akurat, dan tanpa keberpihakan, kecuali demi kepentingan publik.
Independensi dan netralitas media kian dibutuhkan publik. Sebab adanya media yang berkualitas, seimbang, dan akurat sangat penting bagi publik untuk membuat keputusan yang tepat dalam kehidupan sebagai warga negara. Namun, dalam praktiknya, kita menyadari bahwa media tidak pernah terlepas dari pengaruh kepentingan ekonomi dan politik, meskipun ada etika yang menekankan norma-norma media yang ideal.
Ketika media massa dimiliki oleh individu yang juga terlibat dalam kontestasi politik, hal ini memunculkan kecenderungan untuk mendukung agenda partai politik yang diperjuangkan oleh pemiliknya. Terlihat bahwa pemberitaan yang menyoroti kegiatan pemilik media dan afiliasinya memiliki porsi yang lebih besar daripada pemberitaan tentang pesaing politiknya. Meskipun upaya dilakukan oleh para profesional media untuk menjaga kode etik, independensi, dan netralitas, terkadang intervensi dari pemilik terjadi, yang mengakibatkan kesan bahwa media tersebut secara terbuka memihak satu sisi.
Tujuan Penulisan
- Mengetahui fenomena menurunnya independensi dan netralitas media massa dalam demokrasi di Indonesia
Mengetahui dasar aturan hukum  independensi dan netralitas media massa yang tercantum dalam UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) Tahun 2012 dan Kode Etik Jurnalistik Tahun 2006Â
PEMBAHASAN
Menurut Hafied Cangara dalam buku Pengantar Ilmu Komunikasi, media adalah alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak. Sedangkan pengertian media massa sendiri adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan dari sumber kepada khalayak dengan menggunakan alat-alat komunikasi seperti surat kabar, film, radio dan televisi. Media menjadi sarana utama bagi pertukaran informasi, pandangan, gagasan, dan wacana antar individu. Dalam masyarakat modern, media telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan sosial, dimana hampir setiap aspek kehidupan sosial melibatkan peran media.
Indonesia dikenal sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, sehingga memberikan ruang yang luas bagi warganya untuk menyampaikan pendapat. Dalam konteks demokrasi, media massa menjadi salah satu fondasi untuk membentuk kemajuan dalam praktik demokrasi di Indonesia. Media massa memiliki peran yang dinamis dalam proses demokrasi, terutama dalam menghubungkan pendapat publik terkait kebijakan pemerintah melalui jejaring sosial yang tersebar luas.Â
Secara konseptual, media massa dapat dianggap sebagai pilar keempat demokrasi. Melansir buku Teori Komunikasi Massa (2011) karya Denis McQuail, Edmund Burke dari Inggris pada akhir abad ke-18 pertama kali mengusulkan istilah "pilar keempat demokrasi", yang merujuk pada kekuatan politik yang dimiliki pers yang setara dengan pilar lainnya dalam kehidupan di Inggris: Tuhan, Gereja, dan Majelis Rendah. Dalam konteks sistem demokrasi di Indonesia saat ini, peran pers dianggap setara dengan kekuatan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kekuatan pers ini mencakup kemampuan untuk mengawasi pemerintahan dan mewakili aspirasi rakyat.
Berdasarkan artikel berjudul "The Role of Media in Democracy: A Strategic Approach", disebutkan bahwa media memiliki dua peran penting dalam demokrasi. Pertama, media yang bebas, objektif, dan terampil menjadi komponen penting dalam masyarakat demokratis karena memberikan informasi yang diperlukan oleh masyarakat dari pemerintah sebagai pembuat keputusan dan kebijakan yang bertanggung jawab dan terinformasi. Kedua, media juga berfungsi sebagai pengawas dan pemeriksa yang memastikan bahwa pejabat terpilih memenuhi janji-janji kampanye dan menjalankan tugas sesuai dengan kinerja yang diharapkan.
Independensi dan netralitas media penyiaran telah diatur secara hukum yang tercantum dalam UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran Bab IV Pelaksanaan Siaran Pasal 36 Ayat 4 yang berbunyi "Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu" dan juga tercantum dalam Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) Tahun 2012 Bab VII Perlindungan Kepentingan Publik Pasal 11 Ayat 2 yang berbunyi "Lembaga penyiaran wajib menjaga independensi dan netralitas isi siaran dalam setiap program siaran.".Â
Dalam mewujudkan media penyiaran yang independen dan netral, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik Pasal 1: Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk, dengan penafsiran:
Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.Â
Namun, di tengah kemajuan gelombang internet dan komunikasi digital, media massa bersaing dengan media sosial dalam memberikan berita dengan penyematan judul sensasional yang memantik atensi publik dan berfokus pada seberapa banyak rating dan klik yang bisa diperoleh, mengakibatkan penurunan kualitas transformasi berita di media. Saat ini, jumlah media sangat melimpah, berbeda dengan masa lampau di mana jumlah media konvensional dengan durasi tayangan atau ruang yang terbatas sehingga mendorong media untuk fokus menjaga kualitas pemberitaan dan melakukan investigasi mendalam tanpa mempertimbangkan persaingan seperti yang terjadi saat ini.Â
Terutama dalam media daring, sumber pendapatan diperoleh dari pengiklan visual, kemitraan dengan klien, kontribusi pembaca atau pengguna, dan kerjasama dengan penerbit digital seperti Google AdSense. Oleh karena itu, ada tekanan besar untuk mendapatkan sebanyak mungkin klik, karena hal itu penting bagi media sebagai penopang biaya infrastruktur yang besar.
Selain adu cepat dalam mendapatkan klik dan tuntutan untuk menghasilkan banyak berita, faktor lain yang memengaruhi kualitas berita adalah kepentingan investor dan pemilik media. Dalam buku "Kuasa Media di Indonesia: Kaum Oligarki, Warga, dan Revolusi Digital" karya Ross Tapsell, digitalisasi telah menyebabkan industri media massa di Indonesia mengalami konglomerasi yang memungkinkan oligarki pemilik media semakin mendominasi untuk mendukung agenda politik dan memiliki pengaruh yang kuat dalam persepsi publik sehingga memicu polarisasi politik.
Kepemilikan media massa memiliki keterkaitan yang erat dengan kepentingan politik. Rakyat Indonesia telah merasakan bagaimana Pemilu 2014 dan 2019 telah memecah belah identitas politik, di mana media massa terlibat dalam pemetaan tokoh-tokoh politik tersebut. Pada Agustus 2019, Lembaga Penelitian Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) merilis survei yang menunjukkan tingkat kepercayaan publik terendah terhadap media massa selama Pemilu 2019, dengan persentase 66,3% responden.
Pada tahun 2019 melansir artikel Komisi Penyiaran Indonesia berjudul "Evaluasi Tahunan: KPI Minta Metro TV Utamakan Independensi dan Keberimbangan" disebut bahwa Wakil Ketua KPI Pusat, S Rahmat Arifin mengatakan Metro TV perlu mengedepankan independensi, netralitas dan keberimbangan dalam program siaran. Selain itu, melansir artikel Kominfo pada tahun 2014 berjudul "KPI Minta Kemkominfo Evaluasi IPP Metro TV dan TV One" disebutkan bahwa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menilai Metro TV dan TV One telah melanggar independensi, netralitas dan keberimbangan dengan pelanggaran terhadap pasal 36 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran, yang berbunyi "Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu", serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS).Â
Menurut laporan penelitian Remotivi pada tahun 2014 yang berjudul "Independensi Televisi Menjelang Pemilu 2014," terdapat praktik pemberitaan, iklan, dan program non-berita yang bersifat politis di enam stasiun televisi. Dalam laporan tersebut, disebutkan bahwa Metro TV menayangkan 15 judul berita dengan total durasi 6297 detik yang berkaitan dengan Surya Paloh, di mana 2745 detik diantaranya memberikan sorotan khusus padanya. Dari jumlah tersebut, 10 berita memiliki nada positif dan lima berita lainnya bersifat netral.Â
Frekuensi pemberitaan mengenai Partai Nasdem di Metro TV merupakan yang kedua tertinggi setelah partai Golkar, dengan 21 kali pemberitaan.Â
Pemberitaan mengenai partai lain cenderung bernada netral atau bahkan negatif. Partai Golkar, yang mendapat 31 kali frekuensi pemberitaan (tertinggi di Metro TV), namun tidak bernada positif. Sebanyak 22 berita bersifat netral dan sembilan berita bersifat negatif. Situasi yang serupa juga terjadi pada PKS, di mana dari 15 berita yang ditayangkan, delapan berita bersifat netral dan tujuh berita bersifat negatif.Â
Hal ini menunjukkan bahwa Metro TV memberikan sorotan yang lebih banyak pada partai lain (lawan politik Nasdem) dengan mengangkat isu-isu negatif. Fakta ini juga diperkuat dengan hanya ada tiga partai yang mendapatkan pemberitaan dengan nada positif di Metro TV, yaitu Nasdem (10 kali), PDIP (4 kali), dan PBB (1 kali). Dari ketiga partai tersebut, Nasdem mendapatkan sorotan positif yang paling banyak.
Meskipun Aburizal Bakrie, yang merupakan Ketua Umum Golkar dan pemilik TV One, tidak banyak muncul dalam pemberitaan di stasiun televisi miliknya (hanya tujuh kali), namun bukan berarti TV One merupakan stasiun televisi yang independen.Â
Dalam tujuh berita yang melibatkan Bakrie, enam diantaranya memiliki nada positif dan satu berita bersifat netral. Bakrie menjadi tokoh politik dengan jumlah berita positif tertinggi di TV One. Hal yang sama terjadi pada partai Golkar yang dipimpin oleh Bakrie. Partai tersebut mendapatkan porsi pemberitaan positif yang tertinggi di TV One, mencakup 60% dari total berita positif yang ditayangkan. Sebaliknya, terhadap partai lain yang merupakan lawan politik pemilik TV One, cenderung dilakukan pemberitaan negatif. Hal ini tercermin dari fakta bahwa Partai Demokrat mendapatkan pemberitaan negatif tertinggi di TV One (50% dari total berita negatif di TV One).
Sama halnya dengan TV One dan Aburizal Bakrie, pasangan Hary Tanoesoedibjo dan Wiranto tidak banyak mendapat liputan berita di RCTI (hanya enam kali). Namun, Hanura menjadi partai yang mendapatkan porsi pemberitaan tertinggi di RCTI.Â
RCTI juga menjadi tempat yang paling sering digunakan untuk iklan politik Pasangan Wiranto-Hary Tanoesoedibjo, dengan frekuensi 66 pemberitaan dan durasi 2605 detik. Jumlah ini juga ditambah dengan kemunculan Wiranto dan Hary Tanoesoedibjo, baik secara langsung maupun melalui atribut slogan kampanye, dalam program non-berita Kuis Kebangsaan di RCTI sebanyak 14 kali. Jumlah ini merupakan yang tertinggi dalam kemunculan tokoh politik pada program non-berita di enam stasiun televisi.
Kesimpulan
Media massa memiliki peran sentral dalam masyarakat sebagai jembatan transparansi antara pemerintah dan masyarakat. Namun, idealnya media massa harus menjunjung tinggi prinsip independensi dan netralitas dalam menyajikan informasi secara objektif dan akurat. Meskipun demikian, realitasnya menunjukkan bahwa media tidak terlepas dari pengaruh kepentingan ekonomi dan politik.
Persaingan media massa dengan media sosial dan upaya mempertahankan eksistensi dan pendapatan seringkali mendorong media untuk mengutamakan judul sensasional yang dapat menarik perhatian publik, mengabaikan kualitas transformasi berita yang lebih mendalam, serta tekanan untuk memperoleh sebanyak mungkin klik dan rating, karena hal tersebut berhubungan dengan pendapatan dari pengiklan dan mitra bisnis. Selain itu, faktor kepentingan investor dan pemilik media juga memengaruhi kualitas berita. Pemilik media mendominasi dan memiliki pengaruh kuat dalam bidang ekonomi dan politik untuk mendukung agenda politik bagi kepentingan pihak tertentu.
Dalam konteks ini, penting bagi masyarakat untuk melihat media dengan kritis dan cerdas, serta menyaring informasi dari berbagai sumber untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif. Demokrasi yang sehat membutuhkan media yang independen, netral, dan berkualitas sebagai pilar penting dalam menginformasikan masyarakat dan memperkuat partisipasi publik dalam proses politik.
Referensi
Cangara, Hafied. 2010. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Rajawali Pers.Â
Dewan Pers. 2006. Pers Berkualitas, Masyarakat Cerdas. Diakses pada 1 Juni 2023. https://dewanpers.or.id/assets/ebook/buku/822-Buku%20Pers%20berkualitas%20masyarakat%20Cerdas_final.pdf.
Energi Bangsa. 2021. Dari Mana Media Online Mendapatkan Uang?. Diakses pada 1 Juni 2023. https://energibangsa.id/dari-mana-media-online-mendapatkan-uang/.
Heychael, Muhamad dan Holy Rafika Dhona. 2014. Independensi Televisi Menjelang Pemilu 2014. Jakarta: Remotivi.
Kominfo. 2014. KPI Minta Kemkominfo Evaluasi IPP Metro TV dan TV One. Diakses pada 1 Juni 2023. https://www.kominfo.go.id/content/detail/4059/kpi-minta-kemkominfo-evaluasi-ipp-metro-tv-dan-tv-one/0/berita_satker.
Komisi Penyiaran Indonesia. 2019. Evaluasi Tahunan: KPI Minta Metro TV Utamakan Independensi dan Keberimbangan. Diakses pada 1 Juni 2023. https://www.kpi.go.id/index.php/id/umum/38-dalam-negeri/34916-evaluasi-tahunan-kpi-minta-metro-tv-utamakan-independensi-dan-keberimbangan?detail3=13900.
Komisi Penyiaran Indonesia. 2012. Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS). Diakses pada 1 Juni 2023. https://kpi.go.id/download/regulasi/P3SPS_2012_Final.pdf.
Lembaga Penelitian Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2019. Pemilu Serentak 2019 dan Penguatan Demokrasi di Indonesia.Â
McQuail, Denis. 2011. Teori Komunikasi Massa, Edisi 6 Buku 1. Jakarta: Salemba Humanika.
Presiden Republik Indonesia. 2002. UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Diakses pada 1 Juni 2023. https://www.kpi.go.id/download/regulasi/UU%20No.%2032%20Tahun%202002%20tentang%20%20Penyiaran.pdf.
Tapsell, Ross. 2019. Kuasa Media di Indonesia: Kaum Oligarki, Warga, dan Revolusi Digital. Tangerang: Marjin Kiri.
United State Agency for International Development. 1999. The Role of Media in Democracy: a Strategic Approach. Washington, D.C: USAID Center for Democracy and Governance.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H