Mohon tunggu...
Bellatrix Indah Pratiwi
Bellatrix Indah Pratiwi Mohon Tunggu... Lainnya - Urban and Regional Planning Student

interest in coastal and spatial planning

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mobilitas Horizontal terhadap Daerah Sempadan Rel Kereta Api

11 Desember 2017   21:15 Diperbarui: 11 Desember 2017   21:31 2359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mobilitas Horizontal Penduduk terhadap Daerah Sempadan Rel Kereta Api (Studi Kasus Koridor Jalan  Gubeng Jaya II dan Jalan Gubeng Klingsingan V KA Surabaya)

              Surabaya merupakan ibu kota Provinsi Jawa Timur dengan luas wilayah 326,36 km2 yang terbagi dalam 31 Kecamatan dan 163 desa/kelurahan. Cepatnya pertumbuhan infrastruktur pada daerah Surabaya menarik banyak pendatang dari luar kota untuk bermukim pada wilayah ini. Selain hal tersebut, dengan pembangunan infrastruktur juga mempermudah mobilitas. Mobilitas sendiri dibagi menjadi dua kategori, terdapat mobilitas vertikal dan mobilitas horizontal. 

Mobilitas vertikal terkait dengan aspek status seseorang, contonya adalah seorang warga yang dulunya bertani beralih profesi menjadi pedagang. Sedangkan untuk mobilitas horizontal dibagai menjadi dua yakni non permanen dan permanen. Yang dimaksud dengan non permanen adalah gerakan dari suatu wilayah ke wilayah lain dengan tidak ada niatan, terdapat dua jenis berupa ulang alik (commuting) dan menginap atau mondok. Jenis yang kedua adalah permanen berupa migrasi yang merupakan gerakan melintasi batas menuju wilayah lain dengan menetap.

                Surabaya merupakan kota yang mempunyai jumlah pendatang yang besar, peristiwa ini dikarenakan terjadinya urbanisasi atau perpindahan penduduk ke kota dan tau akibat perluasan daerah kota. Menurut Munir, 2000, urbanisasi terjadi karena terdapat dorongan maupun faktor penarik pada wilayah tersebut. Dorongan yang melatar belakangi urbanisasi dapat disebabkan oleh makin berkurangnya sumber daya alam, menyempitnya lapangan pekerjaan, adanya tekanan diskriminasi politik, agama, suku pada daerah asal, alasan pekerjaan dan perkawinan yang menyebabkan tidak bisa mengembangkan karir pribadi, dan bencana alam. Sedangkan fator penarik dari urbanisasi dari desa ke kota adalah kesempatan mendapat pendapatan yang lebih baik, kesempatan pendidikan yang lebih baik, keadaan lingkungan dan kehidupan yang menyenangkan.

Kurangnya penguasaan kemampuan pekerjaan oleh penduduk yang melakuakan urbanissi menyebabkan mereka harus bekerja pada sektor sekunder, sehingga upah yang diterima  tidak banyak. 

Pada suatu wilayah semakin mendekati kawasan  ekonomi bisnis akan ditemui permukiman liar atau kumuh akan tetapi semakin keluar pada zona tersebut, menjadi hunian penduduk dengan penghasilan menengah ke atas. Oleh sebab pembangunan permukiman yang selaras dengan pembangunan infrastruktur berupa jalan bebas hambatan yang memungkinkan penduduk yang tinggal pada kawasan tersebut dapat efisien perihal waktu dalam perjalan menuju ke tempat kerja ataupun daerah daerah vital lainnya.  

Rasa kenyamanan karena bermukim pada kawasan yang nyaman jauh dari hiruk pikuk kota yang bising juga menjadi faktor penarik untuk dapat tinggal pada kawasan tersebut. Akan tetapi fenomena urbanisasi ini juga membawa dampak buruk dalam pembangunan wilayah kota, yaitu terjadi tidak meratanya fasilitas yang telah disediakan dengan jumlah penduduk yang kian bertambah. Ketersediaan lahan yang statis dan penduduk yang dinamis menyebabkan kelangkaan lahan terutama pada wilayah kota yang mengakibatkan kenaikan harga tanah serta harga sewa hunian.

Mobilitas horizontal berupa urbanisasi pada wilayah dapat ditemui pada Kelurahan Gubeng. Berdasarkan survey primer pada November 2017 yang berlokasikan pada koridor sempadan rel kereta api Jalan Gubeng Jaya II dan Jalan Gubeng Klingsingan V KA Surabaya terjadi pertumbuhan penduduk yang meningkat dari waktu ke waktu. 

Kawasan sempadan rel sendiri merupakan kawasan sepanjang jalan rel kereta api yang dibatasi oleh batas luar luas daerah milik jalan dan daerah manfaat jalan. Sesorang tidak boleh mendirikan bangunan di sekitar garis sempadan rel kereta api yaitu batas luar pengamanan rel tanpa izin dari pejabat pemerintah yang berwenang dan menjadikan kawasan tersebut sebagai permukiman.

Angka kepadatan pada kawasan sempadan rel kereta api tersebut sebesar 42.222,23 per km2 dengan sex ratioatau rasio jenis kelamin 68 %. Wilayah ini didominasi oleh penduduk perempuan. Angka beban tanggungan pada wilayah tersebut sebesar  31,58% dimana setiap 100 orang yang produktif harus menanggung 32 orang penduduk tidak produktif. Komposisi penduduknya, terdapat banyak yang berasal dari luar wilayah tersebut. Kebanyakan dari mereka merupakan penduduk dengan profesi karyawan swasta dan menghuni kos kosan.

Menurut data wawancara kepada seorang warga yang sudah menetap sejak kecil disana, yaitu Bapak Yales (58 tahun), dahulunya kawasan ini merupakan sawah dan rawa, jumlah rumah yang adapun masih tergolong sedikit. Lambat laun, pembangunan rumah semakin banyak dan menjadikan kawasan ini padat permukiman. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun