Udara malam semakin dingin. Aku mulai merapatkan jas almamater kampus mencoba untuk menghangatkan diri. Aku kelaparan. Tapi mungkin aku harus menunggu 2-3 jam lagi untuk makan malam. Gila, ini sudah jam setengah sembilan malam dan sepertinya tidak ada tanda-tanda mereka akan menghentikan keributan yang terjadi.
"Begini saja, besok kita cat bersama-sama tembok rumah Pak Baka untuk menghilangkan coretannya." Pak Beni salah satu Babinsa memberikan saran. Aku langsung menganggukkan kepalaku, tanda setuju dengan saran yang dia berikan.
"TIDAK! BUKAN ITU PERMASALAHANNYA. SAYA JUGA BISA KALAU CUMA MENGECAT TEMBOK RUMAH. INTI PERMASALAHANNYA ADALAH DIA SEBAGAI ORANG TUA SEHARUSNYA MENGAKUI KALAU ANAKNYA SALAH!" Pak Baka berteriak dan menunjuk-nunjuk Pak Darto.
Aku melihat Pak Baka membusungkan dadanya bersiap bertarung dengan Pak Darto. Jika kau lihat secara langsung mereka seperti dua ekor ayam jantan yang siap mencakar satu sama lain. Aku memundurkan badanku untuk memberikan ruang bagi mereka bertarung. Setidaknya ada sesuatu yang bisa mengalihkan rasa laparku.
Namun, aku harus menelan pil pahit. Beberapa Babinsa dan Keamanan Masyarakat memegang tangan mereka untuk menghentingkan dimulainya pertarungan sengit antara kedua orang tersebut.
Aku tersenyum. Akan tetapi jauh didalam hatiku yang paling dalam aku ingin sekali tertawa dan mengutuk Pak Baka. Dia adalah biang kerok dari semua permasalahan ini.
Permasalahan ini bermula ketika rumahnya yang tidak terlalu megah dan tergolong sempit dicoret-coret temboknya oleh beberapa anak kecil di sekitar rumahnya. Alih-alih berlapang dada dan mengecat rumahnya yang tampak kusam. Dia malah berteriak-teriak seperti orang tidak waras. Pak Baka bahkan mengancam ingin melaporkan kepada pihak kepolisian jika Sastra dan orang tuanya tidak berlutut meminta maaf kepadanya.
Untungnya Sastra mempunyai orang tua yang pintar. Alih-alih menghajar dan memarahi anaknya. Orang tua Sastra bertanya mengapa anaknya mencoret-coret rumah Pak Baka dengan spidol. For your information, spidol inilah yang membuat aku harus berurusan dengan permasalahan remeh seperti ini. Seharusnya waktu itu aku tidak meminjamkannya kepada Sastra, tetapi anak kecil tersebut terlalu lucu. Jadi aku tidak bisa menolak permintaannya.
Usut punya usut, ternyata Pak Baka selalu melakukan perundungan kepada anak-anak di desa tersebut. Salah satunya adalah Sastra. Anak kecil imut itu pernah dikatain anak tuyul oleh Pak Baka. Terakhir sebelum kejadian coret mencoret tembok, Pak Baka terbukti dari CCTV ingin mencoba menyerempet Sastra dan temannya. Itulah yang menyebabkan anak kelas 6 SD tersebut memutuskan untuk menuangkan kekesalannya di tembok rumah Pak Baka. Tulisannya sangat besar: Pak Baka Bodoh!
"Sudah, astaga jangan berkelahi biarkan ini diselesaikan dengan baik-baik. Pak Baka, saya beritahu anda. Walaupun Bapak melaporkan kejadian ini kepada kapolsek. Permasalahan ini pasti akan dikembalikan lagi ke pihak RT untuk diselesaikan secara kekeluargaan." Pak Beni menjelaskan dengan suara yang sangat tegas. Dia meletakkan kedua tangannya di samping badan dan terlihat seperti seorang ayah memarahi kedua anaknya yang sedang berkelahi.
"Saya tahu. Tapi saya ingin memberikan efek jera kepada Sastra dan orang tuanya agar tidak semena-mena!" Pak Baka menjerit lagi.
"Kalau begitu saya juga ingin memperjuangkan hak anak saya. Dia melakukan itu semua karena ada sebabnya. Anda ingin menabrak anak saya. Itu terbukti dari CCTV. Ditambah lagi dia masih kecil. Mengapa anda tidak mempunyai belas kasihan kepada anak kecil? Pak Baka juga mempunyai anak kan?" Istri Pak Darto meneteskan air mata. Aku juga ingin menangis. Tapi suara perutku lebih keras daripada suara hatiku.
"Hei, tapi anak saya tidak seperti Sastra. Sastra itu nakal dan tidak bisa diatur." Istri Pak Baka menyahut. Dia terlihat angkuh sama seperti suaminya. Mereka benar-benar sepasang suami istri yang sangat serasi. Aku tersenyum miris, bagaimana bisa dia menyamakan anaknya yang berumur 30 tahun dengan Sastra yang berumur 11 tahun. Benar-benar tidak punya otak.
"Bapak Ibu semuanya. Permasalah ini biarlah kita selesaikan secara kekeluargaan. Jika dikemudian hari kedua belah pihak bertemu dijalan diusahakan tegur sapa. Tolong tanda tangani surat pernyataan perdamaian ini. Sebelum pulang kita harus foto bersama dulu untuk bukti." Pak Beni memberikan instruksi. Aku melihat Pak Baka seperti ingin menangis ketika menandatangani surat perjanjian ini. Sepertinya dia benar-benar ingin menjebloskan Sastra ke dalam penjara.
Oh, astaga anak sekecil itu berkelahi dengan Bapak-bapak.
Cekrek! Cekrek!
Mereka semua tersenyum. Tetapi aku masih melihat beberapa tangan yang masih mengepal siap meninju satu sama lain.
"Jika tidak dihentikan, kita mungkin akan terus mendengarkan keributan sampai pagi." Pak Beni berbicara kepadaku sambil menatap Pak Baka yang menyalakan motornya bersiap untuk pulang ke rumah. Aku mengangguk setuju, Pak Baka memang memiliki sifat tidak suka mengalah kepada siapapun. Kadang sifat tersebut bisa merugikan di kemudian hari.
"Benar-benar menyulitkan. Apakah kebanyakan warga disini memiliki sifat seperti Pak Baka?" Aku berbalik bertanya kepada Pak RT yang terlihat sangat kelelahan. Aku yakin dia sangat tertekan memiliki warga seperti itu.
"Tidak, hanya beberapa warga saja. Pak Baka itu sebenarnya warga yang baik. Dia sering menyapa saya." Pak RT menjelaskan kepadaku. Kupikir, mungkin Pak RT memiliki sifat yang naif. Jadi, dia tidak bisa membedakan baik dan jahat.
Aku pikir, sudah waktunya untuk kembali ke posko KKN. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Aku memutuskan untuk pamit kepada Pak RT dan Babinsa.
Ketika berjalan pulang aku menggenggam handphone ku erat-erat. Aku seperti memiliki harta karun yang harus dijaga baik-baik agar tidak dirampas oleh orang lain. Alih-alih harta karun, aku memiliki rekaman suara yang bisa kutunjukkan kepada teman-temanku, pemuda pemudi di desa ini, dan ayahku.
Permainan akan dimulai sobat.
*
Kring! Kring!
Brak!
Aku melempar handphone ku ke lantai. Berisik, suara alarm yang kemarin malam aku pasang sangat berisik. Semua nya nampak mengecewakan. Dunia ini sangat suram. Dunia ini memang tidak adil. Salah satunya ketika aku tidak bisa memasukkan anak kecil itu ke dalam penjara. Seharusnya, jika anaknya tidak bisa masuk ke penjara karena masih dibawah umur. Masih ada orang tuanya yang bisa menggantikannya kan? Sial, bagaimana bisa permasalahan ini diselesaikan dengan kekeluargaan? Benar-benar memuakkan.
'Jika aku melihat Sastra. Aku akan memukulnya. Walaupun hanya sekali, aku sangat ingin memukulnya!' Aku tersenyum dan mulai membayangkan bagaimana ekspresi anak kecil itu menangis memohon maaf kepadaku.
Setelah membayangkan rencana jahatku. Aku memutuskan berjalan keluar kamarku.
"Mar, Mara. Apakah kau sudah mempersiapkan sarapanku? Hei, apakah kau tidak mendengar? Aku kelaparan!" Aku berteriak sambil memegang otot di pelipis kepalaku yang keluar karena saking emosinya.
Tidak ada suara?
Tidak ada suara yang menyahut?!
Brak!
Aku menendang kursi untuk meluapkan kekesalanku. Kursi plastik itu terlempar beberapa meter dari tempatnya semula.
Aku sangat haus. Jadi dengan enggan aku mengambil sendiri minumanku. Bukankah seharusnya ini tugas istri. Dimana istriku? Sial.
Sret! Sret! Klak! Klak!
Aku mendengar suara pilox di semprotkan. Sungguh berisik sampai aku bisa memperkirakan pilox yang digunakan mungkin lebih dari 2 botol. Aku segera lari keluar dari rumah. Pasti ada sesuatu yang terjadi. Tidak lupa aku membawa pentungan bersiap untuk memukul siapapun yang mengganggu ku. Sampai akhirnya langkahku terhenti.
Gila, jika aku hitung semuanya mungkin ada lebih dari 20 anak muda yang berkumpul di depan rumahku. Tidak, lebih tepatnya di depan tembok rumahku dan mereka sedang mencoret-coret dengan menggunakan pilox.
"HEI SINGKIRKAN TANGAN KOTOR KALIAN DARI RUMAHKU!" Aku berteriak marah sambil mengayun-ngayunkan pentungan ke arah mereka.
Aku melihat beberapa anak muda tersenyum. Membuat emosiku menjadi tidak terkendali. Sial, aku akan menghabisi mereka semua.
"KALAU BEGITU LAPORKAN SAJA KAMI KEPADA POLISI!" Toni berteriak kepadaku. Dia adalah ketua pemuda pemudi di RT ini. Aku melihat sorot matanya yang tajam. Dia tidak main-main denganku. Jadi dengan berani aku melangkahkan kakiku ke depan untuk memaki-maki mereka.
"Pak Baka, apakah bapak tidak sadar bahwa Bapak hanya pendatang di sini. Bapak tidak mempunyai hak disini karena kartu keluarga menerangkan bahwa alamat rumah anda di Jakarta. Bukan di Semarang." Toni berkata kepadaku dengan suara yang keras dan tegas. Dia menyodorkan foto copy kartu keluargaku tepat didepan wajahku. Aku menelah ludah dengan susah payah.
Bagaimana dia bisa tahu kalau alamat rumahku di Jakarta bukan di Semarang?
Apakah Pak RT memberitahunya?
Aku merasakan debaran jantungku yang menggebu-gebu. Menahan emosi yang siap meledak-ledak. Tapi, aku tidak bisa melihat cara yang tepat untuk membela diriku sendiri. Sampai akhirnya aku melihat bahwa mahasiswa KKN yang bernama Detta tersenyum sinis kepadaku sambil menggoyang-goyangkan handphonenya kepadaku.
Apa maksudnya itu?
Apakah dia yang memprovokasi pemuda pemudi di RT ini untuk melawanku?
Hei, siapa yang berdiri dibelakang Detta?
Itu bukan seorang polisi kan?
Mengapa dia mempunyai bintang yang banyak di seragamnya?
Sebentar berapa jumlah bintangnya 3 atau 4?
Sial, mati aku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H