1.Aktivitas diplomat asing yang dianggap bersifat politis atau subversif, yang tidak hanya merugikan kepentingan nasional, tetapi juga melanggar kedaulatan negara penerima.
2.Aktivitas yang jelas-jelas melanggar hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.Aktivitas yang dapat dikategorikan sebagai kegiatan spionase, yang dapat mengancam stabilitas serta keamanan internasional negara penerima.
Kekebalan dan keistimewaan yang dimiliki oleh perwakilan negara tidak bersifat absolut karena negara penerima mempunyai kewenangan unuk menolak perwakilan diplomatik yang dianggap bermasalah dengan menyatakan sebagai persona non grata yang didefinisikan sebagai sikap politik yang dilaksanakan oleh pemerintah tentang penolakan atau ketidaksukaan terhadap warga negara asing yang berada di wilayah negaranya yang memiliki kekebalan diplomatik. Negara penerima dapat mengusir atau menetapkan status persona non grata terhadap pejabat diplomatik jika terjadi penyalahgunaan kekebalan diplomatik, sebagaimana diatur dalam Konvensi Wina 1961. Ketentuan tersebut meliputi:
Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Konvensi Wina 1961, yang berbunyi:Â (1) Negara penerima, setiap waktu dan tanpa harus memberikan penjelasan atas keputusannya, dapat memberitahukan kepada negara pengirim bahwa kepala perwakilan atau salah seorang anggota staf diplomatik dari perwakilannya adalah persona non grata atau bahwa salah seorang staf perwakilan tersebut tidak dapat diterima baik. Dalam keadaan demikian, negara pengirim, sepatutnya, harus memanggil kembali orang yang bersangkutan atau mengakhiri tugasnya pada perwakilan. Seseorang dapat dinyatakan persona non grata atau tidak dapat diterima bak sebelum tiba di wilayah negara penerima. (2) Jikalau negara pengirim menolak atau tidak mampu dalam jangka waktu yang pantas untuk melaksanakan kewajibannya tersebut dalam ayat (1) dari Pasal ini, negara penerima dapat menolak untuk mengakui orang tersebut sebagai seorang anggota perwakilan".
Pasal 41 ayat (1), yang berbunyi: "Tanda mengurangi hak-hak istimewa dan kekebalan mereka, maka menjadi kewajiban semua orang yang mempunyai hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan demikian untuk menghormati hukum dan peraturan-peraturan dari negara penerima. Mereka jua mempunyai kewajiban untuk tidak mencampuri urusan-urusan dalam negara dari negara itu".
 Berdasarkan ketentuan di atas, terdapat klasifikasi mengenai unsur-unsur yang dimaksud dengan persona non grata. Dalam hal ini, negara penerima dapat mengusir diplomat asing dari wilayahnya jika tindakan diplomat tersebut bertentangan dengan hukum internasional atau dengan peraturan hukum nasional Negara penerima.
Selain daripada menetapkan status persona non grata, terhadap pejabat diplomat yang melakukan pelanggaran hukum, hak kekebalannya dapat dicabut berdasarkan Pasal 32 Konvensi Wina 1961 yang menentukan bahwa kekebalan dari tuntutan pengadilan yang dimiliki wakil diplomat dan orang-orang yang menikmati kekebalan tersebut dapat ditanggalkan oleh negara penerima, penanggalan tersebut harus dinyatakan dengan jelas. Kekebalan diplomatik bersumber pada Hukum Internasional, maka yang memiliki hak tersebut merupakan subjek hukum internasional. Namun, saat ini wakil diplomatik bukanlah subjek hukum internasional, melainkan alat perlengkapan Negara, negaralah yang berperan sebagai subjek hukum internasional. Dengan demikian Negara pengirim yang merupakan instansi yang dapat dan atau berwenang untuk melepaskan dan atau menanggalkan kekebalan diplomatik tersebut. Setelah kekebalan pejabat diplomatik tersebut ditanggalkan oleh negara pengirim maka pejabat diplomatik tersebut dapat diadili di Negara penerima dengan syarat adanya keterangan dari pemerintah Negara pengirim yang memperbolehkan hal tersebut.
Daftar Referensi
Lasut, Windy. "Penanggalan Kekebalan Diplomatik Di Negara Penerima Menurut Konvensi Wina 1961." Lex Crimen 5, no. 4 (2016).
Muhamad, Ahmad, Mustain Nasoha, Ashfiya Nur Atqiya, Muhammad Nur Sokhib, Septian Dwi Kurniawati, Fina Thazha, and Eka Sari. "Kewarganegaraan Dalam Hukum Internasional: Implikasi Dari Perjanjian Ekstradisi Dan Imunitas Diplomatif" 2 (2024): 108--17.