Mohon tunggu...
Bella DamarwatiIriyanto
Bella DamarwatiIriyanto Mohon Tunggu... Mahasiswa - International Relations Student at Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

I am an International Relations student from Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. My passion is related to International Issues and Public Relations. I learn a lot about time management, leadership, and project management skills, which helps me work hard comfortably both in a team and individually. I have a deep interest in learning about international issues and taking part in organizations that bring impact to society. Currently a staff of Hosting Division in an organization called Bina Antarbudaya Chapter Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Relevansi Resolusi Konflik Hudaibiyah dalam Resolusi Konflik Etnis Rwanda

6 Juli 2023   22:20 Diperbarui: 6 Juli 2023   22:46 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

A. Resolusi Konflik Hudaibiyah

Pada Februari 628 M di salah satu desa kecil yang berada di utara Mekkah. Kaum Quraisy yang berada di Hudaibiyah menahan dan mencegah Nabi Muhammad bersama dengan rombongannya yang berjumlah 1400 orang bermaksud untuk pergi ibadah umrah di Mekkah.  Kedua pihak ini melakukan negosiasi, negosiasi ini menghasilkan beberapa perjanjian yang disepakati kedua belah pihak, yang mana salah satu dari perjanjian ini menyatakan bahwa kaum muslimin tidak diperbolehkan untuk beribadah umrah di tahun tersebut dan harus kembali ke Madinah.

Meskipun demikian, kaum muslimin diperbolehkan untuk beribadah di tahun depan dengan ketentuan tertentu, beberapa ketentuannya seperti tidak diperkenankan membawa senjata dan hanya diperbolehkan tinggal selama tiga hari, perjanjian damai antara Nabi Muhammad dengan kaum Quraisy ini dituliskan oleh Ali bin Abu Thalib dan akan berlaku selama 10 tahun, meskipun kesepakatan ini sempat menghadapi perdebatan karena dianggap merugikan kaum muslimin, kesepakatan ini justru menunjukan sebuah bentuk kemenangan, dengan sikap Nabi Muhammad SAW yang bijaksana.

Rasulullah mampu memberikan teladan dalam memberikan solusi terhadap konflik pihak yang berselisih serta membangun perdamaian. Dalam perjanjian ini, Nabi Muhammad menunjukan dirinya sebagai seorang negosiator dan diplomat ulung yang berprinsip melihat keuntungan jangka panjang dan visi jauh kedepan. Contoh resolusi konflik Hudaibiyah tersebut telah menampakan nabi yang memprioritaskan perdamaian dalam penyelesaian konflik, dimana dapat dilakukan dengan melakukan mediasi konflik termasuk dengan melalui kearifan lokal (Alamsyah, 2020).

Berikut beberapa isi dari perjanjian Hudaibiyah:

  • Kedua belah pihak sepakat untuk melakukan gencatan senjata dengan periode waktu 10 tahun demi mencapai perdamaian dan kesejahteraan.
  • Di tahun tersebut, siapapun yang bermaksud mengikuti perjalanan Rasulullah ke Mekkah perlu mendapatkan izin ayahnya.
  • Ditahun tersebut, masyarakat muslim harus kembali ke Madinah dan tidak dapat menyelenggarakan haji. Haji akan diizinkan pada tahun berikutnya dengan syarat tidak membawa senjata dan tinggal tidak lebih dari tiga hari (Rahmawati, 2020)

B. Latar Belakang Konflik Etnis Rwanda

Konflik diartikan sebagai bentuk esensi kehidupan serta perkembangan manusia yang berkarakteristik dan beragam, manusia adalah mahluk yang memiliki keragaman pada jenis kelamin, ekonomi, bangsa, agama, suku, etnis, strata sosial, budaya, aliran politik dll, dalam kehidupan manusia, perbedaan dan keragaman ini yang sering kali menimbulkan konflik. Sebagaimana konflik yang terjadi di Rwanda yang diawali dengan negara-negara Eropa, seperti Jerman mulai masuk ke Afrika pada abad ke-18 untuk mendapatkan daerah kekuaasaan baru dengan tujuan mengeksploitasi kekayaan alamnya.

Pada saat itu, bersama dengan Raja Rwanda yang merupakan etnis Tutsi, Jerman mengeksploitasi sumber daya alam Rwanda, salah satunya seperti komoditas kopi dan juga meminta seluruh rakyat Rwanda untuk membayar pajak, etnis Hutu yang saat itu sedang dilanda kemiskinan mulai bergolak dengan Raja Rwanda. Para kolonial Jerman juga mulai melakukan tindakan tindakan rasisme, seperti mengatakan bahwa Hutu berbeda dengan etnis Tutsi yang berpenampilan seperti etnis Eropa.

Semakin lama, pemerintahan di Rwanda mulai didominasi dan diambil alih oleh etnis Tutsi. Pada masa masuknya Belgia, Belgia membentuk kartu tanda penduduk yang menjadikan etnis sebagai salah satu identitas yang di cantumkan. Adanya perebutan lahan antara etnis Hutu dan Tutsi memperparah hubungan kedua etnis tersebut. Salah satu tokoh yang berasal dari etnis Hutu, Gregoire Kayibanda, mendirikan suatu gerakan " Parti du Mouvement et d'Emancipation Hutu. Kayibanda melakukan penuntutan pada hak dan kewajiban antara etnis Tutsi dan etnis Hutu. 

Aksi ini mendapatkan penolakan oleh etnis Tutsi dengan gerakan UNAR Party yang didukung pemerintah Belgia, aksi-aksi dari kedua belah tersebut mendorong terjadinya perang kedua belah pihak yang tidak dapat dibendung, pembagian kekuasaan di Rwanda serringkali memunculkan konflik-konflik, hingga pada akhirnya orangporang etnis Hutu mendominasi pemerintahan Rwanda, sehingga banyak perang terjadi antara etnis Hutu dengan Tutsi pada tahun 1960-1962 (Alfian Singgih Widiyanto, 2016). 

Pada April hingga Juli di tahun 1994, konflik Genosida memakan ratusan ribu orang Rwanda, pembunuh-pembunuh tersebut menggunakan alat-alat sehari hati seperti pentung, parang, dan berbagai jenis benda tumpul, beberapa korban juga digiring kedalam bangunan di dibakar hidup-hidup.

C. Relevansi Resolusi Konflik Hudaibiyah dengan Konflik Etnis Rwanda

Dalam upaya resolusi konflik kejahatan genosida, terdapat dua cara yang dapat digunakan dalam perspektif hukum pidana internasional. Cara pertama, penyelesaian yang diselesaikan diluar pengadilan, car aini dapat dilakukan dengan negosiasi, mediasi, dan konsiliasi. Cara kedua, jika perlu dilakukan dalam pengadilan, konflik/sengketa tersebut akan ditangani oleh Mahkamah Internasional Tokyo, Mahkamah Militer Internasional Nunberg,International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR), dan International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY), yang mana mahkamah-mahkamah ini merupakan Mahkamah Pidana Internasional (Budiana, 2021).

Konflik Etnis di Rwanda menggunakan cara persuasif dalam penyelesaian konfliknya, seperti  musyawarah dan perundingan demi mencari solusi antara para pihak yang berselisih. Disamping itu, eskalasi konflik yang berubah menjadi genosida atau pembataian manusia dari yang awalnya hanya berupa fanatisme antar suku secara internal, membuat konflik ini menjadi perhatian dunia Internasional dan membuat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendapat desakan dari masyarakat internasional untuk andil dalam penyelesaian konflik ini.

Upaya-upaya PBB lakukan untuk meredakan konflik seperti pengiriman Peace Operation PBB dan embentukan United Nations Assistance Mission for Rwanda (UNAMIR) pada 1994 dengan Perjanjian Arusha, tetapi konflik dan genosida di Rwanda masih terus terjadi, bahkan penjaga perdamaian yang dikirimkan mendapatkan serangan dan menjadi target sasaran pasukan Hutu serta membuat Dewan Keamanan PBB menarik pasukannya dari Rwanda. (Budiana, 2021). Terjadi peningkatan kekerasan di Rwanda, presiden baru membagikan kekuasaan pada kelompok oposisi untuk upaya meredakan konflik tersebut. 

Sehingga dapat kita sepakati, bahwa usaha resolusi konflik di Rwanda perlu dilakukan kedua belah pihak berselisih, upaya intervensi dan bantuan yang diberikan oleh PBB belum dapat sepenuhnya menyelesaikan konflik. Kedua belah pihak perlu melakukan berbagai perundingan damai sendiri dengan memegang prinsip nilai pluraliyas dan menghilangkan adanya rasa dendam di masa lalu. Asimilasi pada negara multikultural juga merupakan suatu urgensi, agar dapat menciptakan masyarakat yang menghargai perbedaan dan melindungi Hak asasi Manusia demi keutuhan dan kesatuan negara tersebut (Budiana, 2021).

Relevansi resolusi konflik Hudaibiyah dengan konflik etnis di Rwanda dapat kita lihat dari bagaimana resolusi konflik Rwanda telah mencoba meredakan konflik dengan cara yang persuasif melalui musyawarah dan perlindungan. Meskipun cara ini juga melibatkan beberapa intervensi dari pihak luar, tetapi pembagian kekuasaan yang dilakukan oleh Presiden Rwanda dapat menjadi bentuk dari resolusi konflik Hudaibiyah.

Resolusi konflik Hudaibiyah mengajarkan mengenai penyelesaian masalah perlu dilakukan dengan kesepakatan, musyawarah, dan dialog yang memberikan keuntungan pada pihak-pihak yang berkonflik agar konflik dapat diatasi dengan damai tanpa perang maupun kekerasan. Keputusan Presiden Rwanda tersebut merupakan bentuk dari prinsip Rasulullah yang berpegang pada keuntungan jangka panjang. Meskipun cara ini bukan alasan utama meredanya konflik ini, tetapi cara ini menggambarkan bentuk relevansi resolusi konflik yang dilakukan Rasulullah di era kontemporer.

Referensi

Alamsyah, A. (2020). Penguatan Resolusi Konflik Berbasis Tradisi Sunnah Nabi

Alfian Singgih Widiyanto, T. I. (2016). Peran Radio Television Libre Des Mille Collines Dan Majalah Kangura Dalam Perkembang Konflik Antara Etnis Hutu-Tutsi di Rwanda, Afrika (1990-1994).

Budiana, A. A. (2021). Komparasi Penyelesaian Perkara Pidana Kejahatan Genosida yang Terjadi di Rwanda dan Myanmar Ditinjau Dari Prspektif Hukum Pidana Internasional.

Rahmawati, B. U. (2020). Relevansi Teknologi Resolusi Konflik Rasulullah SAW Terhadap Konflik di Thailand Selatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun