C. Relevansi Resolusi Konflik Hudaibiyah dengan Konflik Etnis Rwanda
Dalam upaya resolusi konflik kejahatan genosida, terdapat dua cara yang dapat digunakan dalam perspektif hukum pidana internasional. Cara pertama, penyelesaian yang diselesaikan diluar pengadilan, car aini dapat dilakukan dengan negosiasi, mediasi, dan konsiliasi. Cara kedua, jika perlu dilakukan dalam pengadilan, konflik/sengketa tersebut akan ditangani oleh Mahkamah Internasional Tokyo, Mahkamah Militer Internasional Nunberg,International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR), dan International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY), yang mana mahkamah-mahkamah ini merupakan Mahkamah Pidana Internasional (Budiana, 2021).
Konflik Etnis di Rwanda menggunakan cara persuasif dalam penyelesaian konfliknya, seperti  musyawarah dan perundingan demi mencari solusi antara para pihak yang berselisih. Disamping itu, eskalasi konflik yang berubah menjadi genosida atau pembataian manusia dari yang awalnya hanya berupa fanatisme antar suku secara internal, membuat konflik ini menjadi perhatian dunia Internasional dan membuat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendapat desakan dari masyarakat internasional untuk andil dalam penyelesaian konflik ini.
Upaya-upaya PBB lakukan untuk meredakan konflik seperti pengiriman Peace Operation PBB dan embentukan United Nations Assistance Mission for Rwanda (UNAMIR) pada 1994 dengan Perjanjian Arusha, tetapi konflik dan genosida di Rwanda masih terus terjadi, bahkan penjaga perdamaian yang dikirimkan mendapatkan serangan dan menjadi target sasaran pasukan Hutu serta membuat Dewan Keamanan PBB menarik pasukannya dari Rwanda. (Budiana, 2021). Terjadi peningkatan kekerasan di Rwanda, presiden baru membagikan kekuasaan pada kelompok oposisi untuk upaya meredakan konflik tersebut.Â
Sehingga dapat kita sepakati, bahwa usaha resolusi konflik di Rwanda perlu dilakukan kedua belah pihak berselisih, upaya intervensi dan bantuan yang diberikan oleh PBB belum dapat sepenuhnya menyelesaikan konflik. Kedua belah pihak perlu melakukan berbagai perundingan damai sendiri dengan memegang prinsip nilai pluraliyas dan menghilangkan adanya rasa dendam di masa lalu. Asimilasi pada negara multikultural juga merupakan suatu urgensi, agar dapat menciptakan masyarakat yang menghargai perbedaan dan melindungi Hak asasi Manusia demi keutuhan dan kesatuan negara tersebut (Budiana, 2021).
Relevansi resolusi konflik Hudaibiyah dengan konflik etnis di Rwanda dapat kita lihat dari bagaimana resolusi konflik Rwanda telah mencoba meredakan konflik dengan cara yang persuasif melalui musyawarah dan perlindungan. Meskipun cara ini juga melibatkan beberapa intervensi dari pihak luar, tetapi pembagian kekuasaan yang dilakukan oleh Presiden Rwanda dapat menjadi bentuk dari resolusi konflik Hudaibiyah.
Resolusi konflik Hudaibiyah mengajarkan mengenai penyelesaian masalah perlu dilakukan dengan kesepakatan, musyawarah, dan dialog yang memberikan keuntungan pada pihak-pihak yang berkonflik agar konflik dapat diatasi dengan damai tanpa perang maupun kekerasan. Keputusan Presiden Rwanda tersebut merupakan bentuk dari prinsip Rasulullah yang berpegang pada keuntungan jangka panjang. Meskipun cara ini bukan alasan utama meredanya konflik ini, tetapi cara ini menggambarkan bentuk relevansi resolusi konflik yang dilakukan Rasulullah di era kontemporer.
Referensi
Alamsyah, A. (2020). Penguatan Resolusi Konflik Berbasis Tradisi Sunnah Nabi
Alfian Singgih Widiyanto, T. I. (2016). Peran Radio Television Libre Des Mille Collines Dan Majalah Kangura Dalam Perkembang Konflik Antara Etnis Hutu-Tutsi di Rwanda, Afrika (1990-1994).
Budiana, A. A. (2021). Komparasi Penyelesaian Perkara Pidana Kejahatan Genosida yang Terjadi di Rwanda dan Myanmar Ditinjau Dari Prspektif Hukum Pidana Internasional.