Anak-anak melihat keluarga sebagai tempat berlindung yang menyediakan tempat yang nyaman dan aman, sedikit berbeda dengan pandangan remaja terhadap keluarga. Apalagi bagi remaja yang melalui masa-masa sulit dengan menghadapi perpisahan orang tuanya. Masa remaja menjadi salah satu masa yang cukup krusial untuk dihadapi, terutama bagi orang tua tunggal. Pada masa ini, orang tua diharapkan agar lebih memperhatikan perubahan-perubahan yang terjadi pada anak.Â
Banyak anak yang masih gak bisa menerima kenyataan bahwa dia hanya memiliki orang tua tunggal setelah terjadinya sebuah perceraian. Orang tua tunggal atau single parent adalah orang tua yang merawat dan membesarkan anaknya sendiri tanpa adanya support dari pasangan ((Suprihatin, 2018) Duval & Miller, 1985). Perceraian memang banyak membawa dampak buruk bagi anak dari segi sosial, emosional ataupun psikologis (Papalia & Feldman, 2014). Menurut Taufik (2014), anak yang memiliki orang tua tunggal cenderung mengalami kesulitan dalam mengerjakan sesuatu dengan baik dibandingkan dengan anak yang berasal dari orang tua utuh.Â
Remaja menjadi masa penentu untuk kehidupan kedepannya. Dukungan positif orang tua menjadi peran penting bagi membangun persepsi diri lebih baik dan melibatkan diri dalam hubungan yang sehat. Menurut salah satu penelitian, remaja dengan orang tua tunggal cenderung mengalami masalah pada emosi seperti mudah marah dan juga melawan orang tua. Selain itu mereka cenderung mengalami masalah psikologis seperti merasa diabaikan, memiliki perasaan tidak dicintai secara terus-menerus, dan perasaan yang terluka ((Ayu et al., 2015 ) Prihatinningsih, 2012).Â
Remaja dalam Kacamata Psikologi
Menurut teori psikososial Erik Erickson (Santrock, n.d.), remaja akan mengalami beberapa dinamika kehidupan, seperti munculnya pertanyaan akan identitas dirinya sendiri. Perilaku-perilaku tidak mendukung yang ditunjukkan oleh orang tua dapat membawa remaja ke jurang krisis identitas. Sikap berlebihan remaja yang terkadang di luar batas memang sering menguji kesabaran ya parents, namun dibalik sikapnya mereka juga sedang berada pada fase mentukan jati diri dan identitas dirinya sendiri loh parents.Â
Beberapa orang tua tunggal dapat menerapkan cara-cara tersendiri dalam menghadapi berbagai macam sikap dari anak remajanya. Berikut beberapa cara sederhana yang dapat dicoba dan semoga membantu orang tua dalam menghadapi tingkah laku anak remajanya :Â
1. Berikan Atensi atas segala sikapnya
Remaja seringkali melakukan tindakan hanya untuk mendapat perhatian dari orang tuanya setelah terjadinya perceraian ataupun hal lain. Sebagai orang tua alangkah lebih bijak jika terus memperhatikan perkembangan anaknya, mengingat beberapa hal kecil yang telah diceritakan anak menjadi kesenangan sendiri bagi anak.Â
2. Luangkan waktu Bersama
Perbanyaklah waktu untuk dihabiskan bersama, selama itu orang tua dapat mengajak anak berbincang mengenai kehidupan pribadinya. Cobalah bersikap seperti temannya yang tidak mengekang ataupun mendikte diri anak, pada masa remaja mereka cenderung tidak menyukai sikap orang tua yang terlalu menghakimi mereka.Â
3. Berikan kasih sayang secara merata
Bila parents memiliki anak lebih dari satu dianjurkan agar dapat memberikan kasih sayang secara merata, tindakan kecil seperti mengingat makanan kesukaan masing-masing anak sudah cukup bagi anak merasa disayang. Kurangi tindakan terlalu memanjakan satu orang anak, tindakan tersebut dapat memicu anak terlebih pada masa remaja menjadi memberontak ataupun lebih banyak melakukan hal-hal yang negatif.Â
4. Berikan tugas secara adil
Setiap anak memiliki tugasnya masing-masing baik di lingkungan rumah ataupun lingkungan masyarakat. Pemberian serta penjelasan mengenai tugas yang sesuai porsi mereka harus dilakukan oleh setiap orang tua, agar mereka mengerti dan belajar bertanggung jawab atas tugasnya. Pemberian tugas berlebihan dalam rumah kepada satu anak dapat memicu perasaan iri ataupun perasaan terluka karena, mereka akan menganggap bahwa dirinya tidak dipandang sebagai anak.Â
5. Belajar untuk lebih mengontrol amarah diri sendiriÂ
Membesarkan anak seorang diri memang bukan tugas yang mudah, sikap-sikap nakal anak terkadang memicu amarah menjadi meledak. Namun, melampiaskan amarah kepada anak bukanlah pilihan yang bijak sebagai orang tua. Pelampiasan amarah orang tua tidak hanya ditunjukkan dengan kekerasan fisik seperti menampar ataupun memukul tubuh anak dengan tangan atau barang, namun juga dapat berbentuk secara verbal seperti omelan yang parah dengan adanya kata umpatan yang ditujukan kepada anak. Dengan adanya orang tua melampiaskan amarahnya, anak hanya akan mendapatkan luka yang dalam di fisik, perasaan, ataupun keduanya.Â
Perasaan-perasaan buruk yang terus ditumpuk oleh anak dapat membuat dirinya di masa mendatang cenderung menunjukkan sifat buruk seperti mengabaikan orang tua hingga melakukan tindakan ekstrem (seperti self harming atau pada tahap yang parah seperti percobaan bunuh diri). Sikap orang tua yang plin-plan juga mengakibatkan anak pada masa remaja cenderung menjadi bingung terhadap eksistensi dan identitas dirinya.Â
Sebagai orang tua tentunya ingin yang terbaik untuk masa depan anak, maka dari itu mulai sekarang cobalah belajar menjadi pribadi yang lebih baik lagi dalam merawat anak. Memang membesarkan anak sendiri membutuhkan energi ekstra, namun harus diingat bahwa setiap anak tidak pernah bisa memilih keadaan keluarganya. Tidak perlu hadiah mewah ataupun sikap berlebihan, dengan sikap sederhana parents pun anak sudah dapat merasa dihargai.Â
So keep strong to every single parent!Â
Referensi
Ayu, G., Suwinita, M., & Marheni, A. (2015). Perbedaan kemandirian remaja sma antara yang single father dengan single mother akibat perceraian. Jurnal Psikologi Udayana, 2(1), 59--67.Â
Duvall E R M, Miller B C. 1985. Marriage and family development. new york (US): harper & row santrock, J. W. (n.d.). Life-span development.Â
Suprihatin, T. (2018). Dampak pola asuh orang tua tunggal (single parent parenting) terhadap perkembangan remaja.Â
Taufik. (2014). Dampak pola asuh single parent terhadap tingkah laku beragama remaja.Â
Prihatinningsih, S. (2010). Juvenile delinquency (kenakalan remaja) pada remaja putra korban perceraian orangtua. skripsi fakultas psikologi universitas gunadharma. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H