Mohon tunggu...
Belfin P.S.
Belfin P.S. Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang bapak yang makin tua dan bahagia

IG: @belfinpaians

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru Influencer: Simple But Significant!

15 April 2024   16:30 Diperbarui: 15 April 2024   16:36 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Akhir-akhir ini, banyak orang memberikan contoh, tapi tidak pernah menjadi contoh itu sendiri.

Baru-baru ini saya tergelitik dengan sebuah pernyataan pada sebuah status WA oleh teman saya. Begini bunyinya, "Akhir-akhir ini, banyak orang memberikan contoh, tapi tidak pernah menjadi contoh itu sendiri." Pernyataan satir itu membuat saya merenung sejenak. Setelah merenungkannya, pernyataan itu menjadi sangat masuk akal dan mengena kepada diri saya sendiri. Mengapa?

Sebagai pendidik, terlalu sering kita fokus pada hal eksternal yang kita anggap sebagai bukti konkret yang bisa ditiru dan dipraktikkan siswa. Misalnya saja, materi dan contoh materi yang kita ajarkan. Seringkali kita mengambil sumber referensi visual dari video Youtube, Google images, atau dokumen dari laman internet, buku, dan lain-lain. Sepintas, tidak ada yang salah dengan hal itu. Namun, harus kita sadari bahwa sebenarnya ada yang kurang pas di mata siswa. Tentu saja ini temuan saya sendiri berdasarkan perenungan tadi. 

Seberapa sering kita memberikan contoh yang bukan dari pengalaman kita sendiri atau produk buatan kita sendiri? Seberapa besar persentase contoh materi yang kita ajarkan adalah produk dari orang lain semisal video Youtube, makalah, artikel, dan lain-lain? Seberapa sering kita "mengelabui" siswa kita dengan produk-produk yang tidak orisinal dari hasil kerja gurunya sendiri? 

Dalam pemikiran saya, kita tidak cukup percaya diri menunjukkan contoh diri kita sendiri. Bisa jadi karena kita tidak pernah melakukannya dan hanya menguasai teorinya. Kalau sudah begini, apakah kita layak dipercaya dan ditiru? Jangan kecewa kalau pada akhirnya, sosok yang menjadi influencer di diri siswa adalah Youtuber atau penulis-penulis lain, orang lain, bukan gurunya sendiri. 

Yang lebih ironis lagi adalah pada sikap dan tindakan. Saya rasa sebagai guru, kita sangat sering menasihati siswa untuk berbuat yang baik dan menjauhi yang buruk. Tapi pada kenyataannya, peribahasa yang berbunyi: hukum di Indonesia tumpul ke atas, runcing ke bawah, nasihat itu hanya berlaku buat siswa, bukan kepada gurunya. Ini bukti karakter yang buruk di mata siswa. Guru yang sejatinya ditiru malah memberikan contoh yang tidak layak ditiru. Misalnya nasihat, "Jangan merokok!". Eh, ternyata gurunya merokok sehabis pulang sekolah dan ketahuan oleh siswanya. Integritasnya tidak ada. Walk the talk-nya hanya isapan jempol. 

Tanpa kita sadari, karakter itu ada pada diri kita sebagai guru. Kita adalah cermin bagi siswa-siswi kita. Menariknya, guru yang influencer adalah sosok yang paling ditiru oleh siswanya. Ketika influence (pengaruh) itu mengena di hati siswa (tak hanya di pikiran), maka seumur hidup, mereka akan mengenangnya sebagai sebuah hal yang berdampak bagi hidup mereka. Memang terkesan tidak masuk akal dan berlebihan, tapi sesungguhnya, kita tidak tahu bahwa apa yang siswa pelajari dari karakter gurunya, sekecil apapun itu, akan membawa mereka pada level kehidupan yang berbeda. 

Intinya, mengajarkan karakter itu penting. Oleh karena itu, guru harus memiliki karakter. Tentunya karakter yang positif dan unik yang bisa dijadikan panutan bagi siswanya. Tanpa adanya pemahaman terhadap pentingnya mengajarkan karakter dan vitalnya memiliki karakter, niscaya guru akan menjadi guru yang influencer. Guru biasa hanya akan meninggalkan kesan biasa yang tak berbekas di hati siswanya. 

W.E. Dubois pernah mengatakan, "Children learn more from what you are than what you teach". Artinya, seringkali siswa akan belajar banyak dari apa yang kita perbuat ketimbang dari apa yang kita ajarkan. Hal ini tentu saja sangat masuk akal. Bisa kita ingat bahwa anak-anak TK seringkali sangat memercayai gurunya ketimbang orang tuanya. Mereka lebih menuruti perkataan gurunya daripada nasihat orang tuanya. Mengapa hal itu bisa terjadi? Siswa melihat karakter gurunya, mencontohkannya, dan menjadi teladan yang pas di proporsi logika anak-anak. 

Di sisi lain, ungkapan yang menyatakan, "Children close their ears to the advice, open their eyes to the example" mungkin ada benarnya. Ketika kita berhadapan dengan anak-anak yang sudah memiliki kerangka logika berpikir, nasihat saja tidak akan cukup meyakinkan mereka. Sebaliknya, pemberian contoh atau buktinya akan lebih efektif untuk mengubahkan hidup mereka. Kekuatan kata-kata tak begitu berarti jika dibandingkan dengan perbuatan. 

Oleh karena itu, karakter adalah bukti nyata dari setiap nasihat atau kata-kata yang telah diajarkan. Hal yang bisa kita nilai dan kita rasakan dampaknya adalah wujud dari karakter itu sendiri. Ketika seorang guru masih berkutat di area nasihat, bisa jadi para siswa hanya mendengar, tapi tidak menghidupinya. Bandingkan ketika nasihat itu juga dilakukan dan dihidupi oleh gurunya, maka dampaknya akan lebih kuat kepada siswa. Mungkin itulah yang sering dicontohkan oleh para guru-guru TK yang berkesan di hati siswanya. 

Nah, menanggapi status WA yang menyindir tindakan yang hanya memberikan contoh tadi, mungkin ada benarnya. Menjadi contoh itu sendiri adalah cara yang paling tepat untuk mengajar. Ketika guru memahami dan menghidupi apa yang ia ajarkan, barangkali teori tak akan tampak dominan. 

Kalau teori itu sudah diterapkan dan dipraktikkan, maka guru itu akan menjadi contoh itu sendiri. Itu lebih nyata bagi siswa ketimbang contoh-contoh lain. Kata kuncinya adalah "mengalami". Pengalaman adalah guru yang terbaik. Itu yang membedakan kita dengan siswa. Oleh sebab itu. Memiliki karakter berpengalaman dan berani menjadikan diri sebagai contohnya adalah salah satu cara efektif untuk menjadi guru yang influencer. 

Mungkin seperti yang saya sebutkan tadi, guru-guru TK mengajarkan anak-anaknya dengan metode contoh. Mereka berbuat dan menunjukkan caranya dengan nyata. Guru-guru Sains melakukan eksperimen di laboratorium, guru sosial bertindak dan berperilaku aktif di masyarakat, guru bahasa mempraktikkan dan menghasilkan karya-karyanya melalui tulisan, artikel, buku, karya sastra, dan guru olahraga menunjukkan caranya berolahraga yang benar dan dengan pola hidup sehat. Begitu seterusnya hingga guru percaya diri bahwa dirinya adalah contoh yang nyata yang tidak hanya mengajar teori, tetapi juga menjadi contoh dari teori itu. Apa yang diajarkan, itu yang diakukan. Walk the talk, perkataan dan perbuatan harus sama. Itulah guru yang influencer. Kata-kata hanya nasihat yang dibuktikan dalam karakter positif. Itu yang siswa inginkan terjadi dalam hidup mereka. Kalau guruku bisa, siswa pun bisa, bahkan lebih bisa. 

Tantangan Menjadi Contoh di Zaman Digital

Ketika kita bandingkan dengan konteks yang lebih luas, dunia pendidikan hanyalah dunia mini yang dirasakan oleh siswa. Pada kenyataannya, ketika mereka keluar dari sekolah, mereka akan dihadapkan pada persoalan yang lebih besar. Sebut saja misalnya dunia keluarga, pekerjaan, bisnis, persahabatan, perseteruan, dan lain-lain. Pentingnya memiliki karakter akan menjadi satu pilar penting saat mereka mengatasi persoalan hidup. 

Di era digital sekarang, memberikan contoh itu sangat mudah, semudah membalikkan telapak tangan. Saat guru atau orang tua mengajari anak-anaknya, banyak video atau tutorial yang tersedia di internet, di sosial media, atau di platform digital yang sudah sangat dekat dengan kehidupan anak zaman sekarang. Namun, mempraktikkan contoh itu sebagai bagian dari pengalaman guru atau orang tua, belum tentu bisa dirasakan anak. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan yang lebih holistik untuk memberikan pemahaman psikologis mengenai apa saja yang akan terjadi di sekitar mereka. Kedekatan psikologis ini akan membantu mereka untuk memahami secara objektif mengenai hal-hal yang akan terjadi di dunia. 

Fenomena digital dan jejak literasi digital adalah tantangan terbesar yang harus dipahami siswa. Kedekatan mereka dengan teknologi adalah ibarat mata pisau. Minimnya pendampingan guru dan orang tua akan dapat menyesatkan mereka. Sebaliknya, adanya pendampingan yang tepat akan membawa mereka ke pemahaman yang lebih kritis dan mental yang tangguh. 

Salah satu contohnya sebagai berikut. Gadget dan internet dapat menyuguhi mereka dengan informasi apa saja. Semua itu adalah contoh-contoh informasi yang bisa mereka akses. 

Contoh baik dan buruk tersedia dalam segala platform. Tinggal mengetik kata kunci di kolom pencarian, hal yang diinginkan pun ada. Tinggal follow akun sosial media tertentu, segala hal yang diposting akan bisa diakses. Tinggal berlangganan pada kanal atau platform tertentu, kita akan kebagian informasi. Intinya: apapun yang kita minati dan inginkan, akan disediakan tanpa kita minta. Segala hal dari bentuk teks, video, animasi, dan lain-lain bisa diakses dengan mudah. Kita tinggal menerima apakah akan menelannya mentah-mentah atau menganalisis dan mengevaluasinya dengan cermat. Kalau kemampuan literasi anak-anak telah diajari melalui contoh nyata dari guru dan orang tuanya, hal ini tentu bisa kita hindari. Akan tetapi, bila siswa tak mendapatkannya, itu yang berbahaya. 

Yang paling mengerikan adalah munculnya para hakim-hakim digital yang selalu aktif mencerca dan mencaci maki apapun yang di-posting di internet. Para netizen misalnya. Minimnya literasi dan pemahaman kontekstual di kasus yang terjadi selalu membuat suasananya menjadi gaduh. Sangat jelas bahwa tujuannya adalah untuk menghakimi, bukan mencari solusi. 

Belakangan, istilah ini dikenal dengan trolling yaitu tindakan melemparkan amarah dan emosi di media sosial lalu meninggalkannya begitu saja. Ini adalah karakter nyata yang makin gencar terjadi dan didahului oleh akun-akun caster yang selalu siap memperbarui postingan-postingan terbaru. Kalau karakter-karakter ini yang lebih menonjol, generasi kita akan berubah menjadi egois dan sadis. 

Dengan demikian, apapun bentuk peristiwa yang akan dijalani oleh siswa dan anak-anak, kunci terbesarnya ada pada karakter. Semua diawali dengan karakter. Apabila dilengkapi dengan iman, karakter ini akan membawa kebijaksanaan (wisdom), sebuah cara berpikir yang lebih matang dan rasional dengan menempatkan sisi kemanusiaan dan kebenaran sebagai tujuannya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun