Oleh karena itu, karakter adalah bukti nyata dari setiap nasihat atau kata-kata yang telah diajarkan. Hal yang bisa kita nilai dan kita rasakan dampaknya adalah wujud dari karakter itu sendiri. Ketika seorang guru masih berkutat di area nasihat, bisa jadi para siswa hanya mendengar, tapi tidak menghidupinya. Bandingkan ketika nasihat itu juga dilakukan dan dihidupi oleh gurunya, maka dampaknya akan lebih kuat kepada siswa. Mungkin itulah yang sering dicontohkan oleh para guru-guru TK yang berkesan di hati siswanya.Â
Nah, menanggapi status WA yang menyindir tindakan yang hanya memberikan contoh tadi, mungkin ada benarnya. Menjadi contoh itu sendiri adalah cara yang paling tepat untuk mengajar. Ketika guru memahami dan menghidupi apa yang ia ajarkan, barangkali teori tak akan tampak dominan.Â
Kalau teori itu sudah diterapkan dan dipraktikkan, maka guru itu akan menjadi contoh itu sendiri. Itu lebih nyata bagi siswa ketimbang contoh-contoh lain. Kata kuncinya adalah "mengalami". Pengalaman adalah guru yang terbaik. Itu yang membedakan kita dengan siswa. Oleh sebab itu. Memiliki karakter berpengalaman dan berani menjadikan diri sebagai contohnya adalah salah satu cara efektif untuk menjadi guru yang influencer.Â
Mungkin seperti yang saya sebutkan tadi, guru-guru TK mengajarkan anak-anaknya dengan metode contoh. Mereka berbuat dan menunjukkan caranya dengan nyata. Guru-guru Sains melakukan eksperimen di laboratorium, guru sosial bertindak dan berperilaku aktif di masyarakat, guru bahasa mempraktikkan dan menghasilkan karya-karyanya melalui tulisan, artikel, buku, karya sastra, dan guru olahraga menunjukkan caranya berolahraga yang benar dan dengan pola hidup sehat. Begitu seterusnya hingga guru percaya diri bahwa dirinya adalah contoh yang nyata yang tidak hanya mengajar teori, tetapi juga menjadi contoh dari teori itu. Apa yang diajarkan, itu yang diakukan. Walk the talk, perkataan dan perbuatan harus sama. Itulah guru yang influencer. Kata-kata hanya nasihat yang dibuktikan dalam karakter positif. Itu yang siswa inginkan terjadi dalam hidup mereka. Kalau guruku bisa, siswa pun bisa, bahkan lebih bisa.Â
Tantangan Menjadi Contoh di Zaman Digital
Ketika kita bandingkan dengan konteks yang lebih luas, dunia pendidikan hanyalah dunia mini yang dirasakan oleh siswa. Pada kenyataannya, ketika mereka keluar dari sekolah, mereka akan dihadapkan pada persoalan yang lebih besar. Sebut saja misalnya dunia keluarga, pekerjaan, bisnis, persahabatan, perseteruan, dan lain-lain. Pentingnya memiliki karakter akan menjadi satu pilar penting saat mereka mengatasi persoalan hidup.Â
Di era digital sekarang, memberikan contoh itu sangat mudah, semudah membalikkan telapak tangan. Saat guru atau orang tua mengajari anak-anaknya, banyak video atau tutorial yang tersedia di internet, di sosial media, atau di platform digital yang sudah sangat dekat dengan kehidupan anak zaman sekarang. Namun, mempraktikkan contoh itu sebagai bagian dari pengalaman guru atau orang tua, belum tentu bisa dirasakan anak. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan yang lebih holistik untuk memberikan pemahaman psikologis mengenai apa saja yang akan terjadi di sekitar mereka. Kedekatan psikologis ini akan membantu mereka untuk memahami secara objektif mengenai hal-hal yang akan terjadi di dunia.Â
Fenomena digital dan jejak literasi digital adalah tantangan terbesar yang harus dipahami siswa. Kedekatan mereka dengan teknologi adalah ibarat mata pisau. Minimnya pendampingan guru dan orang tua akan dapat menyesatkan mereka. Sebaliknya, adanya pendampingan yang tepat akan membawa mereka ke pemahaman yang lebih kritis dan mental yang tangguh.Â
Salah satu contohnya sebagai berikut. Gadget dan internet dapat menyuguhi mereka dengan informasi apa saja. Semua itu adalah contoh-contoh informasi yang bisa mereka akses.Â
Contoh baik dan buruk tersedia dalam segala platform. Tinggal mengetik kata kunci di kolom pencarian, hal yang diinginkan pun ada. Tinggal follow akun sosial media tertentu, segala hal yang diposting akan bisa diakses. Tinggal berlangganan pada kanal atau platform tertentu, kita akan kebagian informasi. Intinya: apapun yang kita minati dan inginkan, akan disediakan tanpa kita minta. Segala hal dari bentuk teks, video, animasi, dan lain-lain bisa diakses dengan mudah. Kita tinggal menerima apakah akan menelannya mentah-mentah atau menganalisis dan mengevaluasinya dengan cermat. Kalau kemampuan literasi anak-anak telah diajari melalui contoh nyata dari guru dan orang tuanya, hal ini tentu bisa kita hindari. Akan tetapi, bila siswa tak mendapatkannya, itu yang berbahaya.Â
Yang paling mengerikan adalah munculnya para hakim-hakim digital yang selalu aktif mencerca dan mencaci maki apapun yang di-posting di internet. Para netizen misalnya. Minimnya literasi dan pemahaman kontekstual di kasus yang terjadi selalu membuat suasananya menjadi gaduh. Sangat jelas bahwa tujuannya adalah untuk menghakimi, bukan mencari solusi.Â