"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)
Agaknya kutipan dari Pramoedya di atas memang terkesan idealis dan hiperbolais. Bagaimana tidak, penggunaan diksi dan frasa 'pandai setinggi langit', 'hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah', serta 'keabadian' seolah-olah melebih-lebihkan betapa menulis itu menjadi penting.Â
Pemberian makna pada kata 'menulis' pun menekankan sebuah interpretasi penting yang seolah-olah merepresentasikan eksistensi seseorang di dunia. Padahal logikanya, menulis bukanlah satu-satunya peninggalan sejarah semasa hidup.
Tapi ucapan itu ada benarnya, orisinalitas dan karya yang memang kita tuliskan sendiri akan terasa lebih dihargai dan bermakna apabila kita mampu meninggalkan jejak pemikiran yang bisa bermanfaat bagi orang lain.Â
Kalau pun tidak ditulis sendiri, orang lain pun berhak menulis jejak-jejak hidup kita untuk dikenang orang lain asal kita memiliki pengaruh sebagai publik figur, seperti dimuat dalam berita dan lain-lain. Namun, esensinya mungkin akan terasa sedikit berbeda.Â
Penghargaan kepada orang yang bisa menulis adalah penghargaan intelektual mutlak karena hasilnya akan dikenang dalam keabadian, apalagi ketika diapresiasi dan diingat oleh pembacanya, seperti yang telah dilakukan oleh Pramoedya.
Memang tak bisa kita pungkiri, ucapan Pramoedya itu bukan tanpa latar belakang, tanpa filosofi, tanpa sejarah, dan tanpa cerita.Â
Siapa yang tidak mengenal Pramoedya Ananta Toer? Maestro pengarang di Indonesia ini telah mencatatkan sejarah sebagai salah satu penulis dari Indonesia yang pernah dinominasikan untuk mendapatkan penghargaan nobel. Bahkan salah satu pengarang yang mengalami penderitaan hampir seumur hidupnya karena dipenjara oleh rezim Orde Baru.Â
Kalau bukan karena kualitas dan pengabdiannya pada dunia sastra dan budaya kepenulisan di Indonesia, tidak akan mungkin ia dikenang sebagai penulis besar di masanya.Â
Ucapan-ucapannya itu bukan sekadar retorika yang dipakai untuk keindahan diksi dan makna saja, tetapi makna di balik ucapannya itu menjadi cambuk motivasi untuk menginspirasi pembaca dan penikmat buku-bukunya.Â