Pemimpin dunia adalah pemimpin politik seperti Presiden, Gubernur, Walikota, Bupati, Camat, Lurah, RT, RW maupun jabatan tingkat yang lebih bawah merupakan hasil produk Undang-Undang yang dibuat oleh lembaga-lembaga negara yang punya kepentingan untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai bagian kewajiban dan tanggung jawab setiap warga negara.
Siapapun boleh menjadi pemimpin dunia, tidak dilihat dari seiman atau tidak seiman, termasuk soal gender perempuan, asalkan bisa memenuhi syarat dan berkompeten seperti pencalonan Sylviana Murni sebagai calon wakil Gubernur DKI Jakarta.
Pemimpin dunia bergerak berlandaskan kostitusi yang berdasarkan Undang-Undang, apabila ada keteladanan atau hal-hal baik dipetik dari nilai-nilai agama tersebut untuk diadopsi dalam sebuah konstitusi adalah sesuatu yang baik selama tidak bertentangan dengan norma-norma masyarakat, namun bukan berarti pemimpin dunia satu kesatuan didalam pemimpin agama.
Sesungguhnya yang mana “Awliyaa-a” dalam kepemimpinan yang dimaksud? Apakah masuk kategori pemimpin agama atau pemimpin dunia?
Secara garis besar babul nuzur Awliyaa-amasuk dalam keyakinan dan persoalan atau kepemimpinan agama dimana dikisahkan pada zaman tersebut terjadi suasana yang tidak kondusif antar golongan sehingga jangan sampai terjadi hubungan kedekatan “Awliyaa-a” dengan golongan tertentu yang bisa mengancam kerusakkan terhadap agama tertentu.
Contoh yang mudah dilihat adalah banyaknya Ormas islam besar seperti NU dan Muhammadiyah atau Ormas agama lain.
Apakah mungkin persoalan agama yang berkaitan dengan kepemimpinan suatu Ormas seperti NU kemudian memilih “Awliyaa-a” pemimpinnya diambil dari Muhammadiyah? Tidak mungkin, kecuali berkaitan dengan urusan duniawi misalkan memilih ketua RT atau RW.
Artinya, Ada sekat pemimpin dunia dengan pemimpin Agama yang memiliki fungsi masing-masing sehingga tidak bisa dicampur adukkan.antara pedoman agama dengan UU konstitusi.
Berkaitan dengan Pilkada 2017 untuk mencari pemimpin dunia seperti Gubernur, Walikota dan Bupati , Awliyaa-a tidak bisa ditarik kedalam persoalan pemimpin agama apakah dianggap seiman atau tidak seiman.
Namun apa yang terjadi, Agama dijadikan alat untuk kepentingan politik tertentu dengan dalih “Pilih pemimpin seiman” atau“Haram pemimpin kafir”.