Mungkin untuk pertama kali Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui ketua umumnya Ma'ruf Amin harus sibuk ikut terlibat secara langsung dalam proses persidangan kasus Basuki Tjahaja Purnama(Ahok) soal penistaan agama.
Tentu kehadiran MUI di sidang Ahok telah menggerus wibawa MUI itu sendiri yang semestinya tidak perlu terjadi.
Banyak kasus serupa yang tidak perlu melibatkan MUI, namun dikasus Ahok seolah-olah MUI ingin meyakinkan publik bahwa Ahok memang benar-benar bersalah dimata hukum duniawi.
Ada apa dengan MUI dikasus Ahok? Apakah karena efek politik?
Pernyataan Ma'ruf Amin sebagai saksi di sidang kasus Ahok :
“Keputusan Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI atas ucapan Al-Maidah ayat 51 oleh Gubernur non-aktif Basuki Tjahaja Purnama lebih tinggi dari fatwa”
“Ini lebih tinggi, alasannya karena dibahas di 4 komisi dan kemudian juga dibahas melalui pengurus harian”
Pertanyaannya, seperti apa fungsi MUI selama ini? Bukankah selama ini MUI identik dengan Fatwa? Selama ini masyarakat awam menilai bahwa keputusan tertinggi yang dikeluarkan MUI selalu identik dengan “Fatwa”.
Tidak sedikit Fatwa MUI banyak memakan korban seperti fatwa haram seperti kasus memakai atribut keagamaan, fatwa sesat terhadap beberapa kasus Ormas keagamaan hingga berujung pembekuan, intimidasi dan kekerasan dan lain sebagainya.
Jika kasus Ahok diambil dari “Keputusan Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI”dianggap “lebih tinggi dari Fatwa”,maka artinya kasus Ahok dianggap berbahaya dan berdampak luar biasa daripada kasus-kasus lain yang bersinggungan dengan fatwa MUI seperti fatwa haram maupun fatwa sesat.
Namun kenyataannya, jika dibandingkan fatwa-fatwa MUI sebelumnya apakah kasus Ahok memang faktanya berbahaya dan berdampak?
Faktanya, tidak ada pengaruh apapun bagi mayoritas muslim Indonesia kecuali hanya sebagian kelompok tertentu yang merasakan ketersinggungan pidato Ahok.
Jadi, Apakah karena tekanan kelompok tertentu kemudian MUI harus mengeluarkan keputusan pendapat dan sikap keagamaan dianggap lebih tinggi daripada “Fatwa”?
Ada ketimpangan dan rasa ketidak adilan dari isi Keputusan Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI terutama soal vonis “Penghinaan Ulama”.
“Berdasarkan hal di atas, maka pernyataan Basuki Tjahaja Purnama dikategorikan : (1) menghina Al-Quran dan atau (2) menghina ulama yang memiliki konsekuensi hukum”
Dalam pidato Ahok tidak ada satu kata menyebut “Ulama”, adapun soal surat Al-Maidah 51 hanya sebatas menyinggung sebagian orang dan politisi yang memanfaatkan agama untuk kepentingan politik setiap ada hajatan Pilkada sehingga apa dasar MUI menyatakan Ahok telah “Menghina Ulama”.
Sementara dilain sisi ada seseorang yang mengaku imam besar dengan terang-terangan menghina ulama bahkan kata “Ulama” dilontarkan berulangkali, tidak ada sedikitpun reaksi dari MUI.
Kemudian, Kesaksiannya soal menyinggung ulama :
"Sementara kesimpulan bahwa Ahok telah menghina ulama adalah karena yang menyebarkan ayat tersebut ke masyarakat adalah ulama. Sehingga kalimat Basuki yang mengatakan 'dibohongi' itu mengacu pada para ulama.
"Sedangkan yang sampaikan ayat itu adalah ulama, berarti yang melakukan kebohongan adalah ulama. Maka kesimpulan penghinaan terhadap Al Quran dan agama," ungkap Ma'ruf"
Pertanyaannya, Apakah hanya ulama saja yang boleh menyinggung atau menyampaikan ayat tersebut? Contoh, Apakah seorang mualaf belajar agama islam tidak boleh menyampaikan ayat Al-quran jika merujuk pernyataan ketua MUI? kesaksian yang luar biasa tidak masuk akal dan penuh asumsi dan opini dari seorang ketua MUI.
Disini letak ketimpangan dan ketidak adilan yang dilakukan MUI dengan memberi “Keputusan Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI”terhadap kasus Ahok “lebih tinggi dari fatwa”.
Ketimpangannya adalah pidato Ahok tidak menyinggung kata “Ulama” namun divonis “Menghina Ulama”.
Sedangkan, Ketidak adilannya adalah seseorang yang mengaku imam besar menyinggung dan menghina ulama dianggap pendusta dan dajjal namun tidak divonis “Menghina Ulama”, justru MUI sendiri menunjuknya sebagai saksi ahli di kasus Ahok.
Ada ketergantungan MUI terhadap sosok imam besar tersebut seperti contoh mendelegasikan sebagai Khotib solat jumat di aksi 212 lalu. Luar biasa!
Akhirnya publik menyadari bahwa “fatwa-fatwa” yang dikeluarkan MUI untuk menyikapi beberapa kasus selama ini dianggap kasus kecil dibandingkan kasus Ahok yang harus melibatkan semua komponen pengurus “4 Komisi” untuk mengambil keputusan.
Satu Keputusan Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI untuk pertama kali atas kasus Ahok cukup “Menggrogoti” fatwa-fatwa MUI terdahulu.
Apakah ini adalah efek dari akibat kerja politik?
Semestinya MUI tidak perlu keluarkan surat Keputusan Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI, toh juga kasus Ahok dilaporkan banyak pihak.
Mungkinkah ada order Keputusan Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI oleh pihak tertentu?
Kehadiran ketua MUI di sidang kasus Ahok memancing Belsakti berbunyi kencang, bagaimana balada maut MUI memanfaatkan fungsinya selama ini perlahan mulai tersingkap.
Salam Wiro Sableng…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H