Ketimpangannya adalah pidato Ahok tidak menyinggung kata “Ulama” namun divonis “Menghina Ulama”.
Sedangkan, Ketidak adilannya adalah seseorang yang mengaku imam besar menyinggung dan menghina ulama dianggap pendusta dan dajjal namun tidak divonis “Menghina Ulama”, justru MUI sendiri menunjuknya sebagai saksi ahli di kasus Ahok.
Ada ketergantungan MUI terhadap sosok imam besar tersebut seperti contoh mendelegasikan sebagai Khotib solat jumat di aksi 212 lalu. Luar biasa!
Akhirnya publik menyadari bahwa “fatwa-fatwa” yang dikeluarkan MUI untuk menyikapi beberapa kasus selama ini dianggap kasus kecil dibandingkan kasus Ahok yang harus melibatkan semua komponen pengurus “4 Komisi” untuk mengambil keputusan.
Satu Keputusan Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI untuk pertama kali atas kasus Ahok cukup “Menggrogoti” fatwa-fatwa MUI terdahulu.
Apakah ini adalah efek dari akibat kerja politik?
Semestinya MUI tidak perlu keluarkan surat Keputusan Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI, toh juga kasus Ahok dilaporkan banyak pihak.
Mungkinkah ada order Keputusan Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI oleh pihak tertentu?
Kehadiran ketua MUI di sidang kasus Ahok memancing Belsakti berbunyi kencang, bagaimana balada maut MUI memanfaatkan fungsinya selama ini perlahan mulai tersingkap.
Salam Wiro Sableng…