Mohon tunggu...
Belarminus Budiarto
Belarminus Budiarto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

MAHASISWA

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Allah adalah Kebenaran dan Kebahagiaan Sejati

29 April 2021   18:15 Diperbarui: 29 April 2021   18:22 1015
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

4. Apa dan Siapakah Kebenaran Itu

Kebenaran bukan datang dari manusia melainkan dari Allah Sang Kebenaran itu. Kebenaran adalah itu yang dalam realitas mampu menghadirkan segala sesuatu, dan memberi hidup kepada apa yang telah dihadirkan-Nya. Itulah kebenaran sejati. Dapatkah manusia dikatakan sebagai kebenaran? Atau dapatkah seseorang mengklaim dirinya sebagai orang yang benar? 

Tidaklah berarti dan bermakna jikalau manusia dalam hidupnya menganggap diri sebagai orang yang benar dari yang benar tanpa melihat dan menyadari bahwa ada Kebenaran yang lebih luhur dari segala kebenaran. Itu adalah hal yang mustahil. Hanya orang-orang yang kurang beriman dan belum berelasi seara mendalam dengan Allahlah yang tidak dapat memahami Allah sebagai kebenaran sejati. Memang benarlah ketika manusia dalam hidupnya menilai sesamanya sebagai orang yang benar karena cara hidupnya yang baik, misalnya, saling menolong, menghormati satu sama lain. 

Akan tetapi satu hal yang pasti bahwa kebenaran atau kebaikan semacam itu bersifat duniawi. Artinya, tidak dapat dikatakan bahwa kebenaran dan kebaikan manusia tidak setara dengan kebenaran dan kebaikan Allah. Kebenaran atau kebaikan manusia berasal dari Allah sebagai Sang Kebenaran. Sebab segala yang ada dalam diri manusia bersumber pada Allah. Manusia perlu memahami Allah secara mendalam sebagai Pribadi yang benar dari segala kebenaran yang ada

4.1. Allah adalah Kebenaran Tertinggi

Allah merupakan Pribadi  yang mengenal atau mengetahui segala sesuatu. Allah adalah "Ada" yang intelligent (Inteligent Being). Artinya, Dia merupakan Subjek  dalam arti bahwa Dia mengetahui segala sesuatu dalam dunia.  Adakah manusia di bumi ini yang mengetahui segala sesuatu melebihi Allah? Siapakah dapat mengerti kehendak Allah? Pertanyaan semacam ini bertolak dari kehidupan keseharian manusia tatkala manusia menerima dan menyaksikan kuasa Allah yang dahsyat dalam perziarahannya.  Tidak ada satupun manusia di dunia ini yang melampaui kuasa Allah. Manusia tidak setara dengan Allah. Mausia hanyalah mahluk hidup yang diciptakan secitra dengan Allah, tetapi bukan setara. Allah adalah Pribadi yang maha-kuasa, Sang Pencipta, sementara manusia adalah ciptaan-Nya. Di sini manusia dapat memahami bahwa Ada realitas tertinggi yang menjadi Subjek adanya realitas yakni, Allah. Apa yang mendorong dan mendasari manusia manusia memahami hal ini? Jawabannya itu didasarkan pada iman dan akal budi manusia itu sendiri, (fides et ratio). Manusia tidak hanya merindukan kebenaran dengan akal budi tetapi kebenaran yang merujuk pada Allah sebagai Kebenaran itu.

Salah satu ciri Transendental Allah sebagai Ada (Being) adalah Kebenaran itu sendiri. Sebagai Kebenaran, Ia merupakan  Obyek yang dicari dan ingin diketahui oleh intelek. Dia adalah tujuan tertinggi dari semua ciptaan Khususnya manusia karena pada hakikatnya Dia adalah Kebenaran Prima, Kebenaran di atas segalanya. Dari pernyataan ini manusia diantar untuk mengenal, memahami secara sungguh-sungguh bahwa Allah adalah kebenaran, tidak ada kebenaran yang luhur di luar Diri-Nya. Allah adalah Jalan, Kebenaran dan hidup manusia. Bagaimana manusia bisa sampai pada suatu kebenaran sejati jikalau Allah tidak dianggap sebagai petunjuk menuju ke sana? Manusia sebenarnya harus menyadari bahwa Allah sudah mempersiapakan jalan itu dan jalan itu adalah Ia sendiri. Selain diarahkan untuk menemukan kebenaran ternyata ada suatu yang lebih luhur lagi daripada itu yakni kehidupan. Kebenaran menuntun manusia pada kehidupan yang sejati yakni hidup kekal, abadi dan bahagia bersama Allah. Kebenaran itu memesona. Dalam perziarahannya menggapai kebenaran, manusia menjadi saksi yang sungguh memesona. Sebab, ia menghidupi pesona itu.[2] Dapat diartikan di sini bahwa manusia yang sudah mengenal apa dan siapa kebenaran yang sesungguhnya merenung dan menjalani kehidupannya berdasarkan petunjuk Sang Kebenaran tadi, yaitu Allah.

5. Apa Itu kebahagiaan

5.1. Arti Kebahagiaan dalam Realitas

Kebahagiaan  dapat dimengerti sebagai pemuasan keinginan manusia untuk memiliki kebaikannya yang benar dan tepat secara nyata. Kebahagiaan dapat diartikan sebagai suatu kepuasan subyektif, perasaan puas yang dialami seorang individu, di mana keinginan tidak lagi dicari. Ketika manusia dalam hidupnya merasa puas karena apa yang diinginkan, diharapkan, dirindukan dapat terpenuhi, itulah kebahagiaan baginya. Dalam hal ini kebahagiaan bagi saya adalah apa yang diharapkan sesuai dengan kenyataan, misalnya dalam konteks perkuliahan. Ketika saya belajar secara sungguh-sungguh, mendengarkan penjelasan dosen dengan penuh konsentrasi, maka harapan saya setelah mengerjakan ujian adalah mendapatan hasil atau nilai yang baik, memuaskan. Alangkah lebih bahagia lagi ketika seseorang dalam proses perkuliahannya memiliki keseimbangan antara hidup doa dan studi. Artinya ketika seseorang mendapatkan nilai yang bagus dalam ujian dan ia menyadari bahwa apa yang dialaminya bukan karena kemampuan intelektualnya semata tetapi merupakan anugerah yang diterimnya dari Allah sebagai sumber kebahagiaan itu, maka inilah yang dinamakan dengan kebahagiaan yang saya maksud, kebahagiaan yang datang dari Allah.

Kebahagiaan dan penderitaan selalu mewarnai kehidupan manusia. Manusia tidak bisa menghindari kedua situasi ini dalam hidupnya. Bahagia dan celaka tergantung pada diri manusia sendiri yang merasakan hal itu. Bahagia atau celaka hanya sebatas soal keinginan atau kehendak manusia, apakah ia mau atau tidak, suka atau tidak menghadapi situasi semacam itu. Ketika manusia mau menghadapi situasi hidup apapun bentuknya baik itu menyenangkan dan sebaliknya maka ia akan merasakan dan menemukan kebahagiaan itu. Artinya bahagia itu berarti, pasrah yang mengacu pada keikhlasan hati manusia untuk menghadapi persoalan hidup. Ia tidak lari dari kenyataan tetapi berusaha dan mau menerima kenyataan itu dalam realitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun