Mohon tunggu...
Belarminus Budiarto
Belarminus Budiarto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

MAHASISWA

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konsep Kebahagiaan Menurut Buddha Dhamma

17 April 2021   12:05 Diperbarui: 17 April 2021   12:46 7029
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengantar

Siapakah yang dalam realitasnya tidak pernah menginginkan, merindukan apa yang disebut dengan kebahagiaan? Bahagia, demikian kata ini menjadi tujuan setiap perziarahan manusia. Sebab tidak ada satupun manusia yang tidak merindukan kebahagiaan. Pada dasarnya manusia merupakan mahluk yang merindukan kebahagiaan. Kebahagiaan dalam hidup manusia ada berbagai bentuk. Ada yang bersifat semu dan ada yang bersifat abadi. Manusia dapat mencapai suatu kebahagiaan itu melalui berbagai cara, baik yang bersifat ekstern maupun yang bersifat intern. Perjuangan adalah salah satu bentuk yang digunakan manusia untuk mewujudkan kebahagiaan itu. Dalam tulisan ini saya akan menguraikan " Konsep Kebahagiaan menurut Buddha Dhamma dalam ajaran Budhisme".

1. Arti Kebahagiaan dalam Realitas

Kebahagiaan dipandang sebagai tujuan hidup manusia. Pernyataan ini mau menjelaskan bahwa Allah adalah tujuan akhir dari perziarahan manusia. Di dalam Allah manusia menemukan kebahagiaan yang utuh, sempurna, kekal-abadi yang tidak akan musnah dihempas waktu.

Adapun kebahagiaan yang sempurna adalah Vita contemplative, hidup yang sarat dengan permenungana dan pemusatan pikiran, suatu situasi yang membuat manusia serupa dengan yang ilahi, mengkontemplasikan kebenaran sebagaimana Allah mengkontemplasikannya. Karena kebaikan dan kebahagiaan tertinggi bagi manusia adalah mengkontemplasikan Allah sendiri sebagai rasionalitas suprema. Manusia yang dalam hidupnya mengutamakan Sang Pencipta di atas segalanya merupakan proyeksi bahwa hidupnya benar-benar hanya untuk Allah, Sang Khalik. Manusia menyadari bahwa asal dan tujuan hidupnya adalah Allah dan ia memandang Allah sebagai yang nomor satu dalam kehidupannya. Ia menemukan kebahagiaan yang sejati di dalam Allah. 

Orang-orang yang hidup seperti ini adalah mereka yang menjalani hidup kontemplatif, askese (mati raga), suka bermeditasi. Mereka menemukan Allah dalam keheningan, dan dengan keheningan inilah mereka mendapat  kebahagiaan sejati. Kebahagiaan yang lebih luas dan mendalam adalah ketika manusia mampu berelasi dengan Tuhan dan sesamanya. Kebahagiaan yang diartikan di sini adalah kebahagiaan kekal bersama Allah. Namun dalam proses perziarahannya, manusia salah mengartikan kebahagiaan. 

Orang yang status ekonominya tinggi cendrung mengatakan aku sudah bahagia karena aku memiliki mobil yang banyak, ratusan perusahaan, hidupku berlangsung baik, dan lain sebagainya. Namun, orang yang sederhana namun memiliki iman yang besar kepada Allah akan mengatakan aku sudah bahagia karena Allah selalu menyertai dan mencukupi kebutuhanku sehingga hari ini aku bisa makan. Inilah perbedaan yang mendasar mengenai kebahagiaan antara orang yang lemah dan yang kuat, orang miskin dan orang kaya. Bahagia yang sejati hanya terdapat di dalam Allah, sebab Dialah yang memenuhi segala kebutuhan hidup manusia.

2. Kebahagiaan dalam Ajaran Buddha menurut Budhha Dhamma

Kondisi bahagia selalu ada dalam situasi apa pun dan inilah yang senantiasa dikejar oleh manusia pada umumnya. Manusia ingin hidup bahagia, tenang, tenteram, damai dan sejahtera. Sebagian orang mengejar kebahagiaan dengan bekerja keras untuk menghimpun harta. Dia menyangka bahwa pada harta yang berlimpah itu terdapat kebahagiaan. Ada yang mengejar kebahagiaan pada tahta dan kekuasaaan. Beragam cara dilakukannya untuk merebut kekuasaaan sebab menurutnya kekuasaan identik dengan kebahagiaan dan kenikmatan dalam kehidupan. Dengan kekuasaan seseorang dapat berbuah banyak. 

Sebaliknya, orang sakit memandang kebahagiaan dengan cara yang berbeda. Baginya, kebahagiaan adalah ketika ia bebas dari sakit atau dengan kata lain ketika ia sehat. Orang miskin menyangka, kebahagiaan terletak pada harta kekayaan. Rakyat jelata menyangka bahwa kebahagiaan itu terletak pada kekuasaan. Lantas, apakah kebahagiaan yang sesungguhnya?

Agama Buddha mengatakan bahwa "Kesejahteraan dan Kebahagiaan" itu bukan merujuk pada sifat badani dan jasmani setiap orang. Kesejahteraan dan kebahagiaan itu merujuk pada keyakinan dari dalam diri akan hakekat terakhir yang mutlak yang dikejar, yakni, keyakinan dan penuaian hasil kebajikan yang dikerjakan oleh diri setiap orang berdasarkan keyakinannya. 

Jadi, kebahagiaan merupakan kondisi hati yang dipenuhi dengan keyakinan yang kuat (Saddhabala) dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu. Mereka akan bahagia ketika hidup dengan keyakinan dan menjalankan keyakinan itu. Kebahagiaan semacam inilah yang selalu dicari, dikejar oleh setiap orang. Manusia dapat mencapai kebahagiaan dengan berbagai cara tergantung situasi dan kondisinya dalam realitas. Kebahagiaan setiap orang tidak pernah terlepas dari apa yang disebut dengan pengalaman. 

Melalui pengalaman manusia mengenal apa itu kebahagiaan dalam kehidupannya. Berdasarkan realitas kebahagiaan manusia juga tidak pernah terlepas dari penderitaan. Artinya, Kebahagiaan dan penderitaan adalah dua hal yang bergandengan dalam hidup manusia. Kebahagiaan manusia terletak pada pengalaman.

 3. Macam-macam Kebahagiaan menurut Buddha Dhamma

 3.1. Kebahagiaan Duniawi          

Kebahagiaan duniawi untuk kehidupan berumah tangga dapat dicapai dengan keuletan, rajin dan semangat juang yang tinggi (Utthana Sampada). Dengan itu, yang bersangkutan akan mendapatkan kebahagiaan (berupa harta kekayaan). Setelah berhasil mendapatkan kebahagiaan itu sepatutnya mereka berusaha menjaga dan merawatnya (Arakkha Sampada). Harta kekayaan dapat hilang dan lenyap oleh api (kebakaran), air (banjir, tsunami), gempa dan sebagainya. Walaupun pada dasarnya harta benda itu besifat fana, namun sepatutnya kita tetap menjaga dan merawatnya. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam merawat harta benda menurut Buddha Dhamma yakni, sebagai berikut:

Pertama, Kalyanamitta (sahabat baik). Berteman dengan orang baik akan memberi dampak yang baik pula bagi kita dari sikapnya yang baik itu. Kita akan terbiasa ikut melakukan hal yang baik yang dilakukan oleh teman kita. Sedangkan berbeda kalau kita berteman dengan orang yang tidak baik, misalnya, dengan orang yang tidak mandiri, royal, boros. Akibatnya, kita cenderung ikut boros, berfoya-foya dan membawa dampak negative bahwa harta kekayaan yang sudah susah payah kita dapatkan akan habis percuma. Ada pula jenis teman yang hanya mengincar harta kekayaan yang telah kita dapatkan. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati dalam berteman. Kita harus berteman dengan orang baik bukan sebaliknya. Teman atau sahabat yang baik akan menjadi partner dalam berelasi karena akan membantu setiap orang dalam persoalan.

Kedua, harus ada keseimbangan dalam hidup (Samma Jivitaka). Tidak boros juga tidak kikir. Terlalu boros hanya akan menghabiskan apa yang telah kita dapatkan dalam hidup. Sikap boros dan kikir akan membawa kita pada kehancuran sehingga kita kehilangan kebahagiaan. Kehancuran akan menjadi hambatan bagi setiap orang dalam mencari dan mewujudkan kebahagiaan. Ketika orang menderita dan hancur sangatlah sulit baginya untuk menemukan kebahagiaan dalam hidupnya. Ketika manusia dalam hidupnya merasa puas karena apa yang diinginkan, diharapkan, dirindukan dapat terpenuhi, itulah kebahagiaan baginya.

Dalam hal ini kebahagiaan bagi saya adalah apa yang diharapkan sesuai dengan kenyataan, misalnya dalam konteks perkuliahan. Ketika saya belajar secara sungguh-sungguh, mendengarkan penjelasan dosen dengan penuh konsentrasi, maka harapan saya setelah mengerjakan ujian adalah mendapatan hasil atau nilai yang baik, memuaskan. Alangkah lebih bahagia lagi ketika seseorang dalam proses perkuliahannya memiliki keseimbangan antara hidup doa dan studi. Artinya ketika seseorang mendapatkan nilai yang bagus dalam ujian dan ia menyadari bahwa apa yang dialaminya bukan karena kemampuan intelektualnya semata tetapi merupakan anugerah yang diterimnya dari Allah sebagai sumber kebahagiaan itu, maka inilah yang dinamakan dengan kebahagiaan yang saya maksud, kebahagiaan yang datang dari Allah.

 3.2. Kebahagiaan Surgawi

Kebahagiaan surgawi dapat dicapai dengan empat hal:

Saddha. Dengan saddha atau keyakinan maka kita akan mudah melakukan setiap ajaran Buddha. Kita tidak akan ragu dengan apa yang disampaikan oleh Buddha Gotama dengan ajaran dhamma yang ada. Dengan tidak ragu, maka secara otomatis akan mudah bagi kita untuk melaksanakan dhamma. Dengan melaksanakan dhamma itu maka kebahagiaan surgawi akan tercapai. Moralitas. Dengan moralitas maka kebahagiaan surgawi juga dapat tercapai. Moralitas adalah bagian dari dhamma. 

Menjalankan sila berarti juga menjalankan dhamma yang dapat menghasilkan kebahagiaan. Dana. Dengan berdana kebahagiaan surgawi juga dapat tercapai. Contohnya, banyak orang yang mencapai kebahagiaan dengan berdana seperti seorang puteri yang rajin berdana pada zaman Buddha Gotama, sehingga pada saat meninggal dunia ia terlahir di dalam surga. Panna. Dengan kebijaksanaan maka kita dapat membedakan apa yang baik dan buruk sehingga kita akan terus melakukan hal yang baik yang berdampak pada kebahagiaan hidup. Dalam hal ini empat pilar ini menjadi dasar, jalan untuk mencapai kebahagiaan surgawi. Jikalau keempat pilar ini dipraktekkan dengan baik dalam realitas maka kebahagiaan yang kita dambakan, kita rindukan akan terwujud.

 3.3. Kebahagiaan Paramatha (Nibanna)

Kebahagiaan yang terakhir menurut Buddha Dhamma adalah Paramatha. Kebahagiaan Nibanna merupakan kebahagiaan yang sejati. Ini adalah kebahagiaan yang paling tinggi: Nibbanam Paramam Sukham. Kebahagiaan  ini dapat dicapai dengan terus menyucikan pikiran baik melalui meditasi, berdana atau pun perbuatan baik lainnya. 

 Kesimpulan

Kebahagiaan dalam ajaran Budhisme terlebih khusus dalam pandangan Buddha Dhamma adalah kebahagiaan yang selalu ada dalam kondisi, situasi apapun dalam realitas. Kebahagiaan dalam ajaran ini dipandang secara berbeda oleh setiap orang berdasrkan situasi yang mereka alami dalam hidup. Kebahagian semacam ini dapat diartikan sebagai kebahagiaan berdasarkan pengalaman hidup. Kebahagiaan dalam ajaran ini juga mengandung unsur-unsur tersendiri. Ada tiga macam kebahagiaan yang diuraikan oleh Buddha Dhamma dalam tulisan ini yang menjadi poin penting untuk diperhatikan dan dipraktekkan dalam hidup terlebih khusus bagi orang Buddha itu sendiri, yakni, Kebahagiaan duniawi, surgawi, dan nibbana itu sendiri. Tiga kebahagiaan ini saling berhubungan, berkaitan erat satu dengan yang lainnya. Kebahagiaan duniawi merupakan awal, dasar, jalan untuk mengenal kebahagian surgawi dan nibbana. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun