Mohon tunggu...
Achmat Heri Dwijuwono
Achmat Heri Dwijuwono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Tinggal di Gunungkidul, Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Puisi dan Politik: Ketika Felix Siauw (Mengaku) Terinspirasi Puisi Gus Mus

16 Maret 2019   19:24 Diperbarui: 17 Maret 2019   15:31 1619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Puisi dan politik sulit dipisahkan. Sebagian orang mungkin bahkan terpaksa harus menepuk jidat. Kesulitan memastikan apakah keduanya sesungguhnya dua wajah dari satu makhluk yang sama ataukah dua makhluk berbeda yang sesekali berjabat tangan saja. 

Pada tahun 1987 Gus Mus (KH. Ahmad Mustofa Bisri) menulis sebuah puisi berjudul "Kau Ini Bagaimana atawa Aku Harus Bagaimana". Kemungkinan Gus Mus tidak pernah membayangkan bahwa goresan penanya itu akan berbuntut panjang. Apalagi jika buntut itu mengibas kanan-kiri dan bahkan menampar wajah penulis puisi yang dibuntutinya itu. Puluhan tahun kemudian.

Hari ini, lebih dari 30 tahun kemudian terhitung sejak saat puisi itu ditulis, ada banyak sekali situs web yang menayangkan puisi tersebut. Namun, harap jangan kaget, jika menemukan banyak ketidakcermatan penulisan. Walhasil, membandingkan versi tertulis di sejumlah situs itu tentu akan melahirkan sebuah kemusykilan. Sulit memastikan versi tulis mana yang  akurat. Harap maklum, inilah realita mutu kinerja sejumlah penulis blog Indonesia, yang dikarenakan berbagai faktor tidak pernah berkesempatan atau merasa berkeperluan mendalami ilmu kewartawanan dan menetapi kode etik sebagai pewarta.

Sejumlah youtuber telah membantu kita mengatasi masalah akurasi ini dengan mengunggah versi lisan puisi tersebut yang diambil dari rekam suara Gus Mus sendiri. Umumnya video-video yang mereka unggah juga sudah disertai subtitle. Bagi yang belum pernah mendengar silakan mencermati video berikut. Versi tertulis dicantumkan di bawah video tersebut.


Kau Ini Bagaimana atawa Aku Harus Bagaimana 
Oleh: KH. Ahmad Mustofa Bisri

Kau ini bagaimana?
Kau bilang aku merdeka, kau memilihkan untukku segalanya
Kau suruh aku berpikir, aku berpikir kau tuduh aku kapir

Aku harus bagaimana?
Kau bilang bergeraklah, aku bergerak kau curigai
Kau bilang jangan banyak tingkah, aku diam saja kau waspadai

Kau ini bagaimana?
Kau suruh aku memegang prinsip, aku memegang prinsip kau tuduh aku kaku
Kau suruh aku toleran, aku toleran kau bilang aku plin-plan

Aku harus bagaimana?
Aku kau suruh maju, aku mau maju kau selimpung kakiku
Kau suruh aku bekerja, aku bekerja kau ganggu aku

Kau ini bagaimana?
Kau suruh aku taqwa, khotbah keagamaanmu membuatku sakit jiwa
Kau suruh aku mengikutimu, langkahmu tak jelas arahnya

Aku harus bagaimana?
Aku kau suruh menghormati hukum, kebijaksanaanmu menyepelekannya
Aku kau suruh berdisiplin, kau menyontohkan yang lain

Kau ini bagaimana?
Kau bilang Tuhan sangat dekat, kau sendiri memanggil-manggilNya dengan pengeras suara setiap saat
Kau bilang kau suka damai, kau ajak aku setiap hari bertikai

Aku harus bagaimana?
Aku kau suruh membangun, aku membangun kau merusakkannya
Aku kau suruh menabung, aku menabung kau menghabiskannya

Kau ini bagaimana?
Kau suruh aku menggarap sawah, sawahku kau tanami rumah-rumah
Kau bilang aku harus punya rumah, aku punya rumah kau meratakannya dengan tanah

Aku harus bagaimana?
Aku kau larang berjudi, permainan spekulasimu menjadi-jadi
Aku kau suruh bertanggung jawab, kau sendiri terus berucap Wallahu A'lam Bisshowab

Kau ini bagaimana?
Kau suruh aku jujur, aku jujur kau tipu aku
Kau suruh aku sabar, aku sabar kau injak tengkukku

Aku harus bagaimana?
Aku kau suruh memilihmu sebagai wakilku, sudah ku pilih kau bertindak sendiri semaumu
Kau bilang kau selalu memikirkanku, aku sapa saja kau merasa terganggu

Kau ini bagaimana?
Kau bilang bicaralah, aku bicara kau bilang aku ceriwis
Kau bilang jangan banyak bicara, aku bungkam kau tuduh aku apatis

Aku harus bagaimana?
Kau bilang kritiklah, aku kritik kau marah
Kau bilang carikan alternatifnya, aku kasih alternatif kau bilang jangan mendikte saja

Kau ini bagaimana?
Aku bilang terserah kau, kau tidak mau
Aku bilang terserah kita, kau tak suka
Aku bilang terserah aku, kau memakiku

Kau ini bagaimana?
Atau aku harus bagaimana?

-1987-

Puisi yang berusaha memberi suara bagi derita sunyi rakyat tertindas pada masa rezim Orde Baru berkuasa tersebut pernah masyhur pada masanya dulu. Tak terhitung kali dibaca sebagai semacam "lagu kebangsaan". Di kegiatan-kegiatan swadaya masyarakat. Yang berkehendak membuka sumbat kuping sang rezim. 

Puisi Gus Mus dikenal luas sebagai "puisi balsem". Memuat pesan kemanusiaan universal, wajarlah jika puisi nyelekit karena jujur menarasikan realita kehidupan yang memang pahit itu tak lekang oleh waktu. Tak aneh pula jika karya ulama kharismatik yang juga Pengasuh Ponpes Raudlatut Thalibin Rembang, Jawa Tengah itu tak putus-putus memantik inspirasi. Kepada generasi jadul maupun generasi kekinian.

Felix Siauw (Mengaku) Terinspirasi Puisi Gus Mus

Pada tanggal 3 Desember 2018, sehari setelah acara Reuni 212, Felix Siauw mengunggah status di akun instagramnya. Di caption foto acara "reuni politik" di Monas dan sekitarnya itu ia tuliskan larik-larik kata yang diberinya tajuk "Terinspirasi Puisi Gus Mus" sebagai deskripsinya. 

Unggahan Felix Siauw 3 Desember 2018 | www.instagram.com/felixsiauw
Unggahan Felix Siauw 3 Desember 2018 | www.instagram.com/felixsiauw
Bagi yang mengalami kesulitan membaca tangkapan layar, paragraf-paragraf berikut ini adalah alih tulisnya.

Terinspirasi Puisi Gus Mus
Oleh: Felix Siauw

Kau ini bagaimana? Kau bilang yang datang 212 takkan banyak peminatnya, saat yang datang membludak kau bilang buih saja

Kau ini bagaimana? Kau katakan reuni 212 itu radikal, tapi kau sendiri mengancam tak pakai akal. Kau suruh kami hargai beragam, kau sendiri main ancam

Kau ini bagaimana? Kau bilang bebas berpendapat, aku datang 212 kau tuduh aku dibayar, aku tak datang 212 kau klaim persatuan sudah bubar

Kau ini bagaimana? Kau suruh aku untuk percaya dan yakin padamu, tapi Monas dan jalan-jalan penuh manusia kau bilang hanya hadir 40 ribu

Kau ini bagaimana? Aku angkat merah putih kau curigai, aku angkat kalimat tauhid kau tuduh aku tak cinta negeri, aku tak angkat apapun kau bilang nuraniku sudah mati

Kau ini bagaimana? Kau bilang Indonesia mau dipecah-belah, tapi melihat persatuan ummat di 212 engkau marah, terhadap para penjajah negeri malah engkau ramah

Kau ini bagaimana? Bendera tauhid kau bilang bendera HTI, diberi hadits kau bilang ini hadits lemah sekali, diberi yang shahih kau bilang khat di masa Rasul bukan yang ini

Kau ini bagaimana? Khat bendera aku ganti, kau bilang kenapa harus warnanya hitam begini, aku buat warna-warni kau bilang aku ini bentuk inkonsistensi

Kau ini bagaimana? Kalau engkau yang bicara buruk bilang tabayun saja, tapi kalau kau menghina aku kau bilang itu sudah sepantasnya

Kau ini bagaimana? Kau bilang pendapat orang harus dihargai, aku buat mimbar penyampaian pendapat, engkau persekusi engkau halangi

Kau ini bagaimana? Kau tuduh orang makar, kau yang main bakar, kau bilang orang radikal tapi logikamu tak masuk di akal

Kau ini bagaimana? Kau bilang jangan politisasi agama, tapi di pesantren-pesantren kau cari suara, kau tolak perda syariah, pas kampanye tiba-tiba pakaian Muslimah

Kau ini bagaimana? Atau aku harus bagaimana? Kau masih manusia?

Cuitan Ienas Tsuroiya, Putri Gus Mus, Tentang Puisi Ayahnya yang Dibajak

Tindakan Felix Siauw  menjadi penyair dadakan ini mungkin tidak akan terlalu menarik perhatian publik, andai tidak ada cuitan Ienas Tsuroiya, putri Gus Mus, yang memberi tanggapan atasnya pada tanggal 6 Desember 2018.

Cuitan Ienas Tsuroiya | twitter.com
Cuitan Ienas Tsuroiya | twitter.com
Melalui cuitan itu putri Gus Mus itu mengabarkan curhat paginya di Facebook.

ienas-fb-1-5c8ca6213ba7f70b9802e782.png
ienas-fb-1-5c8ca6213ba7f70b9802e782.png
Curhat pagi Ienas Tsuroiya pada tanggal 6 Desember 2018 | facebook.com/ienas.tsuroiya
Curhat pagi Ienas Tsuroiya pada tanggal 6 Desember 2018 | facebook.com/ienas.tsuroiya

Felix Siauw, Etika Berkarya, dan Tradisi Ngalap Berkah Santri NU

Sebagai khalayak pembaca biasa yang bukan sastrawan, ahli bahasa, atau apalagi pakar filsafat, tentu kita boleh bertanya-tanya. Secara etis, bolehkah seseorang "meminjam" puisi orang lain, mengubah diksinya, dan mencantumkan nama si penyair asli dalam judul karya turunan tersebut? 

Atas pertanyaan ini baiklah kita persilakan saja para pihak yang berkepentingan atas isu ini, utamanya para penyair yang karyanya berpotensi "dipinjam" orang lain, yang memberi jawab. Mari kita tanya mereka: "Wahai para penyair Indonesia, bagaimanakah pendapat Anda?"

Pertanyaan berikutnya yang pasti mencuat, meski kita bukan detektif atau ahli forensik, tentu berkenaan dengan motif. Penyebutan nama si penyair asli itu dalam karya turunan ini merupakan sebuah kenaifan ataukah kesengajaan? Di negeri ini setiap hari berseliweran banyak puisi, mengapa puisi yang satu itu yang dipilih? 

Indonesia punya banyak sastrawan, mengapa bukan syair jalang Chairil Anwar, sajak makrifat Cak Nun, atau puisi pamflet Rendra yang dipinjam? Mengapa puisi balsem Gus Mus? Dan jika memang ia sendiri yang menulis, ini yang paling bikin tak habis takjub, mengapa pula tidak mencantumkan namanya sendiri saja?

Dan tentu saja, meski kita bukan seorang veteran pengamat politik, dalam benak pasti muncul pula pertanyaan seputar maksud dan dampak. Apa saja kira-kira efek domino yang mungkin berlaku sebagai akibat dari penyebutan nama seorang tokoh netral berpengaruh besar dengan modus pengerangkaan (framing) yang dipilih oleh seorang aktor politik? Dalam peta perpolitikan aktual, dengan kalkulasi rasional tentang para pihak yang berhadapan, siapa kira-kira yang bakal untung atau buntung? Dan seterusnya.

Yang pasti, dari rekam jejaknya yang bertebaran di jagat internet, kita tahu Felix Siauw bukanlah seorang penyair. Juga bukan santri lulusan pondok pesantren yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama. 

Menyitir tirto.id, Felix Siauw adalah seorang keturunan Tionghoa berkebangsaan Indonesia yang berprofesi sebagai ustadz. Lahir di Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia, pada tanggal 31 Januari 1984. 

Mualaf yang memutuskan masuk Islam ketika duduk di bangku kuliah di Institut Pertanian Bogor ini merupakan aktivis Hizbut Tahrir Indonesia. Yang sudah dilarang keberadaannya oleh pemerintah Indonesia itu. Meskipun aktivitas dakwah yang dilakukan Felix terus berjalan dan kerap mengusung konsep khilafah dalam dakwahnya.

Tentu saja. Kita bisa menyimpulkan Felix bukan penyair tidak semata dari rangkuman biodatanya itu. Melainkan dari pembandingan yang kita lakukan dengan perikehidupan lazim para penyair. Upaya pembandingan itu sama sekali tidak sulit. Sebab di berbagai belahan dunia, di segala zaman, para tiran telah menebar ragi yang mematangkan banyak jiwa kepenyairan. 

Dalam situasi opresif, para rezim membagi rata kefakiran kepada mayoritas rakyat. Kebodohan --yang merupakan anak kandung kondisi melarat-- tentu otomatis ikut merata hingga ke ujung paling pelosok. Ketika para ningrat bersujud kepada penguasa, dan kaum intelek sibuk sendiri di menara gading mereka, dari rahim rakyat paling jelata lahirlah para penyair. Perindu kesejatian yang tekun mengasah pena supaya bisa memberi bobot kepada setiap huruf. Dan setiap tanda baca. Yang disusunnya sebagai mantra tolak bala.

Penyair bukanlah gelar yang bisa didapat dengan menjadi konglomerat. Otoritas sebagai penyair mustahil ditukar dengan segepok duit. Juga bukan hak turunan. Yang para ningrat bisa mewarisinya cukup berbekal warna darahnya yang biru. Hanya ada satu cara yang mungkin untuk diberkahi dengan gelar itu, yakni membangun reputasi sebagai seorang penyair. Bertapa cegah nafsu agar telinga bisa peka bisik sunyi nurani. Dan waspada selalu dengan geliat hasrat bicara agar mulut tak sembarangan mengumbar geremeng tanpa makna.  

Para penyair adalah manusia yang gila kemurnian. Jenis manusia yang secara fanatik mewajibkan dirinya sendiri untuk mengukir hanya karya orisinal. Tanpa perlu diawasi pasal-pasal hukum. Tak butuh pula ancaman olok-olok para sejawat di muka umum. Maka, tak mungkin seorang penyair mempertaruhkan reputasinya --tebusan satu-satunya yang memberinya hak untuk menyuarakan derita kemanusiaan--  dengan memperlakukan karya viral milik orang lain sebagai meme. 

Memproduksi meme, dalam beragam bentuk dan variasinya, adalah istilah untuk menyebut perilaku khas yang moncer di zaman kekinian. Mendompleng kepopuleran orang lain demi mendapatkan sesuatu bagi pribadi sendiri ini tentu saja sama sekali bukan fenomena baru. Dan Felix telah memilih untuk menjadi partisipan aktif dalam fenomena itu. 

Memperlakukan puisi Gus Mus sebagai meme. Dalam bentuknya yang paling sangar. Dengan mencatut nama dan mengobrak-abrik diksi dalam puisi fenomenal karya beliau. Itulah fakta yang memberitahu kita. Tanpa ragu. Tanpa syak wasangka. Bahwa Felix bukan penyair.

Felix Siauw bukan penyair, bukan pula santri NU. | suaraislam.co
Felix Siauw bukan penyair, bukan pula santri NU. | suaraislam.co
Lalu, bagaimana kita bisa sampai ke kesimpulan bahwa Felix bukan alumni pesantren NU? Ah, itu perkara gampang. Untuk itu kita tak perlu merunut jauh sejarah NU. Hingga jauh ke awal masa pendiriannya oleh Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy'ari itu, misalnya. Tak perlu pula menelisik hubungan eratnya dengan perjuangan kemerdekaan. Proses lahir  Pancasila sebagai dasar negara. Atau dinamika panjang menegakkan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" di NKRI yang adalah harga mati bagi kaum sarungan itu. Vis a vis negara khilafah yang mengingkari daulat nasional, yang notabene gigih diperjuangkan oleh HTI, yang Felix adalah salah satu pentolannya tersebut.

Cukuplah kita saksikan perikehidupan lazim seorang santri dalam keseharian berinteraksi dengan kiainya. Kita pasti telah mafhum, bagi santri Nahdliyin, berkah seorang kiai adalah penting. Dan pasti kita juga sudah hapal, tak ada seorang santri pun yang rindu kualat. 

Santri NU pasti paham bahwa kiainya adalah orang yang secara tertib sanad telah mengajarkan cara menjalani hidup. Sanad yang bersambung. Bukan yang putus di tengah jalan. Bersambung ilmu. Bersambung darah. Bersambung hingga kepada Sang Teladan Mulia, Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. 

Satu ayat Al Quran, yang diwakili oleh huruf manapun dari aksara hijaiyah, bukanlah sekadar ucap yang keluar dari mulut seseorang. Wahyu Allah subhanahu wa ta'ala yang disampaikan melalui malaikat Jibril 'alaihi salam, setiap ayat itu adalah ayat yang pernah keluar dari lisan suci Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Setiap huruf itu memuat di dalamnya nafas cinta mulia. Para kiai bukanlah barisan para pengarang cerita fiksi. Mereka adalah barisan pewaris ilmu dan tindak-tanduk kenabian.

Maka tak mungkin Felix seorang santri NU. Sebab mustahil seorang santri berani nranyak, bertindak ceroboh dan semena-mena, terhadap kiainya. Tak mungkin ada santri NU yang berani "meminjam" nama Gus Mus. Seorang kiai sepuh. Kiainya para kiai. Yang adalah adalah Mustasyar Pengurus Besar Nahdhotul Ulama' (PBNU) itu. Secara tanpa izin. Apalagi memporakporandakan bait-bait cinta yang terus-menerus beliau puisikan sebagai tolak bala bagi negeri kita tercinta. Indonesia ini. Sejak berpuluh tahun silam.

Gunungkidul, 16 Maret 2019  
Achmat Heri Dwijuwono

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun