Penyair bukanlah gelar yang bisa didapat dengan menjadi konglomerat. Otoritas sebagai penyair mustahil ditukar dengan segepok duit. Juga bukan hak turunan. Yang para ningrat bisa mewarisinya cukup berbekal warna darahnya yang biru. Hanya ada satu cara yang mungkin untuk diberkahi dengan gelar itu, yakni membangun reputasi sebagai seorang penyair. Bertapa cegah nafsu agar telinga bisa peka bisik sunyi nurani. Dan waspada selalu dengan geliat hasrat bicara agar mulut tak sembarangan mengumbar geremeng tanpa makna. Â
Para penyair adalah manusia yang gila kemurnian. Jenis manusia yang secara fanatik mewajibkan dirinya sendiri untuk mengukir hanya karya orisinal. Tanpa perlu diawasi pasal-pasal hukum. Tak butuh pula ancaman olok-olok para sejawat di muka umum. Maka, tak mungkin seorang penyair mempertaruhkan reputasinya --tebusan satu-satunya yang memberinya hak untuk menyuarakan derita kemanusiaan-- Â dengan memperlakukan karya viral milik orang lain sebagai meme.Â
Memproduksi meme, dalam beragam bentuk dan variasinya, adalah istilah untuk menyebut perilaku khas yang moncer di zaman kekinian. Mendompleng kepopuleran orang lain demi mendapatkan sesuatu bagi pribadi sendiri ini tentu saja sama sekali bukan fenomena baru. Dan Felix telah memilih untuk menjadi partisipan aktif dalam fenomena itu.Â
Memperlakukan puisi Gus Mus sebagai meme. Dalam bentuknya yang paling sangar. Dengan mencatut nama dan mengobrak-abrik diksi dalam puisi fenomenal karya beliau. Itulah fakta yang memberitahu kita. Tanpa ragu. Tanpa syak wasangka. Bahwa Felix bukan penyair.
Cukuplah kita saksikan perikehidupan lazim seorang santri dalam keseharian berinteraksi dengan kiainya. Kita pasti telah mafhum, bagi santri Nahdliyin, berkah seorang kiai adalah penting. Dan pasti kita juga sudah hapal, tak ada seorang santri pun yang rindu kualat.Â
Santri NU pasti paham bahwa kiainya adalah orang yang secara tertib sanad telah mengajarkan cara menjalani hidup. Sanad yang bersambung. Bukan yang putus di tengah jalan. Bersambung ilmu. Bersambung darah. Bersambung hingga kepada Sang Teladan Mulia, Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.Â
Satu ayat Al Quran, yang diwakili oleh huruf manapun dari aksara hijaiyah, bukanlah sekadar ucap yang keluar dari mulut seseorang. Wahyu Allah subhanahu wa ta'ala yang disampaikan melalui malaikat Jibril 'alaihi salam, setiap ayat itu adalah ayat yang pernah keluar dari lisan suci Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Setiap huruf itu memuat di dalamnya nafas cinta mulia. Para kiai bukanlah barisan para pengarang cerita fiksi. Mereka adalah barisan pewaris ilmu dan tindak-tanduk kenabian.
Maka tak mungkin Felix seorang santri NU. Sebab mustahil seorang santri berani nranyak, bertindak ceroboh dan semena-mena, terhadap kiainya. Tak mungkin ada santri NU yang berani "meminjam" nama Gus Mus. Seorang kiai sepuh. Kiainya para kiai. Yang adalah adalah Mustasyar Pengurus Besar Nahdhotul Ulama' (PBNU) itu. Secara tanpa izin. Apalagi memporakporandakan bait-bait cinta yang terus-menerus beliau puisikan sebagai tolak bala bagi negeri kita tercinta. Indonesia ini. Sejak berpuluh tahun silam.
Gunungkidul, 16 Maret 2019 Â
Achmat Heri Dwijuwono
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H