Rahasia? Tak ada yang rahasia di dunia ini. Yang ada hanyalah sesuatu yang belum kita kenali seluk-beluknya sehingga belum bisa kita pahami betul sesuatu itu sesungguhnya apa.
Terlepas dari apakah kita menyadari kenyataan ini atau tidak, mau menerimanya atau menolak, hendak mengakuinya atau menyangkal, sejatinya setiap manusia adalah katak. Tinggal dalam tempurung kelapanya masing-masing. Sebuah zona nyaman berisi segala yang telah karib dan tak banyak lagi di situ hal-hal yang masih asing. Hal-hal asing yang terlalu lama ada di sana telah disingkirkan dengan metode lupa, hal-hal asing yang masih baru dicegah masuk ke situ dengan metode hindar.
Asing berarti tidak bisa serta-merta dikenali. Dikenali artinya dihubungkan dengan segala yang telah karib selama ini. Telah karib artinya telah kita kenali seluk-beluknya, sehingga secara mental sudah berada dalam kendali kita. Tak lagi bisa membuat kita kaget karena bertingkah liar secara tiba-tiba atau memberi kita kejutan tak menyenangkan secara tak tersangka-sangka.
Kita didesain oleh Sang Pencipta untuk sangat terampil mengenali pola yang telah ditorehkan-Nya pada segala sesuatu. Pola bentuk pada benda fisik. Pola waktu pada gerakan. Pola logika pada bahasa. Pola rasa pada dinamika emosi. Singkat kata, pola perilaku setiap makhluk --yang hidup maupun mati, konkrit maupun abstrak, nyata maupun khayal.
Semakin cepat seseorang mengenali pola sesuatu, semakin cepat ia bisa mengambil keputusan berkenaan dengan sesuatu itu. Semakin akurat pemahaman seseorang mengenai pola sesuatu, semakin akurat pula keputusan yang dipilihnya tersebut.
Kita juga didesain-Nya untuk bisa memasuki berbagai lapisan alam. Lapis imajinasi yang non fisik dan serba seketika di satu kutub, dan lapis nyata yang fisik dan serba butuh waktu untuk menempuh proses di kutub yang lain. Tentu saja kita menyukai yang gegas dan serba serta-merta. Dan kita ciptakan lingkungan yang semakin bisa menuruti keinginan kita itu, meskipun yang bisa kita otak-atik di situ hanya simbol dari realitas yang sebenarnya, yang oleh karena itulah kita menyebut lingkungan ciptaan kita itu sebagai dunia maya. Di situ, apapun yang kita mau, dengan sekali klik bisa langsung mewujud.
Realitas fisik atau konkrit bekerja dalam irama yang berbeda dengan realitas simbolik atau khayal. Menggoreng telur dadar, menulis skripsi, membuat robot, membangun rumah, membereskan tumpukan pekerjaan, atau mewujudkan keinginan apapun di dalam khayalan butuh waktu jauh lebih cepat dan butuh ikhtiar jauh lebih sedikit dibandingkan di alam nyata. Itu sebabnya kita lebih suka menenggelamkan diri ke alam maya, dibanding menjalani hidup di alam nyata. Walau kita mengerti betul bahwa semakin terbiasa kita dengan irama kerja serba instan di dunia khayal membuat kita menjadi manusia yang semakin tidak sabaran dan rentan putus asa menjalani kehidupan dengan irama kerja serba 'lebih lambat' (irama yang sebenarnya normal-normal saja karena memang sudah semestinya) di dunia nyata.
Kecanduan hidup di dunia imajinasi membuat kita menjelma jadi makhluk pemburu jalan pintas. Kita pilih semua yang serba kilat. Kita lakukan apapun yang (kita anggap) bisa seketika mewujudkan segala ingin dan sembarang mau.
Kita memilih makanan yang cepat saji (fast food), bukan yang lambat saji (slow food), meskipun kita tahu persis yang sedang akan kita masukkan sistem pencernaan kita itu adalah sampah (junkfood). Tentu saja itu berarti memperlakukan tubuh kita sendiri sebagai tempat sampah. Kita abaikan bisik nurani yang bertanya: "Kalau yang diolah saja sampah, bagaimana mungkin menghasilkan yang selain limbah?"
Kita terobos setiap antrean. Bersedia tertib antre, dalam imajinasi kita, tentu kita hayati sebagai tindakan bunuh diri pelan-pelan tak ubahnya seperti masuk kubangan penuh lintah yang akan menyedot seluruh darah secara perlahan-lahan.
Kita kejar duit instan. Sebanyaknya dan secepatnya, itu saja yang jadi prioritas. Halal-haram tak masuk hitungan. Dan siapapun yang rewel dengan urusan halal-haram kita tangkis upayanya memperdengarkan bisik nurani itu dengan menyebutnya sebagai orang penuh pamrih yang sedang jualan agama.
Itulah sebabnya kita tidak tahan bergaul dengan apapun atau siapapun yang tak bisa segera kita ketemukan keterkaitan maknanya dengan segala yang telah karib bagi kita.
Kita cenderung menghindari dan menolak segala yang kita tak bisa serta-merta memahaminya. Kita akan memberi label segala yang asing ini, segala yang tak kita inginkan walau mungkin sesungguhnya sangat kita butuhkan, dengan label yang membuat kita tidak tertarik untuk menyelaminya.
Kita cat apapun yang ada di luar zona nyaman kita dengan warna emosi curiga dan kita menyebut tingkah kita ini sebagai sikap waspada. Kita hindari segala yang tak bisa segera kita tentukan statusnya menggunakan alat ukur kebenaran, keindahan, dan kebaikan yang kita miliki dan kita menyebut langkah kita ini sebagai tindakan berhati-hati.
Kita tidak tahan hidup berlama-lama bersama dengan sebuah tanda tanya. Apalagi dengan banyak sekali tanda tanya. Padahal itu adalah kenyataan yang tak mungkin kita elakkan sebab hanya Allah yang Maha Tahu, sedangkan kita hanya maha tidak tahu. Anehnya, kita ini justru sangat malu mengaku tidak tahu.
Bahkan kalau ada orang lain yang banyak tanya, yang jawaban atas setiap pertanyaannya diam-diam kita syukuri datangnya, kita justru menghinanya dengan memberinya label sebagai manusia kepo. Dan siapapun yang berikhtiar memberi jawaban sesuai dengan tingkat pemahamannya atas realita, yang tentu sudah pasti berbeda dari kita, kita beri label sok pamer kepintaran (kalau lumayan akurat) atau sok tahu (kalau kebangetan meleset).
Oleh karena itu, selama kita tidak pernah tertarik keluar dari tempurung kelapa kita untuk menjelajahi tempurung kelapa orang lain hingga menemukan titik-titik temu pemahaman, jangan heran kalau di alam semesta ini kerja kita cuma petentang-petenteng sebagai pembawa palu yang setiapkali ketemu sesuatu, apa pun dan siapa pun itu, kesiapan kita hanyalah melihatnya sebagai paku.
Gunungkidul, 30 November 2017
Achmat Heri Dwijuwono
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H