Mohon tunggu...
Fransisca Dafrosa
Fransisca Dafrosa Mohon Tunggu... Lainnya - Guru

saya orang yang sedang belajar menulis Fiksiana.Humaniora.Lyfe

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Frekuensi atau Kualitas? Menimbang Efektivitas Job Fair dalam Mengatasi Pengangguran

28 November 2024   07:44 Diperbarui: 28 November 2024   08:05 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pixabay.com/id/users/geralt-9301/

Pernahkah sahabat kompasiana bertanya-tanya, mengapa banyak lulusan baru tetap menganggur meski job fair sering digelar? Acara besar, penuh stan perusahaan, dan antrean panjang para pencari kerja seolah menjadi rutinitas bulanan di kota-kota besar. Tapi benarkah semakin sering job fair digelar, pengangguran bisa lebih cepat teratasi? Atau justru kualitas job fair lebih menentukan hasil akhirnya?

Dilema antara frekuensi dan kualitas job fair menjadi isu yang perlu dibahas. Banyak pihak memandang bahwa job fair adalah salah satu solusi efektif untuk menjembatani pencari kerja dengan perusahaan. 

Namun, efektivitasnya tidak selalu terukur hanya dari jumlah job fair yang diadakan. Ada hal lain yang lebih dalam: apakah job fair tersebut mampu benar-benar membantu pencari kerja mendapat pekerjaan yang sesuai dan berkelanjutan?

Frekuensi Job Fair: Semakin Banyak, Semakin Baik?

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia per Februari 2024 mencapai 5,45%, yang setara dengan sekitar 7,6 juta orang. Di tengah angka ini, job fair menjadi salah satu program pemerintah dan swasta untuk menekan jumlah pengangguran.

Job fair sering digelar di berbagai kota, mulai dari kampus hingga pusat perbelanjaan, bahkan secara daring. Misalnya, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat ada lebih dari 2.000 job fair yang diadakan sepanjang tahun 2023, baik secara offline maupun online. Pertanyaannya: apakah peningkatan jumlah ini berbanding lurus dengan penurunan angka pengangguran?

Kenyataannya, banyak pencari kerja merasa kecewa setelah mengikuti job fair. Mengapa? Beberapa masalah yang sering muncul adalah:

* Pekerjaan yang ditawarkan tidak relevan.
Banyak perusahaan yang hanya membuka lowongan untuk posisi entry-level atau pekerjaan dengan keahlian tertentu, seperti sales atau marketing, yang tidak sesuai dengan latar belakang banyak pencari kerja.

* Minimnya persiapan dari pencari kerja.
Tidak semua pencari kerja memahami cara mempersiapkan CV yang menarik atau menghadapi wawancara singkat di tempat.

* Kurangnya follow-up.
Setelah melamar, tidak ada kejelasan dari perusahaan, sehingga pencari kerja merasa prosesnya sia-sia.

Frekuensi yang tinggi tanpa perencanaan yang matang bisa menghasilkan job fair yang kurang efektif. Ibaratnya, banyak event tapi minim dampak.

Kualitas Job Fair: Apa yang Bisa Ditingkatkan?

Jika frekuensi bukan satu-satunya jawaban, mungkin kualitaslah yang perlu diperbaiki. Sebuah studi oleh International Labour Organization (ILO) menemukan bahwa job fair yang efektif bukan hanya mempertemukan pencari kerja dan pemberi kerja, tetapi juga menawarkan value added seperti pelatihan keterampilan, konseling karier, dan lokakarya.

Berikut beberapa elemen yang dapat meningkatkan kualitas job fair:

* Penyediaan Konseling Karier.
Banyak pencari kerja, terutama fresh graduate, masih bingung menentukan karier yang sesuai dengan minat dan kemampuan mereka. Konseling karier bisa membantu mereka memahami potensi diri dan memilih jalur karier yang tepat.

Misalnya, job fair yang diadakan di Surabaya pada 2023 menambahkan sesi konseling gratis dengan psikolog karier. Hasilnya? 70% peserta merasa lebih percaya diri saat melamar pekerjaan.

* Pelatihan Keterampilan di Tempat.
Di era digital, perusahaan sering mencari kandidat dengan keahlian teknis tertentu, seperti desain grafis, analisis data, atau manajemen media sosial. Job fair yang menyediakan lokakarya singkat di lokasi bisa membantu pencari kerja meningkatkan keterampilan mereka secara instan.

Contoh suksesnya adalah sebuah job fair di Jakarta yang mengadakan pelatihan membuat portofolio digital. Setelah pelatihan, 30% peserta langsung mendapatkan wawancara kerja.

* Fokus pada Industri yang Tepat.
Job fair yang efektif biasanya dirancang untuk sektor tertentu, seperti teknologi, kesehatan, atau manufaktur. Fokus ini membantu mencocokkan pencari kerja dengan perusahaan yang benar-benar membutuhkan keterampilan mereka.

Frekuensi atau Kualitas? Mana yang Lebih Penting?

Jawaban atas dilema ini sebenarnya bukan "salah satu", melainkan kombinasi keduanya. Job fair memang perlu sering diadakan untuk memberi lebih banyak peluang kepada pencari kerja. Namun, kualitas harus tetap menjadi fokus utama agar peluang tersebut tidak sia-sia.

Berikut beberapa rekomendasi untuk meningkatkan efektivitas job fair:

* Kolaborasi dengan Institusi Pendidikan.
Kampus dan sekolah dapat bekerja sama dengan penyelenggara job fair untuk mempersiapkan lulusan mereka, baik melalui pelatihan CV, wawancara, maupun keterampilan tambahan.

* Menggunakan Teknologi.
Platform digital dapat digunakan untuk mencocokkan pelamar dengan lowongan sebelum acara berlangsung, sehingga pelamar datang dengan target yang jelas.

* Evaluasi dan Umpan Balik.
Setiap job fair harus dievaluasi dari sisi pelamar dan perusahaan untuk terus meningkatkan kualitasnya.

Job Fair, Solusi atau Sekadar Formalitas?

Job fair akan selalu menjadi salah satu strategi dalam mengatasi pengangguran. Namun, agar benar-benar efektif, harus ada keseimbangan antara frekuensi dan kualitas. Mengadakan job fair setiap minggu tanpa perencanaan yang matang hanya akan menghasilkan acara yang monoton dan kurang berdampak.

Sebaliknya, jika setiap job fair dirancang dengan pendekatan menyeluruh mulai dari konseling karier, pelatihan keterampilan, hingga fokus pada kebutuhan industri job fair bisa menjadi solusi nyata bagi pengangguran.

Semoga bermanfaat

F. Dafrosa

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun