Saat ini, banyak anak muda lebih menekankan pada kebahagiaan dan pencapaian diri sendiri, baik itu dari segi karier, keuangan, atau perkembangan pribadi. Mereka menganggap bahwa kebahagiaan dan kepuasan pribadi dapat ditemukan dalam banyak cara, tidak harus melalui pernikahan. Pandangan seperti ini tidak selalu berarti menolak pernikahan, tetapi lebih pada keinginan untuk menjaga ruang bagi diri sendiri.
Kemandirian individu juga bisa berarti kebebasan finansial yang sulit dicapai jika ada tanggungan keluarga atau anak. Generasi sekarang semakin sadar akan pentingnya keamanan finansial, investasi, dan bahkan persiapan pensiun, yang bagi sebagian orang sulit dipenuhi jika harus membiayai keluarga sejak usia muda. Jadi, bukan hanya soal kebebasan pribadi dalam menjalani hidup, tapi juga tentang stabilitas ekonomi dan masa depan.
Namun, tidak sedikit yang akhirnya mempertanyakan, “Apakah dengan terus mengejar kemandirian dan karier tanpa menikah atau berkeluarga, hidup akan lebih bermakna?” Sebuah dilema klasik muncul, antara hidup untuk diri sendiri atau berbagi hidup dengan orang lain.
Adaptasi Ajaran Beranak Cucu di Tengah Perubahan Zaman
Di sisi lain, meski nilai-nilai beranak cucu seringkali terdengar tradisional, kita juga bisa melihat bagaimana mereka dapat diadaptasi sesuai dengan realita zaman. Nilai ini bisa berarti lebih dari sekadar melahirkan anak biologis; beranak cucu bisa dimaknai sebagai meneruskan kebaikan, nilai-nilai, atau kontribusi positif kepada masyarakat.
Beberapa anak muda yang memiliki pandangan ini memilih untuk mengambil peran lain dalam hidup, misalnya menjadi mentor bagi generasi muda, mendirikan yayasan sosial, atau terlibat dalam kegiatan amal. Bagi mereka, berkontribusi pada masyarakat bisa menjadi cara untuk “meninggalkan jejak” tanpa harus memiliki anak. Pandangan ini sejalan dengan filosofi hidup yang lebih terbuka dan fleksibel, di mana orang bisa memiliki tujuan hidup yang besar tanpa harus melewati pernikahan atau keluarga.
Dalam agama juga, ada banyak penafsiran yang menunjukkan bahwa memiliki anak bukanlah satu-satunya bentuk ibadah. Fokus pada nilai-nilai kebaikan dan amal bisa menjadi bentuk kontribusi yang tidak kalah bermakna.
Menemukan Titik Temu: Menikah dan Kemandirian
Lalu, bagaimana bisa ada jalan tengah? Mungkinkah menikah sambil tetap mempertahankan kemandirian? Jawabannya bisa berbeda untuk setiap individu, tetapi ada beberapa pandangan yang bisa menjadi inspirasi.
Menikah bukan berarti harus mengorbankan seluruh kemandirian, apalagi jika pasangan sama-sama memiliki pandangan bahwa hubungan seharusnya saling mendukung tanpa merenggut ruang pribadi masing-masing. Pasangan modern bisa saja memilih untuk membuat perjanjian atau komitmen bersama tentang bagaimana mereka akan berbagi tanggung jawab, tetapi tetap memberikan ruang untuk saling berkembang. Konsep pernikahan tidak harus lagi kaku seperti zaman dahulu. Justru, di masa kini, fleksibilitas adalah kunci. Banyak pasangan muda yang mampu menyeimbangkan antara kehidupan bersama dengan kebebasan individu.
Menikah dengan pola pikir seperti ini mungkin bisa menjadi cara bagi anak muda yang ingin tetap mandiri, tapi juga tidak menutup diri pada kemungkinan membangun keluarga. Pernikahan bisa menjadi bentuk kemitraan di mana keduanya berbagi, tidak mengikat, tapi saling menopang.