Mohon tunggu...
Fransisca Dafrosa
Fransisca Dafrosa Mohon Tunggu... Lainnya - Guru

saya orang yang sedang belajar menulis Fiksiana.Humaniora.Lyfe

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Dilema Menikah di Zaman Modern: Antara Kemandirian Individu dan Ajaran Beranak Cucu

7 November 2024   19:09 Diperbarui: 7 November 2024   19:17 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apakah sahabat kompasiana pernah merasa galau soal menikah?

Mungkin ada yang merasa, "Menikah itu kayaknya seru, tapi… apa bisa tetap bebas meraih mimpi-mimpi pribadi?" atau "Kalau udah menikah nanti, apa yang bakal berubah dalam hidupku?" Pertanyaan-pertanyaan seperti ini makin sering muncul di benak generasi muda saat ini, terutama mereka yang mulai merasakan kebebasan, kemandirian finansial, dan punya pandangan hidup yang lebih modern. Mereka menikmati hidup tanpa banyak batasan, bebas mengejar karier, traveling, atau memperluas hobi dan jaringan pertemanan. Di sisi lain, ada ajaran budaya dan agama yang mengajarkan bahwa menikah adalah jalan hidup yang lebih "lengkap" – terutama dengan melanjutkan generasi atau "beranak cucu."

Dilema yang dihadapi oleh banyak anak muda ini bukan hal yang sederhana. Di tengah tuntutan modernisasi dan kemandirian individu, ada keinginan untuk tetap memegang nilai-nilai tradisional yang sudah lama menjadi pegangan hidup masyarakat kita.

Menikah: Tanggung Jawab Besar di Era Modern

Di zaman nenek moyang kita, menikah mungkin lebih seperti “keharusan” yang akan diikuti oleh setiap orang tanpa banyak bertanya. Tanggung jawab menjadi suami atau istri adalah bagian dari tahapan hidup yang dianggap alamiah. Namun, zaman sudah berubah. Saat ini, menikah bukan lagi “kewajiban” bagi sebagian besar anak muda. Dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan kemudahan mengakses informasi, mereka mulai mempertanyakan makna pernikahan dan kehidupan berumah tangga.

Para individu yang sudah terbiasa hidup mandiri merasa bahwa menikah berarti berbagi waktu, ruang, dan finansial dengan pasangan. Ini bukan hal yang ringan, apalagi jika ada impian dan rencana pribadi yang belum tercapai. Kekhawatiran ini sering mengarah pada pikiran, “Apakah menikah berarti harus mengorbankan kemandirian?” Ditambah lagi, dalam budaya modern yang lebih menghargai individuasi, menikah bisa saja dipandang sebagai hambatan bagi mereka yang ingin mengeksplorasi dunia atau bahkan mengenal diri sendiri lebih jauh.

Menghadapi Tekanan dari Masyarakat dan Budaya

Tidak bisa dipungkiri, meskipun zaman berubah, masyarakat kita masih sangat menghargai lembaga pernikahan dan keluarga. Di banyak budaya, menikah dan memiliki anak bukan hanya diharapkan, tetapi dianggap sebagai pencapaian penting. Orang tua atau keluarga sering kali berharap bahwa seorang anak, khususnya anak perempuan, akan menikah “di usia yang tepat” dan memiliki keluarga sendiri. Mereka khawatir, tanpa anak atau keluarga, hidup anak-anak mereka tidak akan “lengkap” atau “bahagia”.

Ajaran agama juga memiliki peran besar di sini. Dalam agama-agama besar di Indonesia, menikah dianggap sebagai ibadah, dan memiliki anak sebagai amanah serta jalan untuk memperluas keturunan. Ajaran beranak cucu dilihat sebagai cara untuk meneruskan nilai-nilai agama dan keluarga. Namun, bagi anak muda, ajaran ini sering kali terasa tidak relevan dengan gaya hidup yang mereka bangun. Beberapa merasa bahwa menikah dan memiliki anak bukanlah satu-satunya jalan untuk mencapai kebahagiaan atau menjadi individu yang bermakna.

Kemandirian Individu: Apa yang Sebenarnya Dicari?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun